"Jadi bagaimana sekolahmu, Lam?" tanya Tante Rosi.
Saat ini aku dan dia sedang berada di dapur, membuat adonan roti yang akan dijual besok. Besok toko tutup, karena Tante Rosi ingin mengajakku ke makam orang tuaku. Akan tetapi ada pesanan mendadak dari langgananya, katanya.
"Baik, Tan." jawabku ragu.
Aku sendiri tidak tahu, apakah nilai-nilaiku masih bisa disebut dengan kata 'baik' meski hanya untuk pelajaran Bu Marita. Tapi begitu, setidaknya di pelajaran lainnya aku masih bisa mempertahankan nilai-nilaiku itu. Sepertinya, aku harus berjuang lebih keras lagi.
"Awas saja kalau jelek gara-gara cowok kemarin itu, yang ganteng itu." kata Tante Rosi.
Aku tahu siapa yang dia maksud, dan itu jelas tidak akan mungkin terjadi. Tidak akan pernah mungkin. Lihatlah diriku, sudah seperti ayam petelur yang siap menetas. Wajah sama sekali tidak cantik, rambut ikal dengan volume yang sudah seperti bunga kol. Apa yang didapat dariku? Tidak ada, mungkin kemarin, Ricky hanya kasihan. Karena makalahku sempat dia hancurkan, ya aku yakin, hanya itu, tidak lebih.
"Gak mungkin Tan, kami kan kayak bumi ama langit. Dia itu hanya kasihan, karena kemaren udah ngerjain aku." jawabku, Tante Rosi mengangguk faham. Dia tak membantah, mungkin dia berfikir, ucapanku benar. Karena jika Ricky mendekatiku, pasti tidak lebih karena rasa belas kasihan. Itu pasti.
@@@
"Lusa semester nih, gimana? Udah pada nyiapin materi belom? Biasanya kan elo suka ngeringkas materi penting gitu Lam, pinjem dong."
"Ini lagi gue catet, emang kerjaan elo, gak bisa ngeringkas materi ginian." emang Lala, hobinya panik sendiri. Kalau diberi buku paket tebal sebanyak lima, pasti semuanya dipelajari. Tidak bisa meringkas dan diambil hal-hal yang penting, yang akibatnya, pas semester, dia kebingungan sendiri.
"Makasih sayangku, nanti gue traktir deh!"
"Siap!"
"Lha gue?" Genta datang, ikutan nimbrung. Mereka itu, bukanlah sahabat yang suka memanfaatkan. Tidak. Karena apa, bagi kami bersahabat itu saling membantu. Mereka pun jika ada tambahan ilmu di les pasti dibagi denganku. Aku tidak les, untuk biaya les aku tak akan punya, lagi pula, waktu pun aku tidak punya. Karena membantu Tante Rosi adalah hal utama yang harus ku lakukan sepulang sekolah.
"Nanti di salin, Ta."
"Belajar berdua aja kali ya?" itu sih maunya dia, belajar berdua dengan Lala. Agar bisa berduaan terus dengan Lala. Dasar, Genta, banyak sekali akalnya untuk dekat dengan Lala. Tapi sayang, sampai sekarang, entah tidak tahu, atau pura-pura tak tahu, Lala tidak pernah memperdulikan perasaan Genta yang jelas terlihat nyata.
"SIAP GRAK!" seluruh anak di kelas nyaris kaget, saat Rian berseru sekeras itu di depan kelas.
Dia memakai pakaian ala paskibraka, dengan sebuah map yang ada di tangan. Seperti, petugas yang membawa undang-undang ataupun pancasila saat upacara.
"LANGKAH TEGAP MAJU, JALAN!!" semangatnya lagi, berjalan dan itu ke arah bangkuku. Dia tidak sedang mengigau, kan?
Apa dia dihipnotis?
Aku menoleh ke sana-sini, Lala memegangi pundakku takut. Aku yakin, semua anak-anak di kelas juga merasa takut. Kalau-kalau Rian saat ini sedang kesurupan, karena kabarnya memang, di belakang gedung kelas kami, terkenal angker.
"Undang-undang jadian Ricky dan Nilam. Satu, jadwal pacaran dari hari senin sampai sabtu. Minggu, libur! Dua, harus ada ucapan selamat pagi sayang dan selamat malam sayang! Tiga, selalu ada komunikasi satu sama lain! Empat, masih tahap difikirkan! Sabtu 30 Mei 2015. Yang bertanda tangan di bawah ini, Ricky Adriansyah, dan Nilam Cahya! Laporan, selesai!"
Rian menyerahkan map yang berisi kertas itu, di bawahnya sudah ada foto Ricky dengan ukuran 3x4 berbackground biru, dengan cap tiga jari lengkap beserta tanda tangannya. Bahkan ada stempel yang aku sendiri tak tahu dapat dari mana. Setelah itu Ricky masuk dengan tampang tenang, dan dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Ya, dia, Ricky, cowok yang biasanya selalu berpakaian seenaknya, kini dia berpakaian begitu rapi seperti siswa pada umumnya. Dia berjalan mendekat, menatap wajahku yang terkejut. Tapi aku yakin, bukan aku saja yang terkejut. Bahkan, semua yang ada di kelas ini terkejut, dengan kejadian yang baru saja mereka dengar, ini benar-benar kejadian aneh.
