Latihan menembak berlangsung selama 1 jam. Pemandangan hutan di depanku berubah menjadi tinggal batang bagian bawahnya saja. Begitu pula tubuh bagian belakangku yang sepertinya bengkak nyut-nyutan.
"Tidak buruk, tidak buruk. Sekarang untuk latihan selanjutnya, kita pergi ke puncak air terjun!" perintahnya.
Mataku memandang tebing setinggi 20 meter yang meneteskan air bertekanan tinggi. Tetesannya terus dibawa menuruni gunung ini sampai ke dataran rendah lalu perlahan-lahan dengan arus debit yang semakin kecil menuju pantai setelah itu kembali ke laut.
"Jangan bengong saja, susul aku ke atas!" teriaknya sudah sampai di puncak air terjun.
"Dasar tidak setia kawan! Minimal ubahlah aku untuk sesaat menjadi burung sepertimu!" Elang itu benar-benar tidak tahu diri.
"Yang latihan kau, bukan aku."
Aku menghela nafas panjang sembari mengibaskan dahiku dengan tangan ke atas. Kaki ini mulai mendaki tanah-tanah basah. Curam sekali dan tak masuk akal. Hmmm. Apa ada fitur yang bisa membuatku terbang tinggi?
Sebuah ide cemerlang tiba-tiba muncul. Screen kunyalakan, namun alih-alih diarahkan dengan posisi horizontal, Screen tersebut kuarahkan dengan posisi vertikal menghadap tanah. Fitur nomor 1. Tubuhku seketika terbang, namun tidak berlangsung lama sampai-sampai tidak adanya tumpuan di udara membuat tubuh ini berguling selama 'penerbangan'. Gawat! tanah di bawah begitu jauh.
Tekanan udara ini ... membuatku susah dalam menggerakkan tangan. Tanah di bawah hanya bisa kulihat sekilas akibat terguling terus-menerus. Semuanya tampak memusingkan. Fitur angin kuhembuskan kembali tanpa melihat apapun di bawah. Tanah yang kutakutkan semakin mendekat. Jatuhku perlahan-lahan melambat. Gulingan di udara berhenti dan jarakku dengan tanah hanya sebatas lengan dengan kedua kaki berada di atas.
Tunggu ... aku tidak bisa menghentikan aliran angin ini! Jarakku dengan tanah semakin jauh seperti lepas landas. Jantungku kembali berdegup kencang ketika tubuhku kembali melayang di udara. Namun kali ini peluncurannya lebih mendatar dari sebelumnya, menuju puncak air terjun dimana seekor elang terus-menerus melihatku.
Tanganku antara tidak siap atau tidak mau melewati bagian menegangkan dimana aku harus berkonsentrasi pada lokasi tanah tersebut. Aku hanya menutup mata.
Punggungku berhenti jatuh bebas. Tanganku meraba tanah dibelakangku. Aku masih hidup! Jantungku yang berdebar-debar masih terasa ingin copot. Ide bodoh apa tadi, tidak akan pernah kuulangi lagi.
"Bagus, kau sudah sampai!" aku menoleh dan elang jelek itu membelakangiku. "Siap untuk latihan selanjutnya?"
Tanganku hanya bisa melambai. "Cu ... cukup! Waktu habis, istirahat dulu."
"Tidak ada alasan. Yang ini santai kok aku janji!" suaranya pelan sembari mengangkat sebelah sayapnya seperti tangan dengan gestur mengajak.
Tubuhku langsung beranjak meskipun orientasi tumpuan di telingaku masih memusingkan. Pendakiannya kuanggap berhasil. Dengan ide gila tentunya.
"Coba lihat pemandangan di bawah sana Mir, bagaimana menurutmu?" tanyanya dengan bola mata ke arah depan.
Aku berharap untuk melihat pemandangan yang bagus, tapi malah ... begitu menyedihkan. Dari sini, kabut jelas terlihat mengelilingi bagaikan kurungan sangkar, dengan Kota Bandung yang menjadi korban pertamanya. Tinggi sekali! Puncak hawa kabut menari-nari sampai menyentuh langit di atas. Tingginya sekitar 700 meter ... bukan ... 1500 sampai 2000 meter lebih.
