Ku kira, semua semudah membalikan telapak tangan. Nyatanya, aku masih saja berangan.
.
.
.
.
Yuira Anatasya : Rinai, gue tunggu didepan.
Rinai Hujan : Iya Ra, aku otw kesana.
Setelah mengetikan balasan Rinai memasukan handphone nya kedalam saku almamater.
Gadis dengan rambut panjang dan bandana biru juga tas senada itu berjalan dikoridor dengan langkah sedikit berlari. Ia tak ingin membuat Yuira menunggu lama.
Semesta punya cara mempertemukan keduanya. Memang, mungkin saat ini alam berkonspirasi membuat Rinai dan Langit kembali bertemu. Setelah sudah hampir dua Minggu kejadian Rinai dan Yuira bertemu Langit dikoridor, mereka sama sekali belum bertemu. Karena Rinai selalu menghindar, ia takut jika perasaannya akan menyakiti banyak orang.
Rinai menuruni tangga dengan tergesah, saat kakinya menginjak tangga terakhir, kakinya tersangkut dengan kakinya yang lain membuat ia hampir terjelembab mengenaskan dilantai, jika tangan seseorang tidak dengan sigap menangkap tubuh Rinai.
Rinai menutup matanya, kerutan didahinya tercetak kala ia tak merasakan tubuhnya jatuh. Sedangkan, seseorang yang memegang tubuh Rinai tersenyum melihat tingkah gadis didepannya.
"Kayanya, emang kita jodoh deh." Langit mengembangkan senyumnya begitu lebar.
"Astaga, Langit?" Rinai gugup dan buru-buru membenarkan posisinya.
"Kenapa? Bukannya kita udah biasa ketemu disini?" Langit menarik turunkan alisnya, mencoba mengusili Rinai. Ia tidak tau saja jika gadis didepannya itu jantungnya sudah berdebar begitu cepat.
"Lo kemana aja? Kita satu sekolah tapi nggak pernah ketemu." Langit menatap Rinai, menelisik masuk kedalam netra coklat terang itu.
"Aku nggak kemana-kemana kok." Rinai membuang wajahnya kesembarang arah, menghindari tatapan mengintimidasi dari Langit.
"Jangan kaya gini lagi, gue gak bisa jauh dari lo." perkataan Langit pelan, namun sarat akan makna. Langit berlalu dari hadapan Rinai yang mematung ditempatnya.
"Langit.." Rinai memanggil Langit begitu lirih. Namun, tanpa sepengetahuan Rinai. Langit mendengar panggilan Rinai, membuat laki-laki itu berhenti dan berbalik. Sedangkan posisi Rinai, membelakangi Langit.
"Maafin aku Langit, semua berjalan begitu cepat. Dan aku, gak mungkin bisa jujur. Kalau aku suka kamu." Rinai berlari dari tempatnya berdiri, menyusuri koridor yang sepi. Dengan air mata yang menjadi saksi, betapa terlukanya perasaan yang begitu mendalam.
Langit memperhatikan punggung Rinai yang sudah mulai hilang dari pandangan. Perkataan Rinai mampu membuatnya mengambil keputusan yang harus secepatnya ia ambil.
Gadis dengan bando polkadot tersenyum miring melihat adegan itu, mereka fikir Derai akan mundur begitu saja? Tentu tidak. Malah ia akan mengandalkan semua cara untuk mendapatkan Langit.
***
"Udah Rinai." Yuira menepuk-nepuk bahu Rinai. Kini keduanya sudah berada dikamar Rinai.
"Aku seharusnya nggak bilang gitu. Gimana kalau ada yang denger atau malah Derai denger langsung?" Rinai kembali menangis sesegukan.
"Lo gak salah, dari awal gue tau kalau Langit emang suka sama lo. Lagian gue yakin perjodohan itu bukan kemauan Langit." Yuira tersenyum, mencoba membuat Rinai tak kembali menyalahkan dirinya sendiri.
"Aku harus gimana Yuira?" Rinai menatap Yuira, ia kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama dengan dua Minggu yang lalu.
"Gue kan bilang, semesta bakal punya jawaban dari semua yang lo tanyain. Jalani semua dengan apa adanya, jangan menjauh. Sebelum Derai dateng, lo udah deket sama Langit. Dan Langit udah suka sama lo sebelum Derai dateng. Gue yakin." Yuira meyakinkan Rinai dan memeluk erat gadis itu.
"Makasih, Yuira." Rinai membalas pelukan Yuira.
