Maafin aku karena baru update, semoga kalian masih setia menunggu.
Okee let's go !!!
.
.
.
.
.
Netra coklat milik gadis berambut panjang menatap keluar jendela, sudut bibirnya tertarik sempurna saat ia melihat hujan turun dengan deras diluar sana. Netranya terus melihat keluar hingga ia tak mendengar dentingan lonceng yang berbunyi akibat pintu terbuka, menampilkan wajah seseorang. Ia Langit Aldebaran.
Langit melangkahkan kakinya menuju meja yang sejak masuk kedalam cafe membuat sudut bibirnya terakhir. Meski sebenarnya canggung karena insiden dimana tantangan bodoh dari Tritan juga Regan, bahkan perasaan gadis itu yang menggema didalam dadanya saat mereka bersitatap beberapa hari lalu. Gadis itu tidak mengubah objek penglihatan kearah lain, selain hujan.
"Fokus banget." laki-laki dengan jaket kulit berwarna coklat muda yang melekat ditubuhnya, duduk didepan Rinai.
Rinai menatap Langit dengan tatapan terkejut, bukan hanya karena laki-laki itu yang tiba-tiba saja sudah ada dihadapannya, melainkan juga karena debaran jantung yang terus saja berdetak tak karuan. "kamu udah dari tadi?" tanyanya mencoba menetralisir debaran, semoga saja Langit tak mendengarkan.
"Nggak, gue baru aja sampe." Rinai mengangguk-angguk mendengarkan jawaban Langit.
"Kamu nggak kehujanan kan?" gadis itu kembali bertanya, melihat tubuh Langit yang memang tak basah. Duh! Kenapa harus pertanyaan yang sudah tau jawaban. Tentu saja untuk menetralisir debaran.
"Nggak, gue bawa mobil."
Hening beberapa detik, setelah mengatakan hal yang ada dipikirannya, Rinai kembali diam.
"Lo belum pesen sesuatu?" kini Langit yang bertanya, karena tidak melihat satu makanan pun atau sekedar minuman diatas meja yang memisahkan mereka berdua.
Gelengan Rinai membuat Langit mengerti, mengapa gadis itu belum memesan sama sekali. Pasti menunggu dirinya datang, bagaimana jika Langit telat datang lebih dari satu jam apakah gadis itu terus akan menunggunya tanpa memesan? Dasar Rinai.
"Mbak.." Langit melambaikan tangannya kearah waiters, waiters berjalan menuju meja keduanya dan memberikan buku pesanan.
"Mbak coffe late satu ya." suara Langit terlebih dulu membuka pertanyaan yang sudah menggantung diudara.
"Sama milkshake satu, Mbak." Rinai ikut menimpali setelah Langit.
"Ditambah satu dessert ya mbak, pesankan yang paling terkenal disini." Langit kembali berucap, setelah Rinai hanya memesan satu minuman sama sepertinya.
"Lo udah nunggu setengah jam, harus makan." Langit menjawab pertanyaan Rinai yang gadis itu ajukan lewat tatapan mata. Setelah mencatat pesanan mereka berdua, waiters berlalu pergi.
"Kamu kenapa ngajak aku kesini?" Rinai menarik alisnya bingung, pasalnya jika harus disekolah pun mereka bisa saja bertemu.
"Gue nggak tau, pingin aja ajak lo kesini." Langit menggaruk tengkuknya yang tak gatal, membuat Rinai tertawa pelan karena tingkah Langit.
"Kamu bikin aku khawatir." Rinai menggeleng-gelenggkan kepalanya, dengan jawaban yang Langit lontarkan.
"Lo khawatir sama gue?" Langit menatap Rinai dengan tatapan jahilnya, begitu juga alis yang naik turun membuat pipi Rinai bersemu.
"Iyalah." Rinai memajukan bibirnya membuat Langit tertawa.
Rinai memperhatikan mata laki-laki didepannya, mata Langit sipit saat tertawa membuat ia seperti terpejam. Rinai juga memiliki mata yang sipit, namun Langit lebih sipit dari darinya. Hidung Langit pun tak kala mancung dari hidungnya.
"Aku baru sadar loh, kamu punya mata yang sipit. Hidung kamu juga mancung benget ngalahin menara Eiffel." Rinai menatap mata dan hidung Langit bergantian.
"Kenapa? Lo suka?" Langit menatap Rinai dengan tatapan seriusnya.
