Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 11 - Umberella Blue -C

Chapter 11 - Umberella Blue -C

"Sekarang, kelompok Nilam, silahkan maju." ku lirik kedua teman kelompokku yang saling sikut. Aku tahu, mereka tidak siap, tapi sekarang bukanlah waktunya untuk mereka bersikap seperti itu, selama enam hari, mereka ke mana saja? Bukankah banyak kesempatan yang ku berikan namun disia-siakan oleh mereka begitu saja?

"Kok gue, sih?" protes Echa, saat ku suruh menjelaskan power point yang ada di proyektor. Padahal, aku membuat PPT itu sudah sangat gamblang dan dia hanya butuh membacanya saja, apa itu susah?

"G..good morning," ucap Echa pada akhirnya, kedua tangannya gemetaran saat melihat wajah Bu Marita. Memang, siapa yang tak takut dengan guru satu itu. Bahkan, ketika kita tak melakukan kesalahan pun, tatapan tajam Bu Marita tidak akan pernah lepas dari kita.

"My team, my team is.. my team­ ---"

"Kamu ini bicara apa, Cha? Makalah ini rapi, tapi kenapa untuk presentasi saja kamu tidak bisa? Bukankah kalian yang membuat tugas ini bersama?!"

"I..iya, Bu."

"Jadi, kesimpulan untuk makalah ini, apa? Kamu Salma, jawab!"

Salma diam tanpa kata. Oke, aku merasa semuanya sudah tamat sekarang. Apakah hanya membaca itu susah bagi Echa?

"Echa, jawab!" Echa pun diam. Aku hanya bisa memejamkan mataku berharap keajaiban datang, seolah semua usaha yang ku lakukan semalaman tak ternilai, semuanya hancur sia-sia.

"Nilam!"

"Makalah ini ditujukan untuk kalangan ---"

"Cukup!" aku langsung diam saat Bu Marita bersuara dengan nada tinggi. Mataku terbelalak tidak percaya ketika makalah yang susah-susah ku buat dicoret dengan pena merah Bu Marita. Tahu apa artinya? Ya, coret tinta merah itu sama saja tidak mengumpulkan makalah, dan berakhir dengan nilai tugas ini kosong. Apakah semua usahaku percuma?

"Saya sudah beri kalian tugas kelompok! Jadi, kerjakan secara kelompok, jangan salah satu pihak saja yang mengerjakan! Apa kalian fikir Ibu tidak tahu siapa yang mengerjakan makalah ini?" kami bertiga menunduk, sementara aku? Aku bersusah payah menyembunyikan air mataku yang bahkan sekarang sudah jatuh.

"Untuk pertemuan berikutnya, saya tidak mau kejadian ini terulang lagi, mengerti?!"

"Iya, Bu!!!"

Bu Marita keluar, tapi aku buru-buru mengejar beliau. Tidak, semuanya tidak harus hancur seperti ini. Aku harus meluruskan kesalah pahaman ini, setidaknya untuk menghargai pengorbananku saat mengerjakannya.

"Bu Marita, bisa tunggu saya sebentar?" Bu Marita menghentikan langkahnya, wajahnya masih marah menatap ke arahku, aku tahu, aku salah.

"Tentang yang tadi, saya mohon, Bu. Beri kami kesempatan untuk—"

"Cukup, Nilam! Saya tidak mau mendengar apapun alasan yang kamu keluarkan! Kamu mau jadi sok pahlawan lagi setelah kamu sendirian mengerjakan tugas kelompok itu? Perlu Ibu tegaskan Nilam, Ibu tahu kalau kamu adalah siswa pandai di sekolah ini. Tapi bukan karena kamu pandai lantas kamu bersikap takabur seperti ini, sok mengerjakan semuanya sendiri, apa untungnya untukmu? Tidak ada, kan? Jadi, maaf, Ibu tidak bisa toleransi, dan untuk mata pelajaran Ibu, Nilam. Sepertinya kamu harus berjuang lebih lagi, karena jika tidak, kamu akan benar-benar kehilangan beasiswamu, apa kamu mengerti?"

