"Sudah dimakan belum sarapan yang sudah susah payah kusiapkan?" tanya suara menyebalkan itu dari luar.
"Iya sudah," jawabku tidak bersemangat. Aku langsung bergegas keluar setelah memakan santapan yang tiba-tiba berada di meja selagi terlelap. Harus kuacungi jempol, roti, tahu dan tempe yang 'dibuatkannya' pagi-pagi begini. Terasa enak seperti makanan buffet hotel bintang lima. Yang membuatnya tidak sempurna adalah pertanyaan yang muncul, bagaimana ia membuat semua ini?
Sosoknya bertengger di tepi atap dalam wujud sebuah burung nuri berwarna merah dengan pola warna-warni bercorak pelangi di bagian kepalanya, dengan sayap bagian dalam berwarna hijau muda yang begitu cantiknya.
"Kau pasti bertanya-tanya bagaimana cara kekuatan itu terbentuk, bukan? Tidak adil jika informasi penting seperti itu tidak tersampaikan padamu," ia menghela nafas panjang.
"Sesungguhnya yang kau gunakan bukan ciptaan terbesarku. Melainkan, ini semua!" Ia membentangkan sayap selebar-lebarnya. "Jaringan Kerajaan Langit. Seperti jaringan internet yang kalian selama ini ketahui, bisa digunakan untuk menghubungkan kita semua secara real time. Perbedaannya dari internet biasa yaitu secara fisik, jaringan ini tersebar di sekitar kita. Rumah ini, dedaunan yang jatuh, hewan-hewan, udara yang kita hirup, bahkan kau!
Aku menggaruk kepala. "Mustahil! Bagaimana sebuah unsur dapat tercipta tanpa alasan yang jelas?"
"Itu adalah terobosan masa depan. Mata yang kupinjamkan padamu, merupakan alat untuk dapat mengendalikan jaringan disekitarnya. Aku namakan mata itu sebagai 'Diversion' lalu layar hijau kunamakan 'Screen'. "Matanya menyala lalu tiba-tiba api muncul dari tangannya. Tidak ada perantara Screen yang dimaksud atau semacamnya.
"Layaknya atom bersatu menjadi molekul lalu menjadi sel lalu menjadi tissue lalu menjadi organ dan seterusnya sampai 4 unsur dasar dapat tercipta. Lalu Screen itu merupakan layaknya sebuah mesin, dapat memproses pembentukan unsur tersebut."
"Kemana Screenmu?" tanyaku.
"Aku sudah tidak membutuhkan layar untuk pemula," tawanya lalu seluruh empat elemen mengalir disekitarnya dengan jentikkan jari.
"Membentuk suatu unsur dari ruang hampa, apa tujuanmu melakukan semua ini? Dan hubungannya apa dengan kabut ini dan kita di dalamnya?"
"Aku ingin membentuk suatu senyawa baru, unsur baru untuk memerangi bakteri bermutasi paling berbahaya yang manusia pernah temui. Segala jenis antibiotik sudah tidak mempan dan terus menerus membuat mereka semakin kuat. Sekalian saja aku mempromosikan Jaringan Kerajaan Langit pada dunia."
"Lalu untuk pertanyaan kedua, area dalam pengepungan kabut merupakan medium percobaan. Kau tidak mungkin meneliti suatu bakteri dengan kehadiran bakteri lain di tempat yang sama bukan?" Tawanya. "Dalam percobaan dibutuhkan input untuk menghasilkan suatu output yang menjanjikan. Inputnya yaitu kalian, harus dibudidaya pada suhu yang dingin, dan tanpa perantara dari dunia luar. Dengan bantuan jaringan sebagai proses, DNA kalianlah yang menjadi outputnya."
"Kenapa kami? Kenapa manusia sebagai input?" tanyaku bingung
"Bukannya sudah kuberitahu di universitas itu? Pada akhirnya, untuk meneliti suatu spesies, percobaan dari spesies yang sama adalah pilihan yang paling tepat, tidak ada pengkorelasian ataupun pengkalibrasian yang menghasilkan margin error yang besar antara subjek tes. Lalu berhubung umat manusia sedang dikejar oleh parahnya bakteri dan kekacauan yang ditimbulkan akibatnya."
"Berkata seperti itu tidak membuatmu menjadi orang suci." Pikiranku berusaha menangkal pembenaran yang terus keluar dari mulutnya. "Kau akan tetap membunuh kami semua di dalam pengepungan ini, bukan? Lupa ya dengan kalimatmu kalau kami semua akan dikorbankan begitu saja?"
"Tapi kau tidak, pergilah sesukamu setelah ini semua selesai, aku janji," balasnya membuat keadaan seakan tidak menjadi lebih baik.
Selagi aku bersamanya, niat jahatnya terpaksa kutelan mentah-mentah. Tapi entah kenapa ini berbeda dengan saat bertemu dengannya di ruangan kampus itu. Sekarang hubungan kami tampak lebih santai setelah aku berkata balik padanya. Dengan tampilan burung nuri menggemaskan itu ia menjadi lebih santai. Tidak, niatnya tetap menimbulkan korban jiwa, dan orang-orang yang kukenal tetap menjadi korbannya.
"Ada perlu apa pagi begini?"
"Kamu perlu banyak belajar untuk mengendalikan fitur yang ada," ia terdengar kecewa dapat dilihat dari sayap kanan yang ditutup ke wajahnya sembari menggeleng. "Coba katakan, apa tanganmu merasa sakit sekarang?"
