Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 13 - Ricky's GirlFriend -B

Chapter 13 - Ricky's GirlFriend -B

Setelah selesai menamai, aku langsung merapikan bukuku. Sudah hampir jam tiga sore. Aku yakin, Tante Rosi pasti sudah menungguku di rumah, karena beberapa pelanggannya akan datang, untuk berkumpul dan memesan beberapa kue di sana.

"Lama banget, sih. Elo di perpus itu baca, apa pingsan?" aku nyaris melompat, saat mendengar suara itu dari samping.

Ternyata, sedari tadi, Ricky menungguiku, di luar perpustakaan, tepatnya, di balik pintu ini. Apa dia tidak capek? Berdiri di sini sejam?

"Kok gak masuk?" tanyaku,

Dia berjalan mendahuluiku, membuatku berjalan mengekorinya. Sesekali dia membalikkan badanya, kemudian kembali berjalan lurus sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya.

"Gue alergi ama buku-buku, jadi gue gak mau masuk perpus." jawabnya,

"Terus, kenapa lo nungguin gue?"

"Mau nganterin lo pulanglah, lo kan pacar gue."

Aku pasti sudah gila.

Ku pukul-pukul dadaku yang terasa aneh, sambil ku gigit jariku. Rasanya, sakit. Jadi, ini tidak mimpi? Jadi, yang terjadi saat istirahat sekolah, itu tidak mimpi? Aku berhenti, membuat langkah Ricky ikut terhenti.

Dia membalikkan badanya, kemudian melangkah mendekatiku, sampai tubuh kami saling berhadapan. Ku pandang kedua mata coklatnya sambil mendongak, karena memang tinggi kami tidak seimbang. Dia menunduk, membalas tatapanku dengan pandangan anehnya. Cukup dekat, dan cukup lama, sampai-sampai aku tidak tahu, jenis pandangan seperti apa yang kami lakukan saat ini.

"Gue udah bilang, kan? Kemarin. Kalau kemaren gue belum suka ama elo, gak tahu besok. Berhubung hari ini gue udah suka ama elo, makanya tadi gue tembak, karena gue, gak mau kehilangan lo lagi, untuk yang kedua kali."

"Lagi?" tanyaku bingung, bahkan aku baru mengenalnya saat masuk SMA ini, dan aku sangat yakin akan hal itu. Apa Ricky salah orang? Aku yakin, dia sedang salah orang, kalau bukan begitu, dia sedang mengigau.

"Udah deh, itu gak penting. Gue juga gak butuh tahu lo suka gue apa enggak, yang penting gue suka ama elo, itu udah cukup."

"Tapi, bukannya pacaran itu dua orang harus jatuh cinta, kan?"

"Jatuh cinta itu rumus paling sulit di muka bumi. Elo gak bakal bisa ngerti. Jadi, cukup gue aja yang ngerasain, elo gak usah."

Aku menunduk lagi, ucapannya meski dengan nada lembut, tapi entah mengapa seolah menginterupsi dan membuatku takut. Terlebih, jika mengingat, dia adalah ketua preman sekolah. sebenarnya, apa yang telah aku lakukan sampai aku harus terjerat dengan anak badung ini? Aku hanya butuh beasiswa, belajar dengan tenang, dan lulus dengan nilai memuaskan. Tidak lebih.

Setelah perbicangan yang aneh itu, Ricky mengantarku pulang dalam diam. Jangan dianggap dia mengantarku dengan motor gede yang harganya mahal, atau mobil mewah. Ini bukan di sinetron yang ada di tv-tv. Ricky, dia, mengantarku dengan naik angkot. Kami duduk bersampingan di dalam angkot dalam diam, setelah beberapa puluh menit kami turun karena sudah sampai, dan sedikit berjalan masuk ke dalam gang. Ricky hanya mengantarku di depan toko roti Tante Rosi, karena dia langsung masuk ke sana, membeli beberapa roti. Sedikit keuntungan, karena Tante Rosi tidak tahu, kalau aku pulang diantar Ricky, yang Tante Rosi tahu, kami kebetulan berjalan bersama kemudian dengan tujuan yang berbeda. Mungkin, Ricky sudah tahu, bagaimana watak Tanteku. Atau? Ah, tentu saja tidak. Bahkan Tante Rosi tak mengenal Ricky begitupun sebaliknya.