Rinai mengangguk berlebihan. "aku suka mata sipit dan hidung mancung, sama kaya aku." Rinai tertawa pelan. "tapi aku tau lebih mancung dan sipit kamu." imbuh Rinai.
"Yaudah, lo nikah aja sama gue. Nanti lo bakal punya anak yang mirip sama gue." Langit menarik turunkan alisnya, bermaksud kembali menggoda Rinai. Haduh, apa Langit adalah sosok yang hobby membuat jantungnya berdegup dengan pola yang tak selaras?
"Ish.... Langit." Rinai tertawa pelan mencoba menutupi degup jantungnya. Tentu saja tawa itu begitu merdu dipendengaran seorang Langit. Jantung Langit pun berdegup ubnormal, ia kembali jatuh dalam pesona Rinai. Tanpa laki-laki itu sadari, Rinai juga memiliki rasa yang sama yang semakin tumbuh.
Pelayan cafe datang, menaruh pesanan keduanya.
"Mas, Mbak. Ini pesanannya." Waiters tersenyum ramah dan menaruh pesanan keduanya.
Setelah kepergian waiters, keduanya hanyut dalam lamunan masing-masing. Hingga, Langit kembali berucap.
"Lo makan sendiri atau gue suapin?" Rinai yang mendengar pertanyaan Langit tertawa pelan.
"Alhamdulillah, aku masih punya dua tangan yang berfungsi." Rinai tertawa, membuat Langit menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena gagal menjaili Rinai.
Mereka berdua kembali asik dengan pikiran masing-masing, mencoba menetralisir debaran. Asap yang keluar dari minuman yang Langit minum mampu membingkai wajah tampan laki-laki itu.
"Gimana acara quality time lo, sama kak Aldo? pertanyaan yang sudah lama berdentum dikepala Langit, memang ini sudah lewat beberapa Minggu dari acara yang Aldo dan Rinai lalui.
"Seru... Udah lama banget nggak ketemu kak Aldo, kita lebih sering ketempat mengenang masa kecil. Terakhir kita ngabisin waktu dipusat perbelanjaan." Rinai menceritakan peristiwa yang ia lalui dengan Aldo. Tentu saja, binar bahagia terpancar dari bola mata coklat Rinai.
Langit tersenyum simpul, mencoba merendam cemburunya. Tak apa pikirnya, apapun yang bisa membuat semestanya bahagia dan tawa yang terpancar disana. Meski harus mengorbankan perasaannya.
"Bagus deh, kalau gitu." Langit tersenyum simpul, membuat Rinai menganggukan kepala.
Sore itu dihari Jum'at mereka bercerita banyak hal ditemani segelas milkshake juga coffe late dan jangan lupakan dessert spesial yang Langit pesankan. Dengan latar senja dari jendela cafe.
****
Langit dan Rinai berjalan bersisian diatas jalan setapak. Rinai sesekali tertawa dengan lelucon yang Langit lontarkan. Orang-orang yang berlalu-lalang menatap dengan pandangan berbeda. Entah suka atau iri.
"Langit." Rinai memanggil Langit saat keduanya sudah duduk di bangku taman, dengan tatapan gadis itu yang menatap langit diatas sana, bintang-bintang membentuk rasinya sendiri.
"Iya?" Langit menatap Rinai yang masih asik melihat langit diatas sana.
"Lihat deh bintangnya bagus ya." Rinai menunjuk kearah bintang yang mencuri perhatiannya diangkasa luas.
Merasa Dejavu, Langit berdehem. "Lo liat bintang yang lagi berduaan itu?" laki-laki itu menunjuk bintang yang ia maksud.
"Iya, kenapa?" Rinai kembali bertanya, meski netranya tetep menatap bintang yang Langit maksud.
"Mereka tuh, kaya gue sama lo." Rinai membulatkan matanya sempurna, menutupi rona merah disana. Detik berikutnya ia tertawa.
"Pinter gombal ya, sekarang." Rinai menggeleng heran, dengan tawa yang masih mendera diantaranya. Tentu saja, Langit terpanah dengan semestanya.
Awalnya ia malu, sungguh malu mengatakan perasaannya untuk Rinai kepada teman-temannya dan akhirnya mereka mentertawakan Langit juga ucapan setuju keluar dari bibir sahabat-sahabatnya jika Langit bersama dengan Rinai, mereka akan membantu sebisa mungkin begitulah yang mereka katakan. Semua ini karena insiden Langit yang cemburu.
••••