Sudah terhitung lima hari semenjak Rinai tak pulang. Setelah acara hari Kamis kemarin, Rinai kembali masuk sekolah dihari Jum'at tentu saja karena desakan Aldo. Laki-laki itu yang setia mengantar dan menjemput Rinai dari Jakarta kembali ke Bandung. Aldo masih menikmati libur tugasnya sebelum kembali flight Minggu depan.
"Kakak kapan terbang?" Rinai bertanya saat ia sudah duduk disamping Aldo.
"Kakak nggak punya sayap, sampai bisa terbang. Kalau kamu lupa." Aldo tertawa pelan.
"Ish, kak maksud aku tuh menerbangkan pesawat. Ah, gitulah pokoknya." tawa Aldo pecah kala mendengar penjelasan milik Rinai.
"Minggu depan." Rinai menghela nafas.
"Kenapa?" laki-laki itu menatap wajah murung Rinai.
"Itu tandanya Minggu depan, aku bakal balik kerumah lagi." Rinai tertawa renyah.
"Udah-udah, dari pada sedih mending ikut kakak. Kita menghabiskan waktu seharian cuman berdua. Gimana?" siapa yang akan menolak ajakan Aldo? Tentu saja tidak akan ada. Begitupun Rinai.
"Serius kak?" Aldo mengangguk.
"Habisin dulu sarapannya, habis itu kita berangkat." Rinai mengangguk setuju.
***
Pantai dengan deburan ombak yang tenang membuat Rinai betah duduk diatas pasir pantai. Menenangkan.
"Ada masalah?" Rinai membuka matanya kala suara Aldo memasuki indra pendengarannya.
"Banyak masalah yang datang, Kak." Rinai menghela nafas kasar.
"Ayah mau nikah lagi. Bahkan beliau gak ngasih tau aku sama sekali, kalaupun kemarin aku gak ikut ke acara rekan bisnis Ayah dan melihat langsung. Aku gak akan tau, bahkan Ayah juga nggak nyari aku tuh. Ayah juga lebih mentingin bisnis dari pada aku." Rinai memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Aldo yang malah membuatnya ingin menangis, menjatuhkan bebannya kepada laki-laki itu.
"Sebenernya Ayah menghubungi Ibu, beliau juga titip kamu ke kakak sama Ibu." perkataan Aldo sukses membuat Rinai menatap laki-laki itu.
"Ayah cari Rinai?" Rinai tertawa renyah kala isakan tangisnya mulai terdengar.
"Ayah sayang sama kamu Rinai. Kamu harus dengar dulu penjelasan dari beliau." Aldo mencoba menengahi.
"Kakak..." Rinai terisak dan memajukan bibirnya.
"Iya-iyaa, kakak minta maaf." Aldo menarik Rinai kedalam pelukannya. Rinai menumpahkan tangisnya, menceritakan betapa sakitnya perasaan Rinai lewat isak tangis.
Aldo membelai lembut rambut Rinai, membuat gadis itu mulai berhenti terisak.
"Udah jangan nangis terus, orang-orang pada lihatin kita. Dikira kakak ngapain-ngapain kamu." Aldo tertawa, membuat Rinai yang masih dipelukan laki-laki itu sedikit terguncang.
"Inget ya, kita disini buat seneng-seneng." Aldo mencubit hidung Rinai.
"Kakak, jangan tinggalin Rinai." Rinai mempererat pelukannya.
Aldo tersenyum. "kakak nggak akan pernah tinggalin kamu."
Betapa berharganya perkataan Aldo. Membuat Rinai nyaman didalam dekapan laki-laki itu, membuat ia nyaman setiap dekat dengan laki-laki itu. Tanpa ia sadari, perasaan yang telah lama terpendam akan tetap tumbuh meski tidak pernah diberi pupuk apalagi air. Begitu juga perasaan yang telah lama hinggap didalam hati Aldo. Akan terus tumbuh.
***
Rinai tertawa kala melihat wajah Aldo yang sudah penuh dengan ice cream. Laki-laki itu selalu tau caranya menghilangkan muram, entah tersenyum menenangkan atau sekedar pelukan yang menghangatkan.
"Kamu ketawa aja terus, kakak suka kok." Aldo menarik turunkan alisnya membuat Rinai memukul lengan kekar Aldo pelan.
"Astaga kakak, sejak kapan bisa belajar gombal?" Rinai memutar bola matanya.
'Sejak pertama kali melihatmu." Rinai kembali tertawa. Aldo memperhatikan Rinai, tanpa sadar laki-laki itu tersenyum.
Mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian didalam kedai ice cream. Tapi, mereka tetap asik dengan dunianya juga tawa-tawa yang terus melambung didalam kedai.
"Mbak, pesan satu lagi." Aldo berucap saat pelayan kedai sudah berdiri dimeja keduanya.
"Ih kak, kok pesen lagi? Sayang tau."
"Kamu aja nggak sayang, pas tempel-tempel ice cream ini ke wajah kakak." Rinai tertawa pelan.
"Maaf kak." Aldo mengacak pelan puncak rambut Rinai.
Gerak-gerik mereka membuat mbak yang sejak tadi menunggu pesanan yang akan mereka pesan tersenyum simpul.
