Chereads / Serendipty / Chapter 14 - Murid Baru

Chapter 14 - Murid Baru

Matahari keluar dari persembunyiannya, sinar matahari menyingsing memasuki sela-sela kamar gadis yang masih asik terlelap dalam mimpinya.

Suara ketukan pintu yang cukup nyaring membuat Rinai membuka matanya. Dengan setengah nyawa yang baru terkumpul, Rinai berjalan menuju pintu dan memutar kunci lalu membuka pintu. Wajah Ayahnya terlihat memandang Rinai dari atas hingga bawah.

"Coba kamu lihat, sekarang jam berapa?" suara barithon Rendra membuat Rinai mengucek matanya dan melihat kearah jam disamping tempat tidurnya.

Matanya membulat sempurna kala melihat jarum jam menunjuk angka 6:30. "Ayah, Rinai telat." Rinai berlari meninggalkan Ayahnya yang hanya bisa menggeleng-gelenggkan kepala.

Dengan kecepatan kilat, hanya butuh waktu dua puluh menit Rinai sudah siap dengan seragam khas SMA Alam Nusantara. Ia memakan rotinya satu suap, lalu meneguk susu putih.

"Ayah, Rinai berangkat dulu ya." Rinai mencium tangan Ayahnya dengan tangan kiri yang memegang roti.

"Eits, tunggu." Rendra mencekal pergelangan tangan sang anak, lalu memberikan kota bekal berisi nasi goreng.

"Ayah masakin nasi goreng, kamu harus habisin." Rinai tersenyum dan mengangguk antusias. Kotak bekal ia pindah ke tangan kiri dan tangan kanannya kembali menyuapi roti kedalam mulutnya. Gadis itu berlari keluar rumah. Mobil pribadinya sudah siap, dengan cepat ia menaiki mobil.

Rinai melihat pagar yang menjulang tinggi didepannya. SMA Alam Nusantara begitulah tulisan yang tertera disana. Rinai tersenyum getir saat pagar itu sudah tertutup rapat. Alasan apa lagi yang akan ia lontarkan? Karena ini adalah kedua kalinya ia terlambat.

"Permisi, pak bukain pager nya pak, saya minta maaf karena sudah terlambat lima menit." Rinai memegang pagar besi dengan wajah memelas, ia seperti dipenjara saja.

Laki-laki berusia lima puluh tahun keluar dengan seragam satpam lengkap.

"Aduh, Neng Rinai tumben kesiangan? Biasanya juga tepat waktu, telat terakhir dan pertama kali udah dua bulan yang lalu." Rinai mengingat insiden dimana ia harus menabrak Langit dikoridor dan membuat mereka berdua dekat hingga sekarang. Pak satpam membukakan gembok pagar.

"Saya kesiangan Pak, semalam ada acara keluarga." Rinai tersenyum tipis.

Pagar terbuka, membuat ia buru-buru masuk. Belum langkah kakinya melangkah masuk, bunyi klakson dari arah belakang membuat ia meminggirkan langkahnya.

"Pagi pak." Gadis dengan bando polkadot rambut pirang yang tergerai indah, hidung mancung dan wajah putih. Membuat takjub siapa saja yang memandang.

"Pagi Neng, murid baru ya?" gadis itu mengangguk.

"Silahkan." Pak satpam mempersilahkan mobil itu masuk. Detik berikutnya Rinai mengingat jika ia terlambat membuat gadis itu menepuk jidatnya.

"Pak saya masuk dulu ya. Terima kasih." Rinai tersenyum dan mulai berlari kearah koridor dua belas MIPA.

***

Matahari sudah mulai beranjak naik, meski belum sempurna. Namun, sinarnya bisa membakar kulit siapapun. Gadis dengan kacamata yang bertengger di hidungnya nya dan rambut yang ia gerai terlihat sedikit acak-acakan. Peluh keringat bercucuran.

"Rinai, semangat!" Yuira berteriak dipinggir lapangan, ia sudah menyiapkan sebotol air mineral dingin yang mampu membuat tenggorokan Rinai terasa sakit. Rinai tersenyum kearah Yuira.

Gadis itu kembali menatap kearah dimana siswa-siswi SMA Alam Nusantara yang mulai berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Rinai baru ingat, baru saja bel istirahat berbunyi membuat mereka berhamburan keluar kelas entah untuk ke kantin ataupun ketempat lain.

Netranya menangkap dua orang yang sedang berjalan dikoridor kelas sebelas. Laki-laki dengan seragam yang ia keluarkan dasi yang sudah tidak terlalu rapi menatap lurus. Sedangkan gadis disampingnya berceloteh riang, tanpa mau memperdulikan apakah lawan bicaranya mendengarkan atau tidak.

"Gadis itu." Gumam Rinai pelan.

"Rinai, hukuman kamu sudah selesai. Besok-besok jangan diulang lagi!" Bu Rinda selaku wali kelas Rinai sudah berdiri disamping Rinai, membuat gadis itu melihat kesumber suara.

Rinai mengangguk sopan. "siap bu."