Sesuatu tiba-tiba mendorongku. Tempatku berpijak sudah beberapa senti di belakang, sekarang hanya menyisakan kosongnya udara di bawah sepatu botku. Tidak! ini terjadi lagi. "Williaaam, dasar sinting!"
Elang itu gila ... benar-benar gila. Jantungku kembali berdegup kencang. Mataku menghadap ke bawah. Tekanan udara menggesek-gesek wajah kelelahan ini. Tubuhku dengan cepat menuju lapisan batu yang dapat meremukkan semua organ dalamnya.
Tidak. Aku akan terus hidup! Screen kuaktifkan kembali. Gerak jatuh bebas tubuhku terhenti seketika saat fitur angin tadi aktif. Lalu kembali terangkat ke atas. Tangan kulepaskan dari Screen yang membuat tubuhku kembali jatuh bebas. Terus berulang.
Wajahku sekali lagi harus merasakan kotornya tanah lempung. Ini gila! Sudah tidak bisa dibiarkan. Dia benar-benar berusaha membunuhku. Bodoh sekali saat kukira sifat aslinya yang penyayang terlihat begitu saja di kamp para bandit.
"Bangunlah nak, kau belum mati!" tawanya.
"Menjauhlah ... dariku!"
"Yasudah, aku makan saja sendiri makanan yang sudah susah payah kubuatkan untukmu."
Segala keluh kesah hilang setelah mendengar kata favoritku di muka bumi ini. "Di mana?" Aku pun beranjak.
"Ikut aku!" Tapi sosoknya terbang seketika. Masa sih aku harus berlari lagi?
Matahari sudah mulai menghilang ditelan kabut. Suasana sudah mulai gelap meskipun masih sekitar jam 3 sore. Sebuah aroma pada hidung menghentikan langkahku. Enak ... enak sekali. Aroma bumbu sedap yang hanya bisa ditemukan di dapur. Campuran bau ini membuat perutku semakin mengaum kelaparan.
Dibalik dedaunan, sosok William sedang mengamati api unggun. Di atasnya, sebuah ikan mujair ditusuk dari mulut dan tembus ke ekor dengan ranting pohon yang disangga dengan ranting pohon yang lebih lebar dari diameter api unggun.
"Duduklah!"
Kobaran api kecil begitu menghangatkan. Ditambah ikan bakar sedap dihadapanku, membuat rasa penat dan kesal hilang seketika. Wajah elangnya diam termenung di depan panasnya api.
Mulutnya tiba-tiba bergumam kecil.
"Ini semua salahku ..."
Telingaku menangkap kata-kata aneh itu. "Salahmu? Ada apa denganmu? Hey!"
"Apa yang kau tunggu? Makanlah sebelum gosong." Ia menaikkan nadanya suaranya sesaat setelah aku tatap terus seperti berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tidak usah pedulikan tentangku." Tubuhnya memutar membelakangiku.
"Ceritalah padaku! Kita berdua dikontrak untuk melakukan semuanya bersama. Ayolah!"
Ia berjalan meninggalkanku. "Itu dia, setelah kupikir-pikir ... kontrak ini adalah sebuah kesalahan."
"Hah?" teriakku bukan lega atau was-was tapi malah bingung. "Kenapa mendadak begini?"
"Kita saling jujur-jujuran nih. Kau adalah satu-satunya percobaan yang aku senang bisa mengajak ngobrol seperti ini, biasanya antara aku tidak menganggap kalian sebagai manusia atau langsung kubunuh tanpa belas kasihan. Sosokmu mengingatkanku pada seseorang penting di masa lalu."
Aku tidak berkata apa-apa. Berharap agar ia yang melanjutkan obrolannya tadi. Namun di sinilah kita memandang bintang-bintang.
"Sial, apakah proyek ini benar-benar sepadan?" gumamnya tiba-tiba.
