Air terjun mengalir begitu derasnya dari puncak tebing. Suara riaknya mengunggah semangat. Dulu, kalau melihat derasnya air, ingin sekali aku membuka baju lalu melompat gaya cannonball. Tanpa pikiran akan tanggung jawab dalam hidup ini. Namun semua berubah ketika udara mendingin dan hampir setiap hari memperlihatkan cuaca yang sedang mendung.
"Baiklah, sekarang apa?" tanyaku tidak begitu antusias karena perjalanan melelahkan ini.
William tertawa sedikit. "Melatihmu menggunakan jaringan yang tersebar di seluruh penjuru pengepungan ini. Sekarang buka Screen itu, aku baru saja mengirimkan salah satu fitur penting."
Tanganku menscroll daftar fitur yang ada, dan benar saja, terdapat fitur kesebelas dengan judul 'Penglihatan Jaringan'. Suasana disekitarku perlahan-lahan berubah. Sebuah 'benang' indah yang memancarkan cahaya berwarna biru tiba-tiba terbentuk perlahan-lahan dan menggantung di udara.
Bukan cuma satu, melainkan puluhan bahkan ratusan benang-benang kecil di tanah sekitarku. Aku mencoba mengibaskan benang ini dengan tangan namun ayunannya tembus mengaburkan lalu tidak sampai sedetik, gumpalan benang tersebut terbentuk kembali. Seolah-olah mereka hanyalah sekumpulan serbuk yang membentuk suatu karya seni. Pemandangan ini ... seolah-olah merupakan nadi dunia.
Setelah dilihat lebih dekat, ada arus-arus kecil yang membentuk benang-benang ini. Mereka mengalir teratur menuju satu arah, semuanya berasal dari timur. Sebuah uap biru juga keluar dari benang itu dan menghilang bercampur dengan udara. Apakah selama ini kami semua bernafas dengan uap yang dihasilkan oleh benang biru ini?
"Jadi ini yang namanya jaringan ... " gumamku tidak percaya.
"Sekarang aku ingin kau memperhatikan bagaimana sistem ini bekerja," cakarnya menggenggam erat pundakku. "Coba aktifkan suatu fitur yang biasa-biasa saja dan letakkan tanganmu!"
Tanganku menscroll salah satu fitur andalan yang dapat kupercaya. Sebelum telapak tangan kutaruh pada layar, uap dan cahaya biru di sekitarku seperti terkumpul pada satu titik tepat di titik tengah Screen kecil ini, sampai membentuk sebuah gumpalan bola biru terang. Aku langsung menaruh telapak tangan.
Hembusan angin kencang tiba-tiba muncul meniup apapun dihadapan Screen ini. Air terjun tiba-tiba mengubah arahnya sesaat mengikuti angin mendadak. Tanaman dan pohon di depanku menjadi basah tak karuan. Bola biru terang semakin kecil dan mengecil. Tapi aliran air yang tidak beraturan melompat ke arahku, membasahi baju dan elang yang daritadi bertengger disamping.
Ia menatapku tajam. Entah kecewa karena aku tidak bisa mengendalikan kekuatanku atau karena bulu-bulunya basah kuyup. "Keringkan aku dengan fitur ini!" perintahnya.
Tanganku mengklik fitur keduabelas, cahaya dari benang nadi disekelilingku kembali berkumpul di depan layar, namun kali ini langsung berubah menjadi sebuah cahaya oranye terang layaknya matahari.
"Arahkan cahaya itu kepadaku nak!"
Tidak lama uap air membumbung tinggi ke udara di sekitar bulu-bulunya. Penasaran, aku menaruh tangan kananku di depan cahaya itu. Sebuah sensasi hangat menjalar nyaman menyelimuti permukaan kulit tangan.
Aku lalu mengelus bulu kepala William si elang untuk memastikan dugaanku. Benar saja, bulunya kering seketika. Namun gerakan kepalanya tiba-tiba mengikuti arah elusanku. Matanya dipejamkan saat telapak tanganku mulai menyapu bulunya. Sial, ia menikmati perlakuan ini.
"Kenapa kau berhenti?" tanyanya saat aku melepaskan tanganku.
"Sekarang waktunya latihan! Mengelus enak-enaknya nanti saja," cibirku.
"Kau bawa apa yang kusuruh kan?" tanyanya sembari terbang ke atas dahan pohon.
Aku langsung mengangkat tinggi-tinggi paket bening dengan cairan berwarna merah dari tasku. Pikiranku masih merasa jijik membayangkan harus memeras cairan yang tersisa dari organ dan cairan korban-korban malang yang ditusuk di pasak.
Jempol langsung kucelupkan mengenai darah kental. Lalu kugerakkan jempol tersebut sehingga menyentuh batang pohon di depanku. Sebuah lingkaran besar lalu lingkaran kecil di dalamnya setelah itu lingkaran yang lebih kecil lagi dengan bagian dalam yang kuwarnai juga. Begitu seterusnya di pohon-pohon lainnya.
"Akan kujelaskan sedikit tentang katalis dan perkembangannya. Terdapat beberapa elemen yang terbentuk berdasarkan 4 unsur utama di muka bumi ini; Api, Angin, Air, dan Tanah beserta turunannya. Katalis akan selesai memindai otak penggunanya setelah penggunaan yang berulang-ulang. Setelah elemen ditentukan, maka elemen tersebut akan menjadi elemen utama di lapangan."
"Apakah aku akan mendapatkan elemen angin setelah menggunakan elemen angin terus-menerus?"
