Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 14 - ~Complicated~

Chapter 14 - ~Complicated~

Dua minggu terakhir adalah mingu-minggu yang panjang. Setelah kami belajar dengan keras, akhirnya ujian semester telah terlewati. Aku bersyukur, karena Ricky membelikanku buku paket, dulu. Karena banyak sekali soal-soal yang keluar dari sana. Soal-soal yang tidak ada di buku paket lainnya. Sepertinya, Ricky tahu. Bagian mana yang akan dimasukkan menjadi soal dan bagian mana yang tidak. Atau, semua itu hanya tebakanku?

"Lam, gue nemuin Pak Santo dulu, ya! Awas lo, jangan ke mana-mana, nanti gue kembali." Genta mengancam. Hari ini, Lala tidak masuk. Sakit katanya, dan dia memberi tugas pada Genta untuk menjagaku selama di sekolah. Jadi seperti ini, ke mana-mana Genta selalu ada di belakangku, seperti aku ini anak Presiden, dan dia seorang pengawal.

Pak Santo adalah guru olah raga kami. Hari ini persiapan classmeeting sekolah. Kebetulan Genta menjadi salah satu tim basket dari kelasku. Tapi, kata Kak Aldi, classmeeting semeseter ini beda. Karena dia, ingin mengundang siswa-siswa sekolah sebelah. Alasanya mudah, dia tidak ingin permusuhan antara SMA Pelita Mulya dan SMA Harapan Bangsa terus berlanjut. Tapi, aku lebih tahu dari siapapun, siapa yang akan dijadikan korban atas harapan besarnya.

"Lam, elo di sini? Dicari-cari juga!" aku mengangkat wajah, saat mendengar suara Mila mengagetkanku.

Aku tahu, tujuannya datang menemuiku. Tidak lain adalah untuk menagih janji. Maksudnya, tentang pekerjaan yang sempat dikatakan Kak Aldi sebelum kami ulangan semester itu. Yang artinya, itu adalah mimpi buruk bagiku pun Sekar.

"Gue? Dari kelas." jawabku.

Mila memutar bola matanya, kemudian dia menyerahkan amplop coklat kepadaku. Aku tidak tahu, untuk apa itu.

"Sekarang juga, elo dan Sekar harus pergi ke SMA Harapan Bangsa. Dan ini..." katanya, mengambil lembaran uang duapuluh ribu dari saku seragam putihnya. "Ongkos kalian ke sana."

"Tapi ---"

Percuma....

Dia pergi begitu saja, dan menghilang di antara kerumunan siswa yang mempersiapkan tim mereka. Lagi, mereka memperlakukanku seperti ini. Apakah kata 'keberatan' dariku adalah percuma? Apakah kata 'tidak-ingin' yang keluar dari mulutku tidak ada gunanya? Ku hembuskan nafas beratku, kemudian mencari-cari di mana Sekar. Rupanya, dia sedang duduk bersama Rian. Ya, memang selalu seperti itu. Sekar – dan – Rian, keduanya memiliki nasib sama denganku. Itu sebabnya keduanya selalu rukun bersama. Tidak seperti aku, yang membentuk koloni sendiri dengan Lala juga Genta.

Sementara di sudut lapangan. Tidak sadar mataku menyapu sosok yang duduk bersama teman-temannya yang lain. Seperti biasa, dia dengan gaya acuhnya. Dan seperti biasa, dia dengan rokok yang ada di antara bibirnya. Mengingat rokok, aku jadi teringat jawaban Ricky dulu. Jadi, apakah dia faham jika sahabat-sahabatnya itu tidak tulus? Tapi, kenapa dia harus bertahan dengan sahabat-sahabat seperti itu? Apakah dia tipikal cowok pengecut?.

"Lam, nyariin gue?" tanya Sekar, dan berhasil membuatku kaget. Rupanya, dia peka juga. Padahal, belum sempat aku mendekatinya.

"Iya, dapat tugas kemarin. Dari Kak Aldi."

"Tapi, Lam. Gue nggak berani." jujur, aku juga tidak berani. Masuk ke SMA Harapan Bangsa, sama saja dengan bunuh diri. Merelakan diri menjadi bahan bullyan SMA musuh, dan itu tidaklah gampang.

