Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 8 - Forget Me -B

Chapter 8 - Forget Me -B

Ku kumpulkan puing-puing makalahku, kemudian aku duduk di bangkuku. Lala memelukku sementara Genta marah-marah tak jelas, dia langsung pergi keluar untuk mencari Bondan, meski aku berfikir, jika semua itu percuma. Bondan tidak mampu dikalahkan Genta, sampai kapanpun itu.

"Selamat pagi anak-anak!"

Seru Pak Mahmud, semua menjawab dengan malas-malasan karena aku yakin, tugas dari Pak Mahmud. Kali ini sangatlah sulit, karena makalah yang wajib dikumpulkan harus dengan sumber yang real. Dalam artian kita harus datang dan mewawancari langsung, bukan sumber yang bisa kita peroleh dari internet. Namun sayangnya, aku tak bisa memenuhi tugas yang sangat berharga itu, aku menyesal.

Mereka jahat...

"Kita lanjut materi kemarin, ya?"

"Pak!" Ricky berseru, sambil mengacungkan telunjuknya. Tumben, biasanya dalam setiap pelajaran. Dia lebih suka menenggelamkan wajahnya, sambil menggoda Rian yang kebetulan duduk di depannya.

"Ya, Rick? Ada apa?"

"Bisa tidak pelajaran kali ini dijelaskan dengan proyektor, Pak? Kisah Nabi tidak apa-apa, Pak? Meski hanya sebentar, atau ceramah deh Pak? Boleh ya? Mumpung saya lagi baik nih!" serunya, yang aku tak mengerti, kenapa dia bersikeras untuk itu.

"Bapak tidak bawa laptop, Rick."

"Pakai punya saya Pak, Bapak ada materinya, kan?" paksanya tidak mau terima.

Pak Mahmud meski guru BP, yang sering membawa Ricky keluar-masuk ruang BP. Tapi nyatanya, Pak Mahmud tidak pilih kasih, melihat Ricky antusias ingin belajar, membuat Pak Mahmud bahagia bukan kepalang.

"Ini tidak apa-apa?" tanya beliau meminta persetujuan murid yang lain, semua mengangguk semangat.

Ricky maju ke depan sambil membawa laptopnya, menata ke sana dan sini, seolah dia bukanlah Ricky badung seperti biasanya.

Semua anak duduk diam di bangkunya masing-masing, melihat proyektor yang sedang memutar sebuah vidio. Tapi, vidio yang ditampilkan Ricky bukanlah vidio ceramah ataupun kisah Nabi. Melainkan kejadian yang baru saja ku alami. Apa dia sengaja melakukan ini? Seolah menunjukkan kepada Pak Mahmud jika aku tidak bersalah? Lalu kenapa? Kenapa dia sampai melakukan sejauh itu?

Aku benar-benar tak mengerti.

"Ini apa?!" tanya Pak Mahmud dengan amarahnya,

Beliau memandang ke arah Bondan kemudian berdiri, "Bondan! Kemari kamu!"

"T..tapi, Pak."

"Tinggalkan kelas Bapak, selama 2x pertemuan, jangan masuk ke kelas Bapak! Tulis permintaan maaf kepada Nilam sebanyak sepuluh lembar kertas folio, mengerti?!"

"Tapi, Pak."

"Mengerti Bondan?!"

"I..iya, Pak."

Semuanya langsung berkasak-kusuk, Ricky memasukkan flashdisk yang benar setelah dia meminta maaf kepada Pak Mahmud. Untuk sekali dalam dua tahun aku sekelas dengan Ricky, baru kali ini dia perduli, terlebih perduli terhadapku seperti ini. Bukan, mungkin kebetulan akulah yang menjadi korban, tapi setidaknya aku tahu, di balik sifat badungnya, ternyata ada sisi baik yang tak aku tahu dari Ricky. Ya dia Ricky, Ricky yang melakukan hal dengan caranya sendiri, Ricky yang selalu membuat orang bertanya-tanya, bagaimana sifat aslinya.

@@@

Istirahat hari ini, Lala dan Genta mengajakku ke warung Mpok Lela, penjual somay paling enak di sekolah kami. Kami mengambil tempat duduk bagian ujung, agar tidak terlalu ramai, agar kami bisa menikmati makanan kami dengan tenang. Maklumlah, Kakak kelas 3 biasanya sok berkuasa, jika kita tidak mengalah, maka habislah riwayat kami.

Untuk ukuran anak-anak minoritas seperti kami, duduk di pojokkan dan tidak terlalu terlihat itu yang terbaik. Setidaknya mengamankan diri dari bahaya pemalakan, atau bahkan dijaili Kakak angkatan, itu pun berlaku untuk geng Ricky. Meski mereka masih kelas 2, tapi soal tawuran, mereka yang paling pertama.

"Somay Mpok 3, seperti biasa!" seru Genta, dia sudah mengambil garpu dan sendok, seolah tidak sabar menunggu makananya datang. Seperti anak kecil yang ditanya Mamanya apakah mau sarapan pakai ayam goreng, atau tidak?