"Tidak, bukan kau yang menentukan elemen apa yang dipilih, melainkan sistem di dalam katalis tersebut," jawabnya runut. "Suatu saat kau akan membangkitkan elemen utamamu, jadi bersabarlah."
"Lalu apa elemen utama Melodi? dan bagaimana dengan elemenmu?" tanyaku ingin tahu kemampuan musuh.
"Kau tidak lihat kemampuannya di sana? Bagaimana ia dapat mementalkan serangan unitku menggunakan sesuatu yang tak terlihat ... yang saat ini menghembuskan rambutmu?! Tetap tidak lihat?"
"Iya aku lihat kok," gerutuku. Jadi elemen utamanya adalah angin ya ... kelihatannya memang sebuah angin bertekanan tinggi. Tapi apakah angin yang sama yang menghancurkan hampir ratusan monster itu?
"Kalau elemenku sepertinya tidak usah tahu deh, berhubung dengan bentuk burung ini aku tidak bisa mengeluarkan kemampuan katalis selain citra gambar. Menjelaskannya pada dirimu hanya akan membuat ngantuk."
"Aku sabar mendengarkan kok." tanganku gatal ingin sekali mencekeknya agar membeberkan semuanya.
"Lalu melupakan latihanmu begitu?" dirinya melompat ke pundak kiriku. "Ini fitur sederhana yang tak kalah pentingnya dibanding penglihatan jaringan. Klik fitur ketiga!" perintahnya yang sudah hafal.
Partikel biru benang berkumpul kembali di depan Screen. Alih-alih hanya berkumpul membentuk gumpalan biru, partikel ini berubah warna lalu membentuk suatu benda familiar. Sebuah batu lonjong yang tengah mengambang.
Batu tersebut meluncur jauh sesuai arah Screen menghadap. Pada kasus ini, batunya meluncur melewati semak-semak. Suara benturan yang sangat keras membuatnya tidak bisa dianggap remeh kalau sewaktu-waktu mengenai orang.
"Tembakanmu harus mengenai titik merah itu, kalau tidak, aku akan mengajak salah satu temanku untuk mengganggumu sampai bisa," suaranya galak.
"Okedeh aku akan serius," mulutku mencibir pelan. Aku sangat yakin tidak ingin bertemu dengan 'teman-temannya'. Terutama harimau loreng dan 2 makhluk yang entah apa itu saat bertarung dengan Melodi.
Screen kuarahkan agar bagian tengahnya sejajar dengan target 2 meter di depan. Batu yang terbentuk meluncur seperti peluru. Lalu menancap keras pada batang pohon. Batang tersebut bergetar hebat, bola batu itu berhasil membuat lubang pada batang pohon tersebut.
Suara gemuruh muncul dari pohon tersebut. Serat-serat kayu yang menyatukan pohon itu satu demi satu terlepas. Pohon malang itu roboh seketika.
"Apa-apaan? Sakit tahu dasar Elang tak tahu diri." Sebuah batu tiba-tiba mengenai punggung kepalaku.
"Arahkan yang betul! Kau tidak tahu ya prinsip parabola pada pelajaran fisika SMA?"
"Berisik kau Elang pengganggu! Pergi sana!" Batu dibawah kaki kulemparkan kembali padanya kesal. Sosoknya kemudian terbang untuk menghindar. Tawa cengengesannya perlahan hilang ditelan angin yang berhembus.
Tembakan kedua melesat dari pohon dan malah terbang jauh. Kerikil yang lain mengenai bagian belakang kepalaku lagi, namun sekarang bedanya elang itu tidak bisa kutemukan. Ah biar sajalah.
Tembakan ketiga kulepaskan. Sesekor rusa tiba-tiba melintas dengan cepat melewati arah serangan. Tubuhnya meledak dan cipratan darah berhamburan kemana-mana. Bagian belakang tanganku yang dipakai untuk menutup wajah tersembur cipratannya.
Sebuah kerikil dilemparkan padaku, namun sekarang dua kali. "Yang pertama karena tidak mengenai target, dan yang satu lagi karena mengenai korban jiwa," tawanya merendah. Lucu sekali kata-kata korban jiwa yang keluar dari mulutnya.
Mataku memandang target tembakan terakhir di kananku. Aku meraba bagian belakang kepalaku, rasa nyeri menjadi-jadi setelah bersentuhan langsung dengan jemari. Lama-lama bisa gegar otak kalau targetnya tidak kelar.
Aku menutup mata, ambil nafas dalam-dalam. Screen kembali kunyalakan. Perkirakan kecepatan lemparan, lalu efek dari gravitasi, arah angin bisa diabaikan. Tangan kiri langsung menyentuh Screen. Bola batu pun meluncur.
Cat darah merah di depanku semakin tertutupi oleh sosok bola batu. Pohonnya rubuh tanpa menyisakan cat darah merah sedikitpun.
"Kena!" teriakku.
Sebuah kerikil mengenaiku lagi. "Hey, apa-apaan?"
"Hanya iseng! Selamat sudah mengenai sasaran. Tapi kira-kira sampai kapan keberuntunganmu bagus?"
"Keberuntungan? Ini semua berkat kerja kerasku. Aku sudah mengetahui polanya," aku melipat tangan tersenyum.
"Kalau begitu lakukan lagi, yakinkan aku kalau yang tadi bukan keberuntungan!" ia kembali terbang entah kemana.
"YaKinKaN Aku kALau TadI BuKan KebEruNtuNGan." Bilang saja kalau ia masih ingin terus melempariku lagi.
"Apa kau bilang?!", suaranya datang dari atas.
"Siap pak, akan kulaksanakan!"