Rinai memasuki rumah dengan langkah pelan, ia masih sedikit pusing, wajahnya pun masih pucat. Yuira memilih langsung pulang setelah mengantarkan Rinai selamat sampai dirumah.
"Non Rinai." Bi Sumi mendekati Rinai.
Rinai tersenyum dan menggapai tangan Bi Sumi yang terulur. "aku nggak papa Bi, cuman pusing dikit. Gara-gara basket nyasar keaku." Rinai tertawa pelan.
Netranya melihat kesekitar. "Ayah belum pulang Bi?"
"Belum Non, katanya masih kejebak macet." Rinai mengangguk mengerti.
Gadis itu lebih memilih memejamkan mata saat Bi Sumi berlalu melewatinya menuju dapur.
"Ini Non, diminum dulu jus Mangga nya." Rinai membuka mata kala suara Bi Sumi memasuki indra pendengaran.
"Makasih, Bi." Rinai menggapai segelas jus Mangga yang ada diatas meja.
Suara mobil yang memasuki bagasi membuat gadis itu tersenyum simpul. Pasti itu sang Ayah.
Rendra memasuki rumah bersama wanita yang mampu membuat mood Rinai jatuh. Ia menatap wanita itu tak suka.
"Rinai, Tante kesini mau minta maaf." Alesa membuka suaranya dengan kata maaf, karena melihat wajah Rinai datar pasti gadis itu sudah tak mau berbicara dengannya sekedar basa-basi.
"Tante nggak akan maksa kamu untuk menyukai Tante. Tapi, Tante akan berhenti untuk menyukai Ayah kamu." Jeda Alesa sebentar.
"Tante nggak akan menganggu kalian lagi. Maafin Tante." Alesa mengelus puncak kepala Rinai.
Alesa berjalan melewati Rinai, menuju pintu. Belum punggung itu hilang ditelan belokan, Rinai berucap dengan wajah datar dan nada dingin. "semoga perkataan Anda bukan sekedar kata."
Rendra memeluk sang anak, Rinai memeluk Rendra erat, seakan tidak ingin kehilangan Ayahnya. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan siapapun dihati Ayah selain Bunda begitupun Rinai.
Dirumah ini, cukup ada Bibi, Mang Ujang, Mang Dipto satpam rumah Rinai, Ayah juga Rinai. Hanya itu.
Rendra berjanji tidak akan kembali membuat putrinya terluka dan mungkin saja Raina disana.
***
Matahari masih setia memeluk langit, memberikan hangatnya meski tidak akan bertahan lama. Burung-burung mulai kembali ketempatnya, membawakan makanan untuk sang anak atau beberapa bahan yang akan digunakan untuk membangun rumah.
Rinai membagi pandangannya untuk langit sore dari ayunan dibalkonnya dengan buku yang ada ditangannya.
Ia memilih menikmati sore ini dengan membaca buku, menemani hatinya yang sedang dalam perasaan tak menentu. Helaan nafas sesekali terdengar keluar menandakan ia mulai kembali tidak fokus.
Getaran handphone disampingnya membuat ia mengalihkan pandangan dari buku. Nama Aldo dan Langit terpampang disana.
Kak Aldo : Ayah bilang kamu kena bola basket, kamu gak papa?
Rinai : Aku nggak papa kak, cuman masih sisa pusing aja.
Rinai beralih keroom chat milik Langit.
Langit Aldebaran : Lo udah baikan?
Rinai Hujan : Udah, cuman pusing sedikit.
Langit Aldebaran : Kalau gitu, besok jangan masuk sekolah dulu.
Rinai Hujan : Iya, makasih Langit.
Langit Aldebaran : Btw, jangan percaya apa yang diomongin Derai.
Rinai Hujan : Kenapa? Derai sama kamu cocok kok.
Langit Aldebaran : Nggak cocok, gue gak suka dia. Pokoknya jangan dengerin kata Derai.
Rinai Hujan : Iya-iya, Langit.
Langit Aldebaran : Good.
Rinai tak kembali membalas pesan milik Langit, ia kembali membuka room chat bersama Aldo. Namun, laki-laki itu tidak kunjung membalas pesannya. Mungkin dia sedang flight.
Tak terasa ternyata sudah dua Minggu semenjak kepergian Aldo, laki-laki itu akan kembali dua Minggu setelahnya. Karena Aldo pernah bilang kalau ia dinas satu bulan.