Sangat lucu.

"Ricky tuh, Lam. Elo harus berterimakasih ama dia, dia udah bantuin elo." Lala menyikut lenganku, jujur tanpa diberitahu pun, aku pasti akan berterimakasih. Tapi, aku rasa, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berterimakasih padanya.

"Hey Rick!" seru beberapa Kakak kelas, "Bagi uang, bokek nih."

"Berapa, Kak?"

"Mapuluh ribu."

"Gue juga Rick, motor gue abis nabrak nih, butuh duit tigaratus ribu."

Tanpa fikir panjang aku lihat Ricky merogoh dompetnya, kemudian dia memberikan lembaran uang-uang itu pada teman-temannya, mereka tertawa kemudian bertos ria. Apa benar, berteman seperti itu?

Jujur, meski ucapan mereka tidak terlalu keras, tapi cukup bisa terdengar di telingaku yang jarak duduk mereka tidaklah jauh dari tempatku duduk. Bahkan, meja kami berdampingan.

"Gue ke toilet dulu ya, kebelet nih."

"Ok!"

Mereka kembali terbahak seolah kepergian Ricky menjadi kesempatan emas untuk mereka, aku sama sekali tak mengerti, kenapa mereka segembira itu.

"Mayan ya, mepetin dia, uangnya ngalir terus kayak mesin ATM."

"Iya, gak tahu uang dari mana, mungkin dari ngerayu Tante-Tante. Bisa ngecengin cewek-cewek cantik juga kita."

"Mayan Bro, kita bisa numpang tenar sekaligus punya kacung buat disuruh tawuran."

Teman-teman munafik,

Aku tak pernah berfikir, ada teman seperti mereka, jenis-jenis sahabat yang sebenarnya mereka berlaku bangsat. Teman yang memanfaatkan temannya sendiri. Entah mengapa, darahku terasa meletup-letup. Aku tidak suka, jika ada orang lain bernasib sama sepertiku, meski dengan cara mereka sendiri. Tetap saja, memanfaatkan adalah perbuatan yang tak akan pernah termaafkan. Lalu, apakah Ricky mengetahui semua ini? Jika tidak, maka akan ku beranikan diri untuk memberitahunya agar dia menjauhi teman-teman jahatnya. Namun jika dia tahu, muungkin aku harus menyadarkannya, seperti dia mencoba menyadarkanku dulu.

"Gue balik dulu ya, kelupaan sesuatu." pamitku, meski Lala sempat bertanya tapi dia mengijinkan juga.

Aku keluar dari warung Mpok Lela, tapi yang ku cari rupanya berdiri manis sambil bersandar di dinding depan warung. Apa dia mendengar? Aku yakin, dia mendengarnya dengan jelas semua perkataan teman-teman jahatnya.

"Ricky," ujarku, dia melirikku sekilas tanpa minat kemudian berjalan menjauh dari warung Mpok Lela, berhenti di bawah pohon cemara, yang terletak di belakang gedung ruang kelas 1.

"Elo udah tahu, kan?" tanyaku, dia hanya diam dan memunggungiku. Aku yakin, dia tahu. "Mereka itu bukan temen yang baik buat elo, Rick. Mereka itu deketin elo hanya untuk manfaatin lo doang, gue yakin elo tahu semuanya, tapi kenapa elo diem aja? Seharusnya elo berani bilang sama mereka, bukankah kemarin elo ---"

"Gue baik ama elo bukan berarti lo berhak ikut campur urusan gue," katanya menyela ucapanku. "Mau mereka pura-pura atau manfaatin, itu gak ada hubungannya ama elo, ngerti?!" dia langsung pergi begitu saja, seolah tidak mengenalku sama sekali.

Nilam, kau bodoh!

Seharusnya aku tidak harus melakukan hal itu. Benar apa kata dia, aku bukan siapa-siapanya, untuk apa aku ikut campur dalam urusan pribadinya? Menerobos zona aman dan mencoba mengusik kehidupan dia, kehidupan Ricky.

Aku salah, kenapa aku melangkah sejauh ini, seharusnya aku tetap diam di dalam zonaku. Zona di mana menjauhi Ricky adalah hal utama, zona di mana tidak dekat-dekat dengan Ricky adalah hal wajib yang harus dilakukan. Tapi, bagaimana bisa, takdir telah memaksaku melangkah sampai sejauh ini. Bahkan takdir seolah mematikan lentera sebagai penerang jalanku untuk kembali.

Aku merutuki takdirku, seharusnya aku tak sejauh itu berinteraksi dengan dia, seharusnya aku tak membuat banyak kesempatan untuk dekat dengan dia, Ricky. Sampai akhirnya semua hal itu menjadi awal dari semua mimpi buruk yang tak pernah aku inginkan. Rick, tahukah kamu jika aku di sini merindukanmu? Bahkan, bait-bait puisi ini tak mampu membendung rasa rinduku padamu. Andaikan bisa, aku ingin kau kembali seperti dulu.