Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 23 - This Is 'Relationshit' {2}

Chapter 23 - This Is 'Relationshit' {2}

"Cewek aneh! Seistimewa apa sih elo?! Kemarin dibela Arya... sekarang, Ricky? Elo main dukun, ya? Pelet? Atau guna-guna!"

"Gue—gue—" kataku gagu. Andrew mendekat, dan dia sendirian. Tidak ada siapa-siapa yang melihat kami sekarang. Mereka sibuk dengan kegiatan pukul—memukul satu sama lain.

"Udah jelek, aneh, cupu, gagu... menderita banget sih hidup lo." aku tidak tahu. Bagian mana dari ucapan Andrew yang menyakitiku. Bukan karena ucapannya yang tak menyakitkan... jelas bukan. Tapi, sudah terlalu sering anak-anak SMA Pelita Mulya mengataiku seperti itu. Sampai aku terbiasa. Tapi... kali ini, hatiku terasa diremas. Dadaku hancur saat Andrew mengatakannya. Aku seperti... sampah olehnya.

Aku menunduk, mencoba menyembunyikan air mataku yang terus saja jatuh di kedua pipiku. Seharusnya, aku tak menangis. Apalagi hanya karena masalah seperti ini.

"Seharusnya elo ada di Rumah Sakit deh, bukan di sini. Periksain telinga lo yang tuli itu agar denger apa yang gue omongin tadi."

"Rick... elo salah paham. Andrew, dia nggak—"

BUKKK!!

Aku hanya bisa berdiri mematung. Saat Ricky kembali memukul Andrew, lagi... itu karenaku.

"Cih! Elo beneran suka sama dia?" tanya Andrew seolah tak percaya. Jujur... aku juga. Tapi, yang lebih penting saat ini, bukanlah pertanyaan Andrew. Tapi, kemarahan Ricky.

Aku tahu itu, dan sangat jelas. Mata cokelat Ricky menajam. Mata sendu itu penuh dengan kebencian.

"Elo mau bunuh gue? Sama kayak yang lo lakuin sama Ani?"

Ricky diam. Dia memukul Andrew lagi, bahkan kini keduanya saling pukul. Berkali-kali Andrew menyebut Ricky pembunuh pun Alex tadi. Sebenarnya... apa yang terjadi? Sebenarnya, siapakah Ani yang dibunuh Ricky? Apakah Ricky benar-benar membunuh orang bernama Ani itu? Aku sama sekali tak ingin percaya jika benar itu adanya.

"Ricky!" teriakku.