Mataku memandang telapak tangan kiri dengan perban penuh darah. Rasanya masih nyut-nyutan dan tidak bisa dikepalkan secara penuh. "Sebelumnya memang terasa panas sih tapi sekarang ..."
Nuri itu bertengger di atas jemari yang kulengkungkan. Kepalanya dibengkokkan ke bawah sampai pelatuknya menyentuh permukaan perban. "Hmmm tanganmu kuat juga ya, waktumu di Kompleks telah membentukmu sebagai lelaki sejati."
Aku membuang muka. "Lelaki sejati yang sebenarnya yaitu tidak menimbulkan kehancuran disekitarnya ketika bertindak sesuatu sesuai keinginannya."
"Masih marah kau ya? Suatu saat kau harus belajar untuk terus maju, aku serius. Banyak sekali kesempatan yang bisa hilang kalau mindsetmu seperti ini terus. Ini bukan dalam konteks yang terjadi sekarang, melainkan pada hidupmu selanjutnya. Pantas saja kau jadi anak buah selamanya."
"Permisi?!" Amarahku memuncak.
"Itu salah satu tujuanmu untuk kabur juga bukan? Mungkin tidak sebesar muaknya kamu dengan tindakan membunuh pengelana yang datang."
Tangan kukepalkan. Mendadak moodku berantakan.
"Kita harusnya saling kenal satu sama lain. Dimulai dari orang yang paling kau hormati. Clara dan Rudy, mereka berdua adalah salah satunya bukan?"
"Tidak juga," jawabku menghindar.
"Kita lupakan soal Clara. Karena kita sudah melihat keganasannya melawan Melodi demi menyelamatkan teman satu regunya. Rasa tanggung jawabnya benar-benar patut diacungi jempol. Lalu bagaimana dengan Rudy? Kudengar dia teman lamamu saat kerja dulu kan?"
Aku menghela nafas panjang. Sebaiknya diceritakan sajalah, toh dengan segala sumber daya yang dimilikinya, harusnya dia sudah tahu. "Ia adalah orang yang akan menjadi salah satu dewan kompleks lingkaran dalam. Gelar tersebut adalah gelar tertinggi untuk saat ini yang bisa didapatkan oleh pengungsi seperti kami. Lebih tinggi daripada ketua divisi sekalipun. Bisa bersentuhan langsung dengan founding father Kompleks taman Wangi."
"Apa sifatnya yang kira-kira bikin kau menaruh hormat?"
"DIa adalah problem solver sejati, setiap ada masalah serumit apapun dapat ia selesaikan dengan mudah meskipun kurang supel. Baik tes iq, pertikaian sosial, ataupun atasan dengan bawahan. Padahal sebelumnya aku mengira kalau ia lebih lemah dariku karena aku memang lebih tua darinya. Aku ingat saat ia sering kesusahan dengan tugas kantor dan aku menolongnya. Tapi lama kelamaan entah jarak itu semakin besar dan aku akhirnya sering meminta tolong padanya."
"Ahhh iya, ternyata kamu tipe orang yang seperti itu. Pengamat dengan ambisi segunung. Punya kemauan tapi tidak punya tindakan, atau memang tidak berani bertindak. Langkah yang paling tepat untukmu sekarang langsung saja bertindak meskipun akan gagal. Tapi selama yang kulihat dari awal perjalananmu sampai saat ini, kamu merupakan orang yang mempunyai bakat dalam situasi mendadak."
"Benarkah?" aku langsung menatapnya. Semua keraguanku tentang berbicara sesuai isi hatiku hilang seketika.
"Dengar nak!" ia bertengger di pundak kiriku. "Jangan khawatirkan pendapat orang tentangmu. di ujung jalan, hanya kau yang mengerti dirimu sendiri."
Aku pun tertawa. "Kau memberi saran yang bagus meskipun sebagai musuh."
"Tentu, tidak apa-apa," ia balas tertawa kecil. "Aku tahu kau anak yang sensitif, terlalu peduli terhadap teman-temannya dan sangat idealis, tapi karena lingkungan kompleks, kau pendam semuanya. Dan akhirnya meledak tanpa memikirkan konsekuensi yang terjadi, lalu di kemudian hari kau menyesal akan konsekuensi itu. Berhentilah untuk jadi pengamat dan penyendiri! Semua orang saling berhubungan meskipun kau suka atau tidak, mengerti?"
"Mengerti!" Rasa sesak di hati ini tiba-tiba hilang. Sudah lama aku tidak berbicara ke orang lain seperti ini, kecuali Clara sih. Tapi dia yang datang kepadaku saat melihat ekspresiku seperti ini. Aku terus menyembunyikan perasaan ini ke semua orang. Ya karena lets face it, bentakan dan makian yang hanya akan kudapatkan pada kondisi sosial yang keras di kompleks.
"Lalu bagaimana denganmu? Ada yang ingin kau bocorkan agar aku bisa memahamimu?" tanyaku.
Kepala kecil nurinya mengelus-elus di pipiku layaknya kucing yang manja terhadap majikan. "Itu cerita untuk lain waktu, aku janji! Sekarang ada yang harus kau lakukan mumpung udara masih cerah begini."
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Kita akan berlatih menggunakan kekuatan jaringan, kau siap?"