Chereads / Serendipty / Chapter 16 - Pertanyaan Soal Rasa

Chapter 16 - Pertanyaan Soal Rasa

Perasaan diciptakan bagi setiap manusia, banyak orang yang mengapresiasi perasaan dengan mengungkapan atau memendam sebagai jalan.

Perasaan? Jika berbicara perasaan apa rasa cemburu yang tiba-tiba datang adalah pertanda tumbuhnya sebuah perasaan? Rasa yang mulai tumbuh atau memang sejak lama utuh? Entahlah.

Sudah dua hari semenjak Rinai tidak masuk sekolah, dan kini gadis itu sudah asik membuat roti dengan beberapa selai yang ada didepannya. Roti panggang dengan aksen selai berwarna coklat membuat ia tersenyum senang.

Jangan lupakan segelas kopi untuk Ayahnya. Beliau sangat suka dengan kopi buatan Rinai, mirip dengan Bunda, katanya.

"Ayah.." Rinai menaruh satu piring roti panggang dan kopi yang khusus dibuat oleh tangan-tangannya.

"Wah, Ayah kangen banget nih sarapan yang dibuat Rinai." gadis itu tertawa mendengarkan perkataan Ayahnya yang begitu antusias.

"Ayo makan." ajakan Ayahnya membuat Rinai bergegas duduk disamping Rendra dan memakan roti panggang buatannya.

"Kamu beneran udah sehat?" Rendra bertanya saat mereka sudah sampai didepan pintu rumah.

Gadis itu mengangguk semangat. "aku baik-baik aja, Ayah." mengakhiri perkataannya dengan sebuah senyuman.

"Ayah antar kamu kesekolah." Rinai berjalan mengikuti Ayahnya. Setelah sampai didepan mobil, Ayahnya membukakan pintu untuk Rinai. Setelahnya mobil pun berlalu meninggalkan pekarangan rumah.

Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai disekolah Rinai. Gadis itu keluar dari mobil sang Ayah, setelah menyalimi tangan Ayahnya.

Mobil Ayahnya berlalu keluar pekarangan sekolah bersamaan dengan gadis yang berlari mendekati Rinai.

"Rin, itu Ayah bukan sih?" pertanyaan seseorang yang ada disamping gadis itu membuat ia tersentak dan melihat kearah sampingnya.

Yuira ikut melirik Rinai dan menampilkan deretan giginya kala ia baru saja membuat gadis disampingnya ini kaget. "Iya itu, Ayah." Rinai mengangguk.

"Ihh, kok gue telat sih. Padahal gue mau ketemu Ayah ganteng." perkataan gadis disampingnya ini mampu membuat Rinai tertawa pelan. Yuira memang menyebut Ayahnya ganteng karena memang beliau masih terlihat ganteng meski umurnya yang sudah tidak lagi bisa dibilang muda. Dan Rinai menyetujui.

"Pagi Rinai." suara seseorang yang dua gadis itu kenali, membuat mereka berdua melihat kesumber suara.

Rinai menatap Langit dengan senyum canggungnya, sesuatu didalam dadanya berdebar begitu cepat bahkan mungkin menjalar kedalam kedua pipinya. "pagi, Langit."

Langit kembali bertanya, saat mereka sudah berada dikoridor. "Gimana keadaan, lo?"

"Aku baik-baik aja."

"Makasih, hadiahnya." imbuh Rinai dengan panas yang menjalar membuat merah itu berakar.

Derai berjalan kearah mereka bertiga, dengan tatapan yang entah bagaimana menjelaskannya.

"Hai.. Langit." Derai tersenyum begitu manis, dengan tangan yang ia lambai-lambaikan.

Langit dan Yuira meninggalkan Derai dan Rinai yang masih bingung akan kondisi juga situasi, dua orang yang baru saja berjalan seakan menarik mereka berjalan berirama mengiringi langkah dan perasaan yang tak suka.

"Derai, maaf ya aku duluan." Rinai melambai diiringi senyuman. Langkah cepatnya mengejar dua orang yang mulai terpisah diujung persimpangan.

Derai menatap punggung Rinai tak suka, mata hitamnya memancarkan betapa bencinya ia, merekam bagaimana interaksi keduanya, bagaimana Langit yang menatap Rinai begitu mendalam dan Rinai yang mulai memiliki rasa diam-diam.

***

"Gue kenapa ya, bawaannya tuh pingin banget nyakar muka sih Derai, yang sok polos itu." Yuira membuka suaranya kala mereka sedang memilih minuman dilemari pendingin.

"Astaga, Yuira galak banget." Rinai menempelkan minuman dingin dipipi Yuira supaya perempuan itu bisa mendinginkan dirinya.