"Astaga, Lo jelek banget. Liat noh, tissue kemana-mana." Yuira tertawa membuat Rinai ikut tertawa.
Sahabat memang tak mudah ditemukan, bahkan sulit. Tapi, jika kamu sudah menemukannya tolong buat ia selalu tersenyum. Bantu ia saat kesusahan dan bahagia lah jika ia bahagia. Karena tak semua orang beruntung bisa menemukan seorang sahabat yang tulus.
Yuira Anatasya adalah orang yang paling Rinai sayang setelah Bunda, Ayah dan kak Aldo. Sejak masa putih biru keduanya sudah bersama. Ada harap yang terselip ditiap barisan doa Rinai. Semoga selamanya mereka tetap menjadi sahabat.
***
Harapan yang terbingkai mampu menenangkan, bersama asa yang terkadang jatuh tak tersisa. Memberikan beban panjang yang tak putus hanya karena angan.
Rinai menuruni tangga dengan langkah seirama, memberikan tujuan supaya tidak menjatuhkan.
Yuira sudah pulang sejak ia bercerita panjang lebar dikamar, gadis itu selalu menemaninya dalam suka maupun duka.
"Non Rinai, mau kemana?" Bi Sumi bertanya saat melihat Rinai baru sampai dianak tangga terakhir.
Ia tersenyum. "mau kedepan bentar Bi."
"Jangan malem-malem ya Non, pulangnya." Rinai mengangguk sebagai jawaban. Ia berjalan keluar dari rumah.
Langkahnya terus membawanya jauh tak tentu arah, membawa rasa yang masih terpupuk didalam dada. Netranya memandang bangunan yang berdiri angkuh didepan sana.
Suara milik Astrid S bergema dalam pendengaran Rinai. Langit sudah mulai dipeluk erat oleh gelap malam, namun ia tak sedikit pun beranjak dari tempatnya.
Menikmati indahnya kota Jakarta dari ketinggian adalah aktifitas yang ia sukai, berteriak sesuka hati, mencoba mencari cela disisi. Hingga ia benar-benar menghilangkan beban pikiran maupun hati.
Tangannya dengan lihai menuliskan aksara tiap aksara menjadi rangkaian bait rasa, menenggelamkan nestapa. Supaya secepatnya semua hilang ditelan kata. Ternyata pertanyaan tentang rasa tak menemukan jalan keluarnya, karena yang ia tau, pesona Langit mampu menarik Rinai dalam semesta yang laki-laki itu buat. Hingga mungkin suatu saat rasa itu akan membuatnya tersesat.
Bintang masih setia berkelap, menemani malam yang kunjung hinggap. Mungkin perasaan Rinai hanya alur dari cerita yang terbawa oleh semesta sampai tak tersisa. Mungkin saja.
Rinai menutup matanya, menikmati malam senyap saat suara dibalik Earphone tak lagi terdengar. Meski pertanyaan seperti akar, merambat hingga menemukan pakar.
Getaran disakunya membuat ia melihat nama yang tertera dilayar, jantungnya kembali Berdebar dengan akar yang mulai merambat menyentuh pipinya. Merah begitulah warnanya.
"Hallo." Rinai memulai percakapannya kala hanya ada hebusan angin disebrang sana.
"Lo belum tidur?" suara serak dari sebrang sana membuat Rinai menarik sebelah alisnya.
"Aku belum tidur." Rinai menatap langit didepan sana. Hening kembali, hanya ada suara yang terus menggema dikepala, mencoba mengeluarkan katanya.
***
"Gue kangen lo."
"Gue suka sama lo."
Rinai memainkan piano putih miliknya dengan tangan yang bergetar, menyembunyikan rasa yang terus berdebar. Suara milik Langit bergema didinding sunyi, membiarkan suara itu datang tanpa henti.
Rinai terus menekan tuts tiap tuts mengeyahkan suara Langit yang coba menubruk dinding pertahanannya. Hingga lagu yang Rinai alunkan selesai, ternyata semua yang ia rasakan masih sama, semua hanya hilang sementara.
***
Langit mengacak rambutnya frustasi, bagaimana bisa ia mengatakan hal seperti itu dengan tidak tau malunya?
Laki-laki itu menghela nafas, jika saja semalam ia tak mengambil resiko dengan mengikuti tantangan Tritan dan Regan, mungkin semua tak akan terjadi.
Sekali lagi, mereka masih diam, membuat rasa tetap terpendam, membiarkan semua hingga suatu saat, mungkin saja dinding tak kasat mata sudah berdiri didepan sana.
••••