Andai anda mengerti.

Kenapa di dunia ini tidak ada satu orang pun yang mengertiku? Itu bukan salahku, apakah aku harus menerima akibatnya? Akibat dari anak-anak yang selalu melakukan semena-mena? Andai saja Bu Marita sedikit mau mendengarkan, andai saja beliau sedikit mau mengerti, apakah beliau masih akan tetap seperti ini? Andai.

"Berdiri kayak orang bedo gak akan nyelesaiin masalah."

Aku menghapus air mataku, mengabaikan ucapan Ricky yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku. Tapi, tangan kekarnya menarikku entah ke mana. Aku tak mengerti, jujur, hari ini aku mau sendiri, tapi kenapa dia selalu ada di mana-mana. Kenapa dia selalu mengangguku akhir-akhir ini?

"Gue mau pergi." Kataku. Tapi dia diam saja, melepaskan genggamannya saat sudah sampai di belakang gedung kelas 3. Cukup sepi, hanya ada beberapa siswa yang ada di sana, dan aku tak mengerti, kenapa dia membawaku sampai ke sini.

"Menangislah," katanya, ku dongakkan wajahku, tapi wajah sendunya masih terlihat begitu tenang. "Elo mau nangis, kan? Jadi, nangis aja. Wajar kok, manusiawi. Daripada elo pendem sendiri, nanti wajah aneh lo jerawatan."

"Elo gak akan ngerti."

"Gue ngerti, gimana sakitnya saat usaha elo gak dihargai. Gue cukup ngerti gimana rasanya itu."

Aku langsung duduk, ku telungkupkan wajahku di balik kedua tangan. Semua rasa kesal, sakit hati dan kecewa seolah menguap menjadi butiran-butiran air mata. Ricky melempar jaketnya di atas kepalaku, aku tidak tahu, apa maksudnya, tapi aku sudah tidak perduli.

"Bintang kecil di langit yang tinggi ---" dia berhenti, saat ku dongakkan wajahku. Wajahnya menatapku dengan tatapan tidak seperti biasanya, tatapan aneh yang sedikit membuat buluku meremang.

"Ada apa?" tanyanya. Seharusnya, aku yang bertanya ada apa, setelah membantuku semalam, sekarang membawaku ke sini, setelah semuanya dan dia bernyanyi lagu anak-anak, sebenarnya, dia ada apa? "Gue nyanyi buat hibur elo, kenapa? Gak boleh?" lanjutnya, sedikit galak. Dia ikut duduk, tapi duduknya tepat di depanku, menghadapku, dengan kedua tangannya membingkai wajahku. Aku bingung, dan aku sedikit gugup. Saat wajah tampannya terlihat begitu jelas.

"Rambut elo lucu ya, elo nangis rambut lo semakin kribo. Bener-bener kayak anak singa."

"Enggak kok." Jawabku. Memegang rambutku yang memang mengembang lumayan besar, ini karena musim penghujan, bukan karena aku menangis.

"Gak usah kayak gitu kali, elo semakin aneh, gue semakin suka," dia berdiri, setelah mengatakan hal ambigu itu. Mataku terpaku, pada tangannya yang terulur di depanku.

"Ayo berdiri." ajaknya. Ragu, ku ulurkan tanganku. Kontak fisik keduaku dengannya, kontak fisik yang membuatku merasakan hal lain di dalam hidupku, rasa yang tak bisa ku identifikasi sebagai rasa apa.

"Maaf."

"Mana jaket gue, entar kena ingus lo lagi."

"Gue gak ingusan kok."

"Hahaha gue bercanda."

Apakah sekarang aku benar-benar melihat Ricky tertawa? Karenaku? Baru kali ini rasanya aku melihat Ricky tertawa, dan itu terasa aneh bagiku.

Ku genggam dadaku yang degupannya tiba-tiba semakin cepat, aku tidak tahu, sebab degupanku seperti itu. Yang jelas, ada sesuatu di sini, di dalam hatiku, dan itu untuk Ricky.

