Sudah dua hari semenjak ia pulang dari panti asuhan diantar oleh Aldo, Rinai selalu menghindar dari Rendra.
Selalu saja, setiap pagi Rinai sudah berangkat lebih awal darinya. Meski kini Rinai sudah mau diantar oleh supir. Rinai bukan anak manja, ia bahkan dengan senang hati kala harus menaiki transportasi umum untuk sampai disekolah, sekali pun ia tak pernah marah. Tapi, memang Rendra adalah seorang Ayah yang sangat protektif terhadap anaknya, apalagi Rinai adalah perempuan.
Rendra menghela nafas kala fikirannya malah pergi tak tentu arah, sedangkan didepannya sudah banyak dokumen-dokumen yang menunggu untuk dikerjakan olehnya.
Laki-laki itu berdiri dari duduknya, ia memperhatikan sibuknya Ibu Kota dari balik jendela besar.
Bisa sampai ketitik ini juga bukan hal yang mudah untuk Rendra Raditama, dia bahkan perlu jatuh bangkit untuk bisa mendirikan RR Group. Ada yang bilang jika keberhasilan laki-laki karena wanita hebat dibelakangnya. Dan tentu saja, itu memang benar. Raina Elara wanita sederhana yang mampu memikat hati Rendra, wanita luar biasa yang menemani disetiap langkah Rendra tak perduli jika dunia mencela hubungan mereka.
Raina dan Rendra bertemu disebuah cafe. Waktu itu Elara adalah penyanyi sekaligus pemain alat musik disalah satu cafe. Membuat Rendra jatuh cinta pada pandangan pertama.
Entah mengapa Alesa bisa mampu mengambil hatinya meski hanya sebagian, memang dari awal ini adalah kesalahan.
"Permisi Pak, ada dokumen yang harus Anda tanda tangani." Cantika-- sekertaris Rendra membuka suaranya kala melihat Rendra melamun didepan jendela besar.
Rendra mendekat, dan menandatangani dokumen itu. "anak saya marah, benda apa yang bisa membuat dia kembali seperti semula?" pertanyaan Rendra tentu saja membuat Cantika tersenyum simpul.
"Waktu dan kata maaf, dua hal yang banyak dinantikan oleh seorang anak, Pak." jawaban Cantika sontak membuat Rendra tertegun. Dua kata yang memang jawaban dari kesalahannya. Kata maaf untuk hal yang ia sembunyikan selama sebulan ini dan waktu bersama Rinai yang telah ia rengut untuk pekerjaan.
"Kamu benar." Rendra mengangguk-anggukan kepala.
"Nona Rinai pasti menyukai apapun yang Anda berikan Tuan, karena Nona Rinai adalah gadis sederhana yang tak pernah meminta hal-hal mewah."
"Persis seperti Bundanya." Rendra tertawa membuat Cantika ikut tersenyum.
"Baik, silahkan kembali." Cantika mengangguk sopan, lalu berlalu pergi dari ruangan Rendra.
***
Rinai mengetuk-ketukan pensilnya diatas meja, membuat ruangan yang tadinya senyap diisi oleh ketukan pensil Rinai. Tak ada yang merasa terganggu karena ulah gadis itu, karena memang populasi dikelas tengelam dalam angka-angka didepannya. Tak berbeda dengan Rinai yang menatap angka-angka didepannya dengan tatapan bingung.
"Astaga, susah banget sih." gerutu Rinai pelan. Namun Yuira yang duduk dibelakangnya tertawa pelan. Ulangan matematika ini diisi oleh setengah dari absen kelas, siswa dan siswi bergiliran memasuki kelas dengan satu bangku yang diisi satu kelas. Rinai dan Yuira masuk kedalam sesi dua, padahal keduanya sudah siap-siap karena bisa saja mereka dapat sesi pertama. Guru matematika mereka memang tidak bisa ditebak. Namun, belajar ataupun tidak Rinai tetap payah dalam pelajaran Matematika,
Rinai memang tipikal orang yang tidak menyukai pelajaran matematika. Entah mengapa ia bisa masuk SMA jurusan IPA padahal mapel angka banyak ia jumpai disini.
Jika ia diberikan kesempatan untuk bertemu dengan 'Doraemon' ia akan meminjam mesin waktu untuk bertemu dengan Bapak Matematika, memberitahu segala unek-uneknya tentang Matematika dan meminta supaya setiap soal matematika dipermudah saja, bahkan kalau perlu lagi ada matematika didunia ini. *Jahat banget ya, jangan ditiru gaes wkwk*
"Baik anak-anak silahkan kumpulkan ulangan kalian, setelah jam istirahat selesai, tolong ketua kelas menghadap Ibu untuk mengambil ulangan teman-teman kamu. Terima kasih." suara Bu Tima, membuat Rinai kembali kealam sadarnya.
Suara bel khas SMA Alam Nusantara yang berbunyi keseantero sekolah membuat teman-teman Rinai tersenyum senang dan berbondong-bondong keluar kelas setelah Bu Tima.
"Kantin yuk," Yuira mencoel bahu Rinai kala melihat gadis itu tak beranjak dari duduknya.
Rinai menggeleng. "kamu aja deh, aku disini aja."
Yuira mengangkat kedua alisnya, tumben sekali sahabatnya ini tidak mau diajak kekanti tempat dimana makanan kesukaan gadis itu berada. "Kenapa? Gara-gara MTK tadi?" tebaknya.