"Seriusan, dia tuh polos-polos licik gitu, untung lo bukan punya sahabat yang suka nikung lebih parah nanti sakit hatinya." Yuira kembali berucap saat kini keduanya berjalan kearah rak makanan ringan.

"Ceritanya ini kode dulu ya, baru nanti menjalankan aksi." Rinai tertawa.

"Eh bukan gitu, gue tuh sahabat yang berkelas dan anti nikung menikung."

Rinai menggeleng-gelenggkan kepalanya, haduh mengapa jadi bahas tikung-menikung, bukan topik mereka banget. "Dikira kita mau jadi pembalap kali ngomongin tikung-menikung. Udahlah ayo." Rinai menarik lengan Yuira untuk berjalan kearah kasir.

Kini keduanya sudah berada didalam kamar Rinai. Yuira sepakat untuk menginap dirumah Rinai, saat gadis itu terus memaksa meminta Yuira bermain dirumahnya.

Yuira asik menatap laptop didepannya dan Rinai duduk dimeja belajarnya. Dengan buku yang tinggal beberapa lembar lagi akan membuat gadis itu tau akhir dari kisah.

"Rasa itu nggak akan pernah bisa dipendam, apalagi dari sahabatnya sendiri. Lama kelamaan pasti bakal tau, sama aja kaya pepatah." Rinai menatap Yuira yang masih asik menatap laptopnya, tapi perkataan yang keluar dari bibir gadis itu mampu membuat Rinai mengerutkan dahi.

"Gue lihat gimana gerak-gerik lo, pas ada Langit. Gimana pipi lo yang berubah jadi merah." detik berikutnya jantung Rinai berdetak ubnormal.

Rinai memberi pembatas pada bukunya, lalu menutup buku itu. Ia mendekati Yuira.

"Maaf..." Rinai memeluk Yuira dari samping.

"Kalau gue nggak baca gerak-gerik lo, mana bisa gue tau." Rinai menampilkan deretan giginya.

"Aku malu mau bilang, lagian aku belum tau juga beneran aku suka sama Langit atau enggak." Rinai menatap langit yang masih terang dari balik jendela yang belum tertutup tirai gorden.

"Perasaan bisa datang kapan aja sih, bukan salah lo juga mau jatuh dimana, kesiapa." Rinai mengangguk setuju.

"Semesta selalu punya cara buat mendekatkan dua orang yang gak saling kenal dengan cara teruniknya." imbuh Rinai.

"Tuh, lo tau."

"Aku harus gimana?"

"Biarin semua berjalan apa adanya, suatu saat lo pasti dapet jawaban dari apa yang udah bikin pikiran lo berkelana." Rinai mengangguk antusias.

"Kamu emang paling tau deh, jadi makin sayang." Rinai memeluk Yuira begitu erat.

"Siapa dulu, gue gitu loh..." Yuira membanggakan dirinya.

"Btw, kamu cocok Lo jadi dukun, bisa tau apa yang orang lain rasain." Rinai dan Yuira tertawa bersama. Membuat atmosfer didalam ruangan yang tadinya dingin menjadi kembali hangat.

***

Hujan menguyur kota Jakarta malam ini, menyisahkan dinginya disisi. Gadis dengan sweater yang memeluk dirinya dari malam, dengan lampu yang temaram diujung jalan.

Sesekali ia menengadah, menghela nafas lelah. Semua yang terjadi hari ini membuatnya tak sadar ternyata memang ada perasaan yang berakar.

Hingga sebuah seruan membuatnya tertegun, rasanya seperti mimpi, tapi memang nyata ada disini.

"Rinai." tepukan dibahu Rinai membuat ia tersadar dari lamunan. Benar ini Langit.

"Eh, Langit?"

"Malem-malem gini, mau kemana?" Langit bertanya bingung.

"Jalan aja." Rinai tertawa pelan. Langit menghela nafas, gadis didepannya ini masih belum sepenuhnya mempercayainya.

"Didepan ada minimarket yang buka 24 jam, ikut gue yuk." Rinai mengikuti langkah Langit yang mulai berjalan seirama dengan hentakan.

Keduanya sudah duduk didepan minimarket, dengan keheningan yang tercipta, meski seribu tanya ada didalam kepala, juga debaran hebat didada.

"Em, lo suka sama hadiah yang gue kasih" Rinai tersenyum dan mengangguk.

"Suka, makasih ya." Langit mengangguk-anggukan kepala.

"Lo udah baik-baik aja?" Langit kembali bertanya.

"Seperti yang kamu lihat." Rinai membuang wajahnya kesembarang arah, menyembunyikan perasaan yang dengan lancangnya datang.

Hingga sebuah debaran yang tak kunjung hilang, rasa yang begitu menyesakan. Semesta seakan menertawakan dua insan yang saling diam tanpa kata yang terucapkan.

••••