***
Mobil Aston Martin DB 11 berhenti dibassment mall. Aldo membukakan pintu untuk Rinai.
"Kakak ajak kamu kesini. Kakak tau kamu suka buku." Aldo menarik turunkan alisnya.
"Astaga, kakak dukun ya?" Aldo tertawa pelan mendengar tuduhan Rinai.
Aldo memutar bola matanya. "ayolah, aku kan seorang Captain, bukan dukun."
"I know, and you always said it." Rinai tertawa membuat Aldo lagi-lagi mengacak pelan rambutnya.
Mereka berdua berjalan masuk kedalam mall dengan tangan Aldo yang selalu berada dibahu Rinai.
"Kamu pilih buku apapun yang kamu mau, berapapun. Bebas." Aldo tersenyum begitu manis.
Dengan senang hati Rinai tersenyum dan berjalan memasuki toko buku dengan Aldo yang masih asik berdiri disampingnya. Setelah selesai memilih-milih mereka berjalan menuju kasir.
"Sekarang kita ke time zone," Aldo menarik pelan lengan Rinai.
Mereka berdua bermain time zone dengan tawa yang sesekali tercipta. Ternyata jika bersama Aldo sebuah tawa menjadi mudah, menangis adalah hal yang harus ditepis, hingga benar-benar terkikis.
***
Langit menuruni tangga dengan tatapan dinginnya. Tawa yang membumbung tinggi diruang tamu tak membuat laki-laki itu melihat kearah sumber suara.
"Langit..." panggilan milik Liliana membuat Langit berhenti dan terpaksa menatap mereka yang berada diruang tamu.
Netra hitam legamnya bersitatap dengan netra hitam milik Derai. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan.
"Ada Derai nih, kamu gak mau aja dia jalan-jalan?" Langit mendekat kearah sang Mama.
"Langit mau ketempat Regan sama Tritan, Ma." Langit menatap Mamanya.
"Main sama mereka kan bisa nanti, toh kalian tetanggaan. Sekarang ajak Derai jalan." Liliana memberikan kode kearah Derai untuk berdiri.
"Mi, Tante. Derai berangkat ya." Derai memakai Sling bag nya dan menyalimi dua wanita didepannya.
"Have fun, sayang." Liliana melambaikan tangan, disambut senyuman oleh Derai.
Liliana dan Angel menatap dua punggung yang berbeda tinggi itu berjalan keluar rumah. Bersamaan dengan doa yang diam-diam wanita itu lafalkan. Semoga saja mereka bisa bersama dalam sebuah hubungan. Hingga, wanita itu lupa jika takdir bisa saja tak berpihak padanya. Mungkin saja.
***
Mobil milik Langit berhenti dibassment mall terbesar di Jakarta Timur. Ia berjalan keluar dari mobil dengan Derai yang terus berusaha mensejajarkan langkah dengan Langit.
"Langit, kamu gak mau ajak aku nonton?" Langit melangkah cepat diikuti Derai yang terus saja berusaha mendekati Langit.
Keduanya sampai didepan bioskop. "pilih." Langit berucap datar.
"Aku mau nonton film horor yang itu." Derai menunjuk planfet film sedang tayang.
Tanpa berkata satu katapun Langit berjalan menuju loker dan membeli dua tiket untuknya dan Derai. Setelah memberikan tiket sambil menunggu mereka duduk di bangku pengunjung.
Langit mengeluarkan handphone nya dan membuka pesan sosial media. Namun yang diharap-harpkan tak mengiriminya pesan. Langit beralih menuju beranda, alisnya bertaut kala melihat foto Rinai dengan Aldo disana. Bahkan Rinai tersenyum begitu senang. Netranya beralih membuka sorotan yang menampilkan akun sosial media milik Rinai, disana aktifitas yang dilakukan Rinai dan Aldo direkam oleh Rinai. Dan hanya berkisar waktu satu menit Rinai kembali mengunggah dimana Aldo yang asik memasukan bola basket dengan sesekali tersenyum kearah kamera.
Langit mematikan layar handphonenya, dan mencengkram handphone itu terlalu kuat. Derai yang menangkap sifat Langit yang berubah. Tambah datar dan dingin, lagi.
"Ayo Langit, filmnya udah mulai." Langit berjalan lebih dulu meninggalkan Derai yang memandang tubuh tegap Langit bingung.
***
"Anjir." Tritan mengumpat kala mendengar suara pintu yang tertutup begitu keras, ulah siapa lagi kalau bukan Langit. Untung saja orang tuanya sedang pergi keluar kota.
"Napa lagi nih, manusia satu." Regan melirik Langit.
"Lang, Lo udah lihat belum tuh status Rinai sama kakak yang waktu itu. Pilot cuy ternyata, tadi gue stalker dan followernya gila banyak banget." Langit menatap Tritan yang asik berceloteh dengan tatapan tajamnya.
"Diem, atau buku ini gue lempar dan melayang dikepala lo." Langit berucap datar, namun tersirat kemarahan disana.
Langit membaca buku tebal. Namun, fikirannya pergi entah kemana. Membuat laki-laki itu menutup bukunya dengan suara keras. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Tritan.
"Napa sih?" Tritan melihat punggung Langit yang mulai hilang dari pandangan.
"Nggak mood kali." Regan mengedikan bahu cuek.
••••