"Lagi mager aja." Yuira mengangguk-anggukan kepala.
Rinai melihat Yuira dengan tatapan bingung, kala ia malah duduk disampingnya dan memasang earphone. "kamu nggak kekantin?"
"Gue mau nemenin lo aja." Yuira tersenyum kearah Rinai.
Rinai menggeleng. "kamu harus kekantin, nanti maag kamu kambuh."
"Gue gak mau." Rinai memutar bola matanya kala mendengar tolakan dari Yuira.
"Yuira, nanti kalau ramai kan bisa dibawa kekelas." Yuira diam, menimang ide Rinai.
"Oke, gue kekantin. Mau nitip gak?" Rinai menggeleng.
Setelah kepergian Yuira kelas kembali hening, atmosfer kelas seakan membuat Rinai larut dalam kesedihan. Ia lebih memilih menengelamkan wajahnya dibalik lipatan tangan.
"Ngapain?" suara milik seseorang yang Rinai kenal, membuat ia melihat kesumber suara. Langit mendekat dengan seporsi siomay kantin.
"Loh kok disini?" Rinai menatap Langit bingung.
"Tadi gue ketemu kak Yuira, katanya Lo gak mau kekantin. Dia nitip ini buat Lo." Langit memberikan seporsi siomay.
"Buat kamu aja deh. Aku nggak mau," Rinai menggaruk tengkuknya.
"Lo lagi diet?" buru-buru Rinai menggeleng cepat.
"Aku udah kurus, masa iya mau diet lagi. Mirip lidi nanti." Rinai tertawa. Langit diam sejenak, tawa Rinai membuatnya kembali terkesiap. Senyumnya saja bisa membuat jantung Langit berdetak ubnormal, apalagi tawa Rinai.
"Lo bawa minum?" Rinai mengangguk dan mengeluarkan botol minumnya.
"Makan sekarang. Gue gak terima penolakan." Finalnya.
Rinai memakan siomaynya dalam hening sesekali melirik kearah Langit, tumben sekali laki-laki itu dingin terhadapnya.
"Langit mau gak?" Langit menggeleng.
Langit berdiri dari duduknya. "gue kekelas, jangan lupa dihabisin." Rinai menatap punggung Langit hingga punggung itu hilang ditelan belokan.
"Langit kenapa ya?" Rinai bergumam.
Tanpa ia ketahui, Langit belum beranjak dari kelas Rinai menahan rasa cemburu yang masih membara, meski sebenarnya jika bersama gadis itu. Ia tidak bisa marah.
***
"Non Rinai, Bibi diamanahi tugas untuk membantu Non berdandan." Rinai menarik alisnya bingung kala suara Bibi masuk kedalam indra pendengaran.
"Bi, Rinai gak kemana-mana. Rinai juga gak mau menghadiri acara Ayah." Rinai menghela nafas.
"Ayo, Bibi bantu." Bi Sumi mengajak majikannya menaiki tangga.
Butuh waktu satu jam sampai Rinai bisa berdiri didepan cermin dengan tatanan yang berbeda. Dress merah dengan aksen renda juga rambut yang ditata updo membuat kesan anggun yang tergambarkan untuk Rinai.
"Mang, kita mau kemana sih?" Rinai bertanya bingung pada supir pribadi rumahnya.
"Supres Non." katanya dengan logat Sunda.
"Surprise, Mang." Rinai tertawa pelan.
"Nah itu Neng."
Sejenak mobil hening membuat Rinai menatap kearah jendela dan melihat langit yang mulai keemasan.
Rinai berdiri didepan cafe bertuliskan Melody, membuat sebuah kotak ingatan menghamburkan semua kertas-kertas memori. Gadis itu langsung menaiki rooftop karena Mang Ujang memberitahunya.
"Ayah.." Rinai mendekat kearah laki-laki itu berada.
"Hai putri Ayah, kita lama nggak ketemu ya." Rendra tertawa jenaka.
"Sini, kita nikmati indahnya senja yang kata orang cuman beberapa orang aja bisa menikmati indahnya." Rinai mengangguk dan berdiri disamping Ayah.
"Sama kaya senja yang nggak bisa Ayah nikmati akhir-akhir ini, begitupun senyum dari putri kesayangan Ayah." Rendra menarik nafas.
"Ayah minta maaf karena tidak bisa memberikan kamu banyak waktu, maaf kan Ayah yang egois soal masa depan."
"Kamu sudah besar, Ayah tau kamu tidak senang. Ayah nggak mau kehilangan kamu Rinai," Rendra memeluk Rinai erat. Namun tidak untuk Rinai, tangannya masih diam tak membalas.
"Ayah akan batalin planning Ayah untuk menikah dengan Tante Alesa." Rinai menangis dan memeluk erat sang Ayah.
"Maafin Rinai Ayah." Rinai berucap dibalik isakannya.
"Kamu nggak salah, sayang." Rendra mengecup puncak kepala Rinai.
Dibawah langit senja, matahari kembali keperpaduan. Menyisahkan semburat jingga yang menghangatkan. Sehangat pelukan Ayah untuk Rinai.
"Makan ayo, kamu pasti laper kan? Pulang sekolah langsung disuruh kesini." Rinai tertawa pelan dan menghapus sisa air matanya.
"Ayah baik deh." Rinai tertawa pelan.
Setelah hidangan tersaji, mereka berdua memakan hidangan, semua makanan yang tersaji adalah kesukaan Rinai.
•••