Matahari mulai kembali keperpaduannya, menyisahkan semburat jingga. Rinai memilih masuk kedalam kamar untuk beristirahat sebentar.
Berpuluh-puluh kilometer dari Rinai, Langit mengacak rambutnya frustasi dengan apa yang terjadi hari ini.
***
Liliana memasuki rumah dengan wajah lesunya, tangannya terus memijit pelipisnya.
"Ma." Langit berjalan mendekati wanita yang baru saja duduk diatas sofa.
"Kenapa?" tanyanya dengan kedua mata yang terpejam.
"Mama nggak perlu repot-repot jodohin aku sama Derai." Liliana membuka kedua bola matanya.
"Mama cocok sama Derai."
"Pandangan bisa menipu siapa aja Ma. Hanya karena Mama pertama kali lihat hal istimewa dari dia."
"Kenapa kamu bisa bilang gitu? Atau kamu memiliki seseorang yang istimewa? Langit diam tak bergeming.
"Mama yakin dengan Derai." Liliana menepuk bahu Langit.
***
Rinai mengerjap matanya dan melihat jam disamping tempat tidurnya. Jam sudah menunjukan pukul satu malam.
"Kebiasaan, bangun jam segini." Rinai bergumam pelan.
Gadis itu berjalan keluar kamar menuruni tangga untuk sampai ke dapur. Ia membuka kulkas mengambil susu pisang dan beberapa cemilan.
Rinai menatap langit malam dengan buku di tangannya, beberapa camilan dan susu pisang didepannya.
Malam adalah hal yang paling Rinai sukai, suasananya yang tenang. Suara ponsel yang berbunyi nyaring membuat Rinai buru-buru melihat siapa yang malam-malam menelfonnya.
Nama Aldo terlihat dilayar handphonenya, membuat ia buru-buru mengangkat.
"Halo, Rinai?" suara berat dari sebrang sana membuat Rinai tersenyum simpul.
"Iya kak?"
"Kamu belum tidur? Atau kebangun?" Aldo bertanya dengan nada bingungnya.
"Aku kebangun kak, udah kaya alarm sih setiap jam satu pasti kebangun." Aldo mengangguk-anggukan kepala, dari sebrang sana.
"Kakak lagi dimana?"
"Jerman." perkataan Aldo membuat Rinai berbinar.
"Kakak disana? Setelah lulus nanti aku mau kesana." Rinai bercerita dengan nada cerianya.
"Kuliah disini?" Rinai mengangguk berlebihan, padahal percuma karena Aldo juga tidak bisa melihat.
"Yaudah semangat, jam delapan nanti kakak ada flight ke London, sebelum kesana kamu mau kakak beliin apa di Jerman?"
"Nggak usah kak." Rinai tertawa pelan.
"Oke, kalau gitu buku aja. Bahasa Jerman sama Inggris."
Aldo memang mengerti apa yang ia suka. "makasih kak." Rinai tertawa dari sebrang sana.
Malam itu Aldo dan Rinai menghabiskan waktu beberapa menit melepas rindu.
***
"Kamu nggak usah sekolah dulu sayang, Ayah udah bilang sama guru kamu." Rinai memperhatikan Ayahnya yang sibuk membenarkan dasinya.
"Iya Ayah." Rinai menyuapi roti kedalam mulutnya.
"Jangan lupa makan, terus diminum obatnya." Rinai mengangguk.
"Kalau mau kemana-mana izin sama Ayah." Rinai tersenyum dan kembali mengangguk.
Setelah Rendra menghabiskan makanan, ia berjalan menuju pintu rumah diantar Rinai.
Rendra mencium puncak kepala Rinai. "Ayah pergi dulu, kalau ada apa-apa bilang sama orang rumah atau telfon Ayah."
"Siap Ayah."
Mobil milik Rendra keluar dari pekarangan rumah. Rinai masih asik memandang kepergian sang Ayah hingga mobil itu semakin hilang ditelan pandangan.
Rinai duduk disofa dengan tangan yang asik membalik lembar demi lembar buku bacaannya. Hingga suara Mang Ujang membuat ia menghentikan aktifitas.
"Neng, ada paket." Rinai menerima paket yang diberikan Mang Ujang.
"Makasih Mang," setelah kepergian Mang Ujang, Rinai membuka paket tersebut. Dua kotak susu rasa pisang, permen lollipop dan dua coklat juga satu kartu ucapan.
Get Well Soon, Rinai.
Langit Aldebaran.
••••