Apa telingaku tidak salah dengar? "Kalau begitu batalkan saja! Sudah saatnya kau menganggap orang-orang di dalam sini sebagai manusia. Tidak ada yang ingin berada disini, kau tahu itu kan?"
"Tentu, kau kira aku psikopat kejam begitu? Satu-satunya harapan umat manusia terletak pada proyek ini," kepalanya menggeleng. "Perserikatan bangsa, mereka semua mengharapkan proyek ini berjalan lancar. Tidak peduli apa yang terjadi di dalamnya. Hasil, hasil, dan hasil saja pikiran mereka."
Kami terdiam sejenak. Dari yang kukira merupakan penjahat mastermind kenapa sekarang seperti seseorang yang bimbang dengan keputusannya.
"William! Menurutmu lebih aman di dalam atau di luar?" tanyaku tidak yakin.
Kepala elangnya menolehku sebentar. "Di dalam sini. Wabah tersebut sudah mengubah segalanya di luar. Kabut ini bukan hanya bertujuan mencegah kalian keluar, tapi prioritas utamanya adalah melindungi kalian dari manusia-manusia ganas nan bengis di luar. Sementara menunggu kalian dibudidayakan menggunakan jaringan."
"Apa tidak ada cara lain selain proyek ini?" tanyaku yang mulai mengerti keadaan yang dialaminya.
"Harusnya ada, tapi kita tidak punya waktu secepat itu. Manusia perlu solusi itu sekarang, karena situasi di luar benar-benar tak terkendali. Selain dari makhluk luar, ada perlawanan sengit dari teman sejawatku."
"Siapa teman yang kau maksud?" tanyaku penasaran.
Ia menghembuskan nafas lalu menatapku dengan malas. Rasanya seperti terpaksa menjawab.
"Julukannya adalah Nekromant, dan ia mengincar jaringanku. Ia jauh lebih berbahaya dari monster yang kau lihat menyerang Bandung kemarin. Bahkan jauh lebih berbahaya dari Melodimu itu."
Aku hanya terdiam memikirkan sesuatu yang lebih menyeramkan dari monster itu. Tapi kurasa ini bukan urusanku. Tapi saat melihat kebengisan Melodi di sana, apa harus kuabaikan begitu saja?
"Meskipun begitu, kau bisa membawaku dan teman-temanku saja, tidak ada yang lain. Win-win solution jika keraguanmu sekarang hanya berhubungan denganku," ucapku tidak kalah melempar argumen.
"Yakin dirimu ingin melihat dunia luar, di luar sana tidak ada yang bisa kau percayai. Tidak seperti teman-temanmu di kompleks."
"Tidak akan tahu sebelum dicoba. Asalkan lebih baik daripada menunggu kematian." Sial apa yang baru saja keluar dari mulutku selama berbicara dengannya?
"Meski lebih baik daripada hidup berjuang dan susah di luar sana?
Aku mengangguk lagi.
"Bukan cuma penyakit yang kau temui, perang, dan penguasa zalim akan menjadi asupan sehari-hari."
Bibirku tiba-tiba terkunci rapat. Apa yang kutahu soal berjuang? Pikiran dan hati nuraniku merasa belum bisa menjawab pertanyaannya.
"Heh, sudah kuduga. Cepat makan, kita harus pergi besok pagi!"
Sial, ikan di atas api unggun sudah menunjukkan warna kehitaman. Wangi bumbu dengan cepat berubah menjadi bau arang. Tapi tidak apalah, bagian gosongnya tidak terlalu parah dan bisa disingkirkan dengan tangan.
Screen tiba-tiba muncul. Di pojok kiri bawah terdapat sebuah inbox. Penasaran, tanganku mulai mengklik.
'Halo Mir
Apa William bersamamu? Jika iya, tolong jangan percaya bualannya dan jangan kau percaya tentang jaringan itu. Benda itu benar-benar jahat.
Melodi'
Aku tidak punya waktu untuk mempercayai bualannya juga. Menurutku, pesan yang ditulisnya seperti usaha untuk menjauhkanku dari William. Aku tutup dan bersiap untuk tidur.