"Mau bagaimana lagi, ini bukan pekerjaan yang bisa kita tolak, kan?"

"Lo minta bantuan cowok elo aja. Cowok lo, kan, Ricky." memang, setelah kejadian penembakan Ricky. Sekolah nyaris meledak. Bukan meledak yang sebenarnya, melainkan meledak tentang berita penembakkan Ricky padaku. Dan hampir 100% siswa yang ada di sekolah, tidak ada yang percaya. Sebenarnya sama, aku juga....

Biar bagaimana pun, Ricky dan aku seperti bumi dan langit. Tentu, dengan pandangan yang berbeda dari siswa-siswa lainnya. Bagiku, Ricky adalah siswa badung. Siswa yang harus dihindari selama 3 tahun bersekolah. Untuk ukuran anak yang tidak mau ada keributan sepertiku. Untuk ukuran anak yang benar-benar ingin mengejar beasiswa sepertiku. Tapi, berbeda dari kacamata siswa lainnya. Bumi – dan – langit bagi mereka adalah, Ricky cowok yang meski badung terkenal paling cakep di antara anak-anak lainnya, Ricky yang selalu jadi gila-gilaan para cewek. Sementara aku? Tidak usah disebutkan pun, semua juga sudah tahu. Siapa cewek paling jelek di sekolah ini.

"Ini masalah kita, Kar. Sebagai anggota OSIS. Ayo kita berangkat, sebelum Kak Aldi dan yang lain marah."

@@@

Setelah pedebatanku dengan Sekar, kami pun berada juga di SMA Harapan Bangsa. Beridiri tepat di depan gerbang besar yang seolah membentengi gedung-gedung bercat abut-abu itu. Bahkan, di sekolah ini hampir tidak bisa disebutkan jika siswanya banyak yang badung. Sekolah yang dari luar bisa dilihat dengan jelas betapa indah dan rapinya. Sekolah kaum elite yang hanya beberapa kalangan saja yang mampu menembusnya. Itu bukan berarti jika SMA Pelita Mulya adalah sekolah yang buruk. Tentu saja tidak. Salah satu alasan kenapa kedua sekolah ini terus bersiteru adalah, karena keduanya sama-sama memiliki kekuatan seimbang. Itulah sebabnya mereka saling sikut atau jegal. Agar salah satu di antara mereka bisa kalah. Terdengar kekanakkan memang, tapi itulah faktanya.

"Maaf, Mbak. Kalian ada perlu apa ya? Dari SMA mana?" sapa Pak Satpam berkumis tebal seperti Pak Raden jaman dulu. Orangnya ramah, juga baik. Apakah karena dia tidak tahu kalau kami dari SMA Pelita Mulya?.

"Kami dari SMA Pelita Mulya, Pak. Mau menyampaikan surat kepada Pak Kepala Sekolah, atau ketua OSIS." jawabku sopan.

Kedua alis Pak Marto, nama dari satpam itu yang kubaca dati tagname---nya terangkat. Hanya sesaat, kemudian dia mengijinkanku juga Sekar untuk masuk. Membimbing kami menuju ke arah ruang Kepala Sekolah.

Banyak mata memandang, dan itu membuat Sekar takut. Sebenarnya, bukan sekar saja. Tapi, aku juga. Sudah jelas, siswa dari SMA Harapan Bangsa tahu, siapa kami hanya dengan seragam sekolah ini.

"Silahkan, Mbak. Saya tinggal dulu." aku mengangguk. Pak Marto undur diri. Ruangan Kepala Sekolah hampir sama dengan ruangan Kepala Sekolah di Pelita Mulya. Terkesan mewah, juga elegan.

Setelah aku dan Sekar bertemu dengan Pak Razaq, nama Kepala Sekolah itu dan menyampaikan maksudku berada di sana. Aku dan Sekar pun buru-buru pergi. Kami tidak mau, jadi santapan empuk anak SMA ini. Terlebih, kami sudah tidak dikawal Pak Marto lagi. Dan itu, akan bahaya.