Ini pasti mimpi.
"Jadi, tanda tangan." perintahnya,
Aku tidak mengerti, ini pernyataan cinta, kan? Dia nembak, kan? Bukankah aku punya hak untuk bilang tidak? Bukankah aku punya hak untuk menolak?
"Tanda tangan." katanya lagi, Lala menyikut lenganku setelah kebingungannya.
"Tanda tangan Nilam, buruan tanda tangan!" bisiknya, seolah menyuruhku untuk cepat-cepat menyudahi kekacauan ini, dan menuruti perintah Ricky, jika tidak? Semuanya akan mati.
"B..baik."
Ku ambil bulpen yang ada di tangan Rian, kemudian menaburi tanda tangan di sana, tidak lupa juga, cap tiga jari seperti yang dilakukan Ricky. Bahkan, aku bisa melihat, ada fotoku di sana. Aku tidak tahu dari mana Ricky mengambil fotoku, yang jelas foto itu diambil dengan cara sembunyi-sembunyi.
"Nah, sekarang surat ini sudah sah. Jadi, elo udah resmi jadi cewek gue, ngerti?" aku masih bengong, sementara dia sudah menarik kertas yang awalnya ada di tanganku, dilipatnya kertas itu, kemudian dia tersenyum miring, seolah dia sudah berhasil mendapatkan barang yang sudah lama diincar.
Kami jadian?
Ah yang benar saja, ini bercanda, kan? Ini hanya lelucon, kan? Ku tebarkan pandanganku ke arah teman-teman, semuanya melihatku dengan tatapan aneh itu. Tatapan terkejut yang seolah tak percaya, apalagi Echa, cewek yang kabarnya menjadi salah satu dari pacar Ricky, jadi, aku ini pacar keberapa Ricky? Ya Tuhan, aku bahkan memikirkan sampai sejauh itu.
"Pasti Ricky salah makan tadi pagi."
"Pastilah, atau anak singa ini dijadikan bahan taruhan?"
"Nah, kan dia yang ngaduin komplotanya Ricky kemaren ama polisi."
"Bener, bener, gue setuju."
Mungkin saja seperti itu.
Lala menutup telingaku, mungkin, dia bermaksud, agar aku tak mendengar ucapan mereka. Tentunya aku sudah tahu, sebadung-badungnya Ricky di sekolah, tetap saja pesona anak satu itu tak bisa dipungkiri, pesona yang membuat cewek-cewek berebutan buat deket sama dia, pesona yang membuat aku merinding dibuatnya.
Ku helakan nafasku, saat mengingat kejadian waktu itu. Kejadian yang menjadi awal dari semua rangkaian perjanjian bodoh itu, andai saja, waktu bisa diulang lagi, lebih baik aku tak menandatangani surat itu. Andai saja waktu bisa diulang kembali, aku ingin menjadi Nilam yang dulu. Nilam yang tak pernah dekat dengannya, Nilam yang hanya melihatnya dari kejauhan, ya, Nilam yang tak pernah diperhatikan, oleh orang-orang sekitar.
@@@
Rasanya tadi seperti angin topan, yang tiba-tiba datang buat keributan, kemudian hilang begitu saja. Bahkan, sekarang sampai jam pulang sekolah pun, sampai aku di perpus pun, Ricky tidak terlihat, entah di mana dia berada. Apa tadi aku hanya mimpi? Ah entahlah, jika iya, itu lebih baik, maka aku akan bisa melanjutkan hariku yang sudah cukup berat ini, sendiri.
"Lam, bisa bantu nyatet buku-buku yang baru datang ini?" Mbak Sasi datang, sambil membawa beberapa tumpuk buku di depanku.
Ku tutup buku paket yang sedari tadi ku baca, lumayan, bisa membantu lagi. Setidaknya, Mbak Sasi tidak melakukan tugas ini sendiri.
"Nanti, ditaruh di rak biasanya seperti yang lain, kan, Mbak?"
"Taruh sini aja, nanti aku yang bawa ke sana. Sudah sore, pasti Tantemu akan nungguin kamu di rumah, kan?" aku mengangguk, tersenyum membalas ucapan Mbak Sasi. Rupanya, dia sudah tahu, rutinitas keseharianku. Padahal, dia hanya sekali datang ke toko roti Tante Rosi.
Aku buru-buru mencatat buku-buku yang baru datang, setelah ini Mbak Sasi pasti akan sibuk menyampuli. Jika tidak, percaya saja, sebentar lagi buku-buku yang bagus ini akan hancur, dilipat, atau bahkan salah satu kertas di dalamnya copot. Tidak tahu, bagaimana cara mereka membaca buku, sampai hal itu bisa terjadi. Seharusnya, mereka lebih berhati-hati, karena meminjam adalah suatu tanggung jawab untuk mengembalikan, dalam keadaan yang baik, bukan berantakan, atau malah rusak.