"Lho kamu lagi?" Tante Rosi kaget, tapi dia tersenyum saja, saat Ricky mendekat padanya.

"Roti kayak biasanya, Tan. Biasa, Mama suka banget ama roti itu."

Lagi, dia bersikap seperti ini. Seolah kami tak saling mengenal. Aku jadi tak mengerti, tengang cowok bernama Ricky. Apa Ricky yang bersamaku tadi saat pulang di sekolah berbeda dengan Ricky saat ini? Ataukah Ricky memiliki sebuah penyakit kepribadian yang kadang dia bisa lupa dengan seseorang? Entahlah, aku tidak tahu. Saat dia asik sendiri dengan Tante Rosi, ku putuskan untuk keluar dari toko. Untuk pulang ke rumah, berganti baju kemudian kembali lagi. Membantu Tante Rosi untuk menjaga toko, dan melupakan semua masalah rumit yang mulai bertebaran seperti kumpulan puzle di otakku.

@@@

"Jadi, kemaren itu di kelas gimana, Lam?" Sekar bertanya, saat kami sedang berada di ruang OSIS berdua, sudah ku tebak, dia akan bertanya. Bahkan mungkin, teman-teman yang lain juga. Teman? Sejak kapan mereka menganggapku seperti itu.

"Gue juga gak ngerti, Kar. Mungkin Ricky sedang ingin main-main." jawabku, karena jujur, di dalam otak dan hatiku masih meyakini hal itu.

"Untung ada kalian di sini, OSIS butuh bantuan kalian nih, kerjakan, ya?"

Entah kenapa, perasaanku selalu tidak enak jika Kak Aldi sudah berkata seperti ini. Ya, ujung-ujungnya, pekerjaan yang penuh resiko akan diberikan pada kami, sedangkan yang bagian enak-enaknya serta mendapatkan pujian, pasti yang lain. Itu sudah terjadi lama, dan bukan sekali dua kali, terlebih bodohnya kami, menuruti saja, meski kami tahu jika kami dibodohi.

Aku memang dungu.

"Kerjaan apa, Kak?"

"Kirim surat ke SMA Harapan Bangsa."

Seharusnya tak usah ku tanya.

"Kan ketua OSISnya Kak Aldi, sekertarisnya Maya, bendahara Alya, dan seksi untuk itu pun bagian anak-anak cowok, kan Kak?"

"Kamu ini! Kami itu sibuk! Setelah ujian semester kita ada classmeeting dan rencanya kami akan mengundang sekolah tetangga, jadi kalian yang gak ngelakuin apa-apa, bantuin yang lain, dong!"

Selalu seperti itu.

Mungkinkah, bagi mereka mengetik tumpukan dokumen setiap hari, membersihkan ruang OSIS dan mengatur kegiatan OSIS itu tak mengerjakan apa-apa? Lalu, bagaimana dengan mereka yang kerjaannya hanya duduk sambil bercanda saja sepanjang waktu? Apa itu pekerjaan yang sebenarnya? Jika iya, aku pun juga mau.

"Kapan?"

"Setelah ulangan semester, kalian berangkat."

@@@

Hari ini pulang sekolah, sendiri. Ya, sama seperti biasanya. Tidak ada yang berubah, mungkin kemarin saja sedikit berubah karena Ricky datang dan menemani pulang.

Di halte ada beberapa anak yang sedang menunggu bus ataupun angkutan. Sementara aku? Hari ini aku harus ke toko buku, ada beberapa buku yang harus ku beli mengingat materi yang diberikan oleh Pak Nanang tidak sepenuhnya ada di buku paket yang ku bawa sekarang. Rencananya, aku pergi dengan Lala dan Genta. Berhubung aku tadi harus mengurusi beberapa hal di OSIS, jadi mau tidak mau Lala dan Genta ku suruh untuk pergi terlebih dahulu.

Sudah biasa.