@@@

"Nilaam, gawat!!!" aku yang dari tadi ada di perpus kaget, saat Lala berteriak sekeras itu. Ini perpus, dan tidak ada yang boleh berisik di sini, apalagi berteriak.

"Elo tahu, kan ini di mana?" kataku, menarik Lala untuk keluar dari sana.

"Tapi ini gawat! Kelas kita udah jadi bahan gosip anak kelas lain, semuanya lagi ada di parkiran sekolah!! Kita harus ke sana!"

"Ada apa memangnya? Gue gak ada urusan."

"Ricky ribut ama Bu Marita! Dia ngelepas ban mobil Bu Marita dan sekarang Bu Marita sedang adu mulut dengannya di parkiran, Nilam!"

Aku langsung pergi dengan Lala menuju tempat parkir sekolah. Sebenarnya, apa yang tengah terjadi? Kenapa bisa Ricky bertindak seperti ini? Apakah karenaku tadi? Tidak mungkin, aku tak seistimewa itu.

Parkiran sudah ramai sesak dengan para siswa yang kebetulan belum pulang. Di sana hanya ada beberapa guru karena bel pulang sudah berbunyi dari dua jam yang lalu. Aku dan Lala berdesak-desakan mencoba menerobos gerombolan itu, untuk mendapatkan tempat terdepan agar bisa melihat apa yang sedang terjadi di sana.

Dan betapa terkejut aku melihat apa yang terjadi, satu ban mobil Bu Marita berada di atas pohon sementara kaca mobil Bu Marita sudah penuh dengan saus dan berantakan. Mobil Bu Marita bukanlah mobil baru, mobil beliau jenis mobil antik era 90-an yang masih dijaga dengan sangat apik. Beliau pernah bilang, jika mobil itu adalah mobil kesayangan mantan suaminya yang sudah tiada.

"Tulis permintaan maaf sebanyak seratus kali di kertas folio, Ricky!" teriak Bu Marita geram bersamaan dengan cambukan yang beliau layangkan di kedua lengan Ricky. Lengan putih Ricky memerah, bahkan aku lihat berdarah.

"Memukul siswa bisa dilaporkan polisi, Bu."

"Ricky!" teriak Bu Marita memukul lebih keras lagi.

Tapi Ricky tak merintih kesakitan, dia memandang dengan santai wajah Bu Marita yang memerah karena marah.

"Kenapa kamu melakukan ini?!"

"Karena ingin."

"Ricky!" teriak frustasi Bu Marita karena jawaban yang dilontarkan Ricky tak ada satupun yang serius.

"Bu sudah, biar Ricky saya yang urus." Pak Mahmud datang mencoba meredakan amarah Bu Marita, tapi tak dihiraukan.

"Salah apa orang tuanya sampai memiliki anak sebadung dia, saya tidak mengerti!"

"Jangan bawa-bawa orang tua saya, Bu."

"Berani menjawab saya, saya skorsing kamu!" bentak Bu Marita. Ricky mengangguk dengan santainya kemudian tersenyum, seolah telah puas membuat Bu Marita naik darah.

"Pak Hamdan, bawa dia ke ruang BP, beri hukuman yang pantas. Dan untuk kamu Ricky Adriansyah, nilai tugas kamu hari ini kosong!"

"Alhamdulillah, bilang dong Bu dari tadi."

"Ricky!" kali ini bukan hanya Bu Marita saja yang berteriak, tapi Pak Hamdan juga. Mungkin, keduanya sudah hilang sabar, menghadapi tingkah Ricky.

Pak Hamdan berjalan membelah lautan siswa diekori oleh langkah Ricky. Jujur, aku ingin bertanya kepadanya, kenapa dia melakukan ini semua, tapi aku tidak berani. Kini, langkah Ricky mulai mendekat ke arahku. Ku tatap wajahnya tapi dia tak melihatku, lagi, dia bersikap begitu dingin seolah tak mengenalku, lagi, aku tak mengerti.