Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 18 - When I Miss This Moment {3}

Chapter 18 - When I Miss This Moment {3}

"Lam, gue lupa ngasih ini sama elo." Genta, menarik-narik kerah seragamku.

Lala mendengus. Tapi dia tidak banyak bicara. Rupanya, beberapa hari ini dia izin. Karena dia sedang sakit amandel.

"Apa?" tanyaku.

Genta mengeluarkan beberapa buku paket. Dan aku tahu, jika itu buku-buku paketku. Yang kemarin aku tinggal saat ada Ricky. Buku paketku yang rusak.

Ku raih buku-buku paket itu. Genta tersenyum sambil mengacak rambut ikalku yang saat ini semakin mengembang.

"Ricky nitipin ke gue. Kayaknya, dia beneran suka sama elo deh, Lam."

Ku abaikan ucapan Genta yang ngawur. Kuteliti buku paketku. Aku masih ingat, banyak buku paketku yang rusak dan kotor karena diinjak-injak saat itu. Tapi, buku paket ini ada beberapa yang baru. Aku yakin, ini baru beli dari toko buku. Ku buka-buka isi buku paket itu. Rupanya, ada selembar kertas bergaris di sana.

Apa itu dari Ricky? Ku buka kertas itu. Ternyata benar, ada nama Ricky di sana. Dan aku baru tahu. Jika tulisan Ricky sangat bagus. Bahkan, mengalahkan tulisanku.

'Maaf, yang lainnya tidak bisa kuperbaiki. Jadi, aku menggantinya dengan yang baru. Semoga kamu nggak marah lagi. Semangat belajar, biar jadi anak pintar!'

Hanya itu yang ditulis Ricky. Dia tidak menuliskan hal yang lain. Apakah dia merasa bersalah? Dan sekarang dia benar-benar berhenti mengangguku? Tapi kenapa? Ada rasa bersalah di sini? Di hatiku....

@@@

Bel pulang sekolah berbunyi. Besok, adalah waktunya kami mengadakan class meeting sekolah. Meski aku tidak tahu, undangan dari SMA Pelita Mulya akan disambut baik apa tidak oleh SMA Harapan Bangsa. Tapi yang jelas, besok aku dan Sekar pasti akan bekerja lebih keras lagi. Mengurusi ini-itu dan hal-hal yang pasti membuat kami pusing.

"Kita pulang bareng, yuk!"

"Nggak deh, La. Elo masih sakit, pulang dulu sama Genta. Gue ambil berkas di ruang OSIS dulu, sama rapat sebentar."

"Sibuk banget ya elo, Lam. Gue kan kangen." rengek Lala. Sebenarnya iya, sudah lama kami tidak jalan bertiga.

"Lusa, kita jalan bareng." tawarku. Lala langsung memelukku. Genta ingin ikut, tapi langsung dilarang keras oleh Lala.

Setelah kami berpisah. Aku buru-buru ke ruang OSIS. Aku tidak mau telat. Jika tidak, Kak Aldi dan Mila pasti akan berkoar-koar dan marah. Marah, adalah pekerjaan wajib mereka. Tidak ada yang lainnya.

Butuh waktu satu jam untuk menyelesaikan rapat. Yang isinya tidak lain adalah pembagian tugas besok. Dan tugas-tugas terberat selalu dilimpahkan padaku pun Sekar. Apa tidak ada OSIS cowok di tempat ini? Tentu saja ada. Sayangnya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau jadi 'babu'.

"Lo pulang naik angkot, Lam?"

Aku mengangguk. Sementara di depan gerbang, Ayah Sekar sudah datang. Rupanya, dia dijemput. Aku tahu, ini sudah kelewat sore. Sekarkan anak kesayangan. Meski di sekolah, dia dijadikan bulan-bulanan.

"Gue duluan, ya!" katanya. Ku lambaikan tanganku membalas sapaannya. Kemudian melihantnya menghilang.

Aku harus menyeberang jalan, agar bisa ke halte. Jika tidak, aku akan kehilangan angkot terakhirku. Atau bahkan, bus terakhirku saat ini.

Namun, langkahku tiba-tiba terhenti. Saat aku melihat gerombolan cowok yang sudah memenuhi halte itu. Gerombolan cowok badung SMA ini. Terlebih, melihat sosok itu memakai pakaian bebas. Kaos oblong yang dibalut dengan jaket jeans, celana jeans yang robek sana-sini, serta sepatu kets abu-abu kesukaannya.

Mata coklat itu menangkapku. Padahal, aku ingin menghindarinya. Dia langsung berdiri, membuang putung rokok yang baru saja disesapnya. Jujur, aku takut. Terlebih saat ini, aku sendiri.

"Baru pulang?" tanyanya, ku peluk tasku. Aku mengangguk takut-takut. Sementara dia, masih dengan gaya santainya. Menundukkan kepalanya agar pandangan kami bertemu.

"Gue anter pulang."

"Nggak usah."

"Gue di sini nungguin elo lama. Gue anterin pulang." kekehnya lagi.

"Apa itu karena gue?" tanyaku pada akhirnya. Aku ingin bertanya lama, tapi aku selalu takut untuk menanyakannya. Dia membalikkan badannya, kemudian menatap ke arahku lagi.

"Lo mukul Kak Aldi, apa itu karena gue?" tanyaku lagi.

Dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku. Tapi aku tahu, jawaban yang ada di balik mata coklatnya itu.

"Kenapa?"

"Ayo kita pulang. Udah sore." katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi, aku tidak terima. Aku hanya ingin meminta penjelasan. Atas apa yang dia lakukan.

"Gue tanya kenapa?!" tanyaku, dengan nada tinggi. Sampai-sampai gerombolan Ricky yang ada di seberang jalan menoleh ke arah kami.

Ricky menghela nafas panjang. Kemudian dia melangkah mendekatiku. Spontan, aku mundur. Dan itu cukup untuk membuatnya berhenti melangkah. Dia menyeringai, kemudian tersenyum kecut. Seolah dia kecewa dengan sikapku.

"Gue paling nggak suka. Jika milik gue diganggu cowok lain. Terlebih, disakiti."

Jawaban yang dingin dan tajam dia ucapkan begitu lantang. Kutatap matanya, ada kilat marah di sana. Aku benar-benar tidak tahu, harus apa sekarang. Tapi, hatiku seakan tahu, apa yang harus kulakukan. Kugenggam tangannya dengan bodoh. Ada luka di sana. Itu tandanya, dia juga terluka. Tapi dia tidak merasakannya.

"Gue nggak mau lo sakit. Karena gue." entah kenapa, kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Dapat kulihat, mata coklatnya yang tadinya marah, kini kembali sendu. Bahkan, terlihat begitu hangat menatap wajahku.

"Gue rindu, Nilam yang seperti ini." katanya, dengan senyuman itu. Senyuman yang baru aku tahu.

Jujur, tubuhku mematung. Saat tangan besarnya menangkap wajahku. Dan mengelus pipiku dengan lembut. Entah kapan. Tapi kenapa, aku merasa tak asing dengan sentuhan ini. Aku merasa tak asing, dengan perasaan nyaman ini.