Bagian paling penting di dalam hidupku adalah untuk selalu sabar, untuk selalu menerima apapun perintah orang. Jika aku bisa melakukan itu, maka semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan berjalan sesuai apa yang aku inginkan, aku yakin itu.

Tidak butuh waktu lama saat aku berdiri di halte, bus yang sering mengantarkan orang-orang di sekitar sekolah sampai di tempat-tempat terdekat itupun datang. Rupanya, tempatnya sudah penuh, mau tidak mau aku berdiri, berdesak-desakan bersama orang-orang. Jadi, percuma waktu lima belas menit ini, karena aku tidak akan mungkin bisa belajar.

"Duh," seseorang yang berdiri di belakangku meng-haduh saat bus berhenti mendadak, akibatnya dia menabrak punggungku membuatku hampir jatuh.

"Eh, maaf-maaf." katanya panik, sepertinya dia baru pertama kali naik bus, dilihat dari dandannya, dia seperti anak yang cukup mampu, bahkan semua barang yang dia pakai ber-merk semua. Tapi tunggu, seragam itu?

Aku segera menunduk, takut jika cowok itu mengenali seragamku, aku tidak mau jadi bulan-bulanan, hanya karena kebetulan bertemu seperti ini. Ya, cowok yang ada di belakangku, yang meminta maaf padaku, adalah anak Harapan Bangsa, SMA musuh bebuyutan SMAku. Mau bagaimana lagi, sudah rahasia umum memang, setiap kali baik itu anak SMA Harapan Bangsa ataupun Pelita Mulya bertemu, pasti salah satu dari mereka ada yang tertindas, itu sebabnya dendam mereka terus berlanjut sampai sekarang.

"Eh cewek aneh, gue minta maaf, apa elo budek?" sepertinya, cowok ini tersinggung, karena aku tidak menjawab permintaan maafnya.

"I..iya." jawabku terbata, dia terkekeh kemudian menundukkan wajahnya agar bisa melihatku.

Wajahnya, bisa dibilang sama saja seperti Ricky, wajah cowok-cowok playboy pada umumnya, rambutnya kemerahan, sementara telinganya ditindik. Aku yakin, cowok ini preman, karena kalau tidak, mana mungkin dia berpenampilan seperti itu? Toh, dia masih anak SMA.

"Eh rambut lo lucu ya? Bisa buat gantiin kemoceng di rumah." sambil mainin rambutku dia tertawa sendiri.

Jujur, ini penghinaan. Dari sebelumnya aku yang dibilang anak aneh, anak singa, dan sekarang ada yang bilang rambutku seperti kemoceng? Dia benar-benar cowok lancang.

"Maaf." kataku, untung saja bus segera berhenti. Aku langsung turun dari bus, toko buku sudah dekat, jadi tidak apa-apa kalau aku jalan kaki, dari pada harus berurusan dengan preman seperti itu.

"Woy, cewek kemoceng!" teriaknya, ikut turun, apa ada yang salah dariku? Aku hanya turun, sambil memeluk tasku, aku tidak menampilkan ekspresi takut, sungguh. Aku mencoba biasa saja.

"Tunggu woy!" apa-apaan dia itu? Berlari ke arahku sambil melambai-lambai seolah kami teman baik saja.

Aku langsung berlari sekuat tenaga berusaha menghindarinya, aku harus masuk ke dalam toko buku yang ada di depan, karena aku yakin, Lala dan Genta sudah berada di dalam. Tapi, belum sepat aku sampai, sebuah tangan menarik kerah seragamku dengan keras, membuatku mau tidak mau mengikuti langkahnya dengan terseok.

"Lo kenapa sih? Kayak liat maling." Ricky? Sejak kapan dia ada di sini?

"Elo?"

"Nih, yang lo cari." katanya, menyerahkan kantung plastik berwarna putih, dan aku tahu apa isi di dalamnya. Buku paket yang ingin ku beli tadi, tapi dia tahu dari mana? Aku benar-benar heran dengan cowok bernama Ricky, cowok yang meski terlihat terbuka tapi seolah semua yang ada di dalam dirinya begitu penuh dengan rahasia, ya dia, dia Ricky.