Rinai berjalan kearah Yuira, belum ia sampai didepan Yuira, bola basket terpantul kearahnya. Bola itu mengenai kepala Rinai.

Sebelum Rinai pingsan, ia melihat Yuira yang berlari kearahnya. Belum Yuira sampai didepannya, semua sudah gelap. Rinai pingsan.

***

Rinai menatap ruangan ber cat putih, Rinai mencium bau khas UKS. Ia mendudukan dirinya dibrankar. Rinai menatap Yuira yang sedang fokus dengan handphone ditangannya.

"Ra.." panggil Rinai pelan.

"Udah, lo jangan banyak gerak." Yuira berjalan mendekati Rinai dan membantu gadis itu untuk duduk.

"Aku kok bisa disini?" tanyanya sambil melihat kesekeliling ruangan.

"Basketnya nyasar kearah lo." Yuira tertawa pelan. Sedangkan, Rinai tersenyum simpul.

"Ada yang sakit?" tanyanya saat melihat Rinai memegangi kepalanya.

"Pusing banget, Ra." Wajah Rinai pucet membuat Rinai seketika panik.

"Tadi dokter Ririn ngasih obat ini kalau lo pusing." Yuira membantu Rinai meminum obat.

"Kamu nggak kekelas?" Yuira menggeleng.

"Nggak, lo udah pingsan berjam-jam dan ini pelajaran terakhir. Gue bolos nemenin lo."

"Maafin aku ya."

"Its okay."

Hening cukup lama. Hingga sebuah pertanyaan milik Rinai membuat Yuira menatap Rinai. "yang ngangkat aku kesini siapa? Nggak mungkin kan kamu?"

"Ya nggak lah, tuh sih—" belum Yuira melanjutkan perkataannya, Langit sudah masuk kedalam UKS dengan perempuan disampingnya.

"Hai.." Langit tersenyum kearah Rinai.

"Eh," Rinai menatap Langit bingung.

"Dia yang angkat lo ke UKS. Nggak mungkin gue." Yuira menatap Rinai dan Langit bergantian.

"Kamu ngapain disini? Bukannya udah bel pulang?" Rinai melihat kearah Langit. Karena bel baru saja berbunyi kala beberapa menit kemudian Langit masuk kedalam ruang UKS.

"Mau lihat lo, ada yang sakit?" Rinai tersenyum dan menggeleng pelan.

"Langit, ayo pulang."Derai menarik lengan Langit.

"Lo bisa gak sih, diem sebentar."Langit menatap gadis dengan bando polkadot itu dingin.

Rinai menatap gadis disamping Langit bingung. Yuira pun menatap gadis itu dengan pandangan yang sama seperti Rinai.

"Kenalin, aku Derai Anantha. Tunangannya Langit." Derai mengulurkan tangannya. Tapi, ucapan terakhir Derai membuat Rinai merasakan sesuatu dihatinya. Tidak, Rinai tidak cemburu, ia senang. Sungguh.

"Derai!" bentakan Langit, tak membuat gadis itu gentar. Ia malah menampilkan senyumannya yang membuat Yuira ingin muntah, bahkan Langit juga sama.

Yuira menatap Derai tak suka. Rinai tersenyum kearah Derai.

"Rinai Hujan." Rinai membalas uluran tangan Derai yang sudah mengambang diudara cukup lama.

Langit menatap Rinai dengan wajah khawatirnya, Rinai belum sembuh sepenuhnya. Kenapa wajahnya berubah saat Derai memberitahu sesuatu yang bahkan bukan fakta.

Rinai dibantu Yuira berjalan dilorong sekolah, setelah mengambil tas masing-masing, bel sudah berbunyi lima menit yang lalu.

Langit sengaja pulang terlambat karena ingin menunggu Rinai. Kalau bukan karena Rinai yang lebih meminta bantuan Yuira dibandingkan dirinya. Pasti ia sekarang ada disamping Rinai, membantu gadis itu. Bukan malah didepan Yuira dan Rinai dengan Derai yang selalu saja memeluk lengannya.

"Licik banget tuh cewe, dasar medusa!" Yuira menatap punggung Derai dan Langit tak suka.

"Udahlah Ra, mereka cocok kok." Rinai tertawa pelan.

"Iya cocok, kaya langit sama bumi." Yuira melipat tangannya didepan dada.

Rinai tersenyum simpul. Ia menatap punggung Langit didepannya, tak seharusnya ia cemburu atau apalah itu, karena ia juga tak memiliki perasaan lebih kan sebelumnya untuk Langit?

Saat mereka sudah sampai diparkiran. Langit menawarkan tumpangan untuk Rinai. Namun, Rinai menolak dengan alibi yang ia buat.

"Ayo, jemputan gue udah dateng." Rinai mengangguk dan mendekati mobil milik Yuira, keduanya menaiki mobil itu.

Langit memperhatikan mobil Yuira yang keluar dari pekarangan, bersatu bersama pengendara yang lain. Bersamaan dengan itu ada rasa yang berbeda didalam hati Rinai untuk Langit.

••••