Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 9 - ~Umberella Blue~

Chapter 9 - ~Umberella Blue~

Pagi ini sampai nanti siang jam kosong. Seluruh guru sibuk rapat dan mengurusi ini dan itu. Sementara aku duduk di pojokan perpustakaan untuk membaca buku. Kegiatan OSIS sudah tidak terlalu padat karena beberapa OSIS baru menggantikan pekerjaan OSIS senior. Dari pada buang-buang waktu, ataupun tinggal di kelas yang seluruh siswanya hanya suka main-main tak jelas lebih baik aku di sini, kan.

Meski perpustakaan sekolah tidak begitu lengkap setidaknya buku-bukunya sedikit banyak bisa menambah wawasan. Lala sedang sibuk dengan tugas kelompoknya bersama Genta juga Rian yang baru saja dibagi kemarin. Sementara aku? Ya, tentu aku juga ada tugas kelompok, tapi dari kemarin pun kelompokku selalu berkilah jika mereka sedang sibuk. Salma, dan Echa, seolah duniaku berputar kepada mereka yang selalu menginjak-injak diriku.

"Nanti bantuin nata buku ya, Lam." Mbak Sasi, penjaga perpus menghampiriku.

Aku mengangguk menjawabi ucapannya. Setiap akhir pekan memang pekerjaanku di akhir jam sekolah adalah untuk membantu Mbak Sasi merapikan buku-buku yang ada di rak. Karena, mayoritas siswa di sini, jika membaca ataupun meminjam pasti akan dikembalikan dengan cara tak beraturan, atau bahkan lebih parahnya, buku biologi ditaruh di bagian buku geografi dan sebaliknya.

"Sekar, tumben?" Sekar menangkap sosokku, dia berjalan tergopoh dengan buku-buku dalam pelukannya kemudian mendekat.

Jujur, Sekar bukan termasuk anak pintar, tapi sifatnya yang hampir sama denganku membuatnya keropotan sendiri, terlebih saat tugas kelompok seperti ini.

"Harus nyari bahan, Lam. Soalnya Bondan dan Ricky gak mau bantu." malang benar nasib Sekar, harus sekelompok dengan 2 orang itu. Cowok-cowok badung di kelasku.

"Lo ambil tema apa?"

"Mungkin lingkungan."

Aku mengangguk, memang tema itu yang paling mudah, meski kebanyakan anak menganggapnya susah. Menyusun makalah dengan bahasa indonesia saja susah. Apalagi ini, bahasa inggris yang memang hanya seperempat siswa kelasku yang menguasainya dengan fasih.

"Gue ke kelas dulu ya, gue lupa belum ngasih tahu Echa dan Salma untuk bagian mereka."

"Gue tahu itu sulit, Lam."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Hanya orang yang pura-pura buta yang akan bilang jika itu pekerjaan mudah. Echa dan Salma, dua cewek yang lebih mementingkan gaya dan kecantikan daripada memusingkan soal-soal pelajaran.

Kelasku terletak di deretan tengah, tepatnya di ujung gedung kelas 2 anak IPA, anak-anak yang kata guru disebut anak-anak rajin dan pintar. Tapi aku sendiri tidak tahu, bagian mananya disebut rajin dan pintar jika patokan mereka hanya berpacu pada nilai akhir tanpa melihat usaha di baliknya. Nilai akhir, siapa yang tahu dari mana mereka mendapatkan itu, kan? Toh banyak sekali anak-anak sok kuasa menggunakan kekuasaan mereka untuk mencontek, menyalin jawaban-jawaban dari siswa yang dianggap bisa dimanfaatkan. Dan itu menyakitkan sekali.

"Cha, elo inget kan tugas elo? Ngumpulin data dari narasumber." ku beranikan mengutarakannya, meski sekarang, Echa tengah sibuk dengan dia, ya dia Ricky. Duduk berdua dan berbincang bersamaan dengan taman-teman lainnya.

Echa memutar bola matanya. Aku yakin, akan seperti ini, lari dari tugas dan melimpahkan semuanya padaku. Bukankah setiap kali ada tugas kelompok dia seperti ini? Meski aku beraharap jika dia akan, berubah....

"Aduh gimana ya Lam, sebenernya gue mau, tapi perut gue sakit nih. Kayaknya hari ini gak bisa deh. Besok deh ya." tawarnya. Oke, tugas masih minggu depan, kan? Jadi, tidak apa-apa jika dikerjakan besok.

"Oke deh Cha." putusku, dia tersenyum lebar seolah tengah mendapatkan permen.

"Yaudah deh elo sana-sana, bikin mata gue sepet aja. Wajah jelek elo, bikin mata normal gue jadi minus, tau gak?!" aku mengangguk saat Mondy berkata seperti itu. Memang benar, akan sangat lucu jika aku berlama-lama di sini. Baik Echa, Ricky ataupun Mondy, mereka adalah orang-orang tenar di sekolah. Tidak seperti aku, gadis buluk yang buruk rupa.

"Maaf." ucapku segera pergi. Lagi, kami, maksudku aku dan Ricky seolah seperti dua orang yang tak pernah mengenal. Lagi, dia menciptakan jarak besar di antara kami.

Dan apakah itu salah? Tentu saja tidak. Itu sudah benar jika dia kembali di posisinya. Setidaknya, dia sudah tahu sekarang, mencoba mengerjai gadis aneh sepertiku, hanyalah sia-sia belaka, dan akan sangat membosankan.

@@@

"Salma, Echa kalian udah ngerjain tugas yang gue kasih?"

BRAK!!

Aku hampir melompat saat Echa membanting buku paketnya di meja, apakah aku melakukan kesalahan?

"Udah gue bilang, kan, Lam. Gue itu sakit! Ngerti gak sih, gue gak sempet ngerjain itu!"

"Gue juga sibuk, ngurusin kerjaan rumah."

Pembohong....

"Tapi kan gue udah ngasih tugas ini sejak lima hari yang lalu ama kalian."

"Bodoh! Kerjakan aja sendiri, biasanya aja bisa, kan?"

"Echa ih, maaf Lam. Tapi ini beneran gawat, gue pengen bantuin elo Lam, tapi mau gimana lagi, gue gak bisa." kini, Salma berucap dengan gaya sedihnya.

Licik....

"Tapi ---"

Belum sempat ku selesaikan ucapanku, keduanya pergi. Padahal, besok kami sudah harus presentasi. Tapi, bagaimana bisa mereka melakukan ini? Wajahku ku tengadahkan ke atas, mana mungkin aku menunduk sekarang. Jika aku melakukannya, maka air mata ini akan benar-benar jatuh.

Nilam, tak boleh menangis.

Ku putuskan untuk kembali ke bangkuku dan duduk. Mencari bahan dan menggantikan tugas Echa adalah yang terpenting sekarang, daripada harus menghabiskan waktu hanya untuk merenung dan bersedih seperti orang dungu.

"Apa-apaan ini?! Elo fikir, ini makalah!"

Aku sempat kaget, saat mendengar suara Ricky menggelegar galak. Membanting makalah yang baru saja diberikan Sekar padanya.

"Ini sama aja ama sampah! Bungkus kacang, lo ngerti?!" katanya masih marah, membuang makalah itu ke lantai, kemudian takut-takut Sekar memungutnya lagi.

"T..tapi gue udah berusaha membuatnya, Rick. Sendiri." bela Sekar pada dirinya sendiri, untung saja, Sekar lebih berani dariku. Jika itu aku, mungkin, saat ini, aku akan menunduk dalam diam.

"Ini, pelajari."

Apa dia benar-benar yang mengerjakannya sendiri? Aku tidak perduli, dan tidak mau perduli. Karena, tugasku sudah cukup berat untuk mengurusi urusannya, urusan orang yang hanya akan mengacaukan semuanya, urusan seorang berandal sekolah.

@@@

"Tan, kok komputerku gak bisa dipakek?!" aku berlari keluar, bagaimana bisa komputerku tidak mau nyala. Padahal, tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah, semuanya baik-baik saja.

"Tante lupa ngasih tahu kamu, Nilam. Tadi siang, Tante iseng mau belajar komputer. Tapi, gak tahu kenapa komputernya langsung keluar asapnya, mungkin, rusak."

Kesialan apa lagi ini?

Setelah anggota kelompokku tidak mau ikut membantu mengerjakan tugas sekarang komputer satu-satunya milikku rusak? Dan jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ya Tuhan, aku harus cepat-cepat ke warnet atau tempat rental komputer agar aku bisa menyelesaikan tugas ini, atau riwayatku akan tamat. Kehilangan nilai untuk kedua kalinya pada pelajaran Bu Marita, itu bukanlah hal yang baik.

"Aku ke warnet dulu, Tan."

"Tapi, Kan ---"

"Besok ada tugas penting yang membutuhkan komputer, Tante. Kalau Nilam gak ngerjain sekarang, nilai Nilam pasti akan hancur."

"Ati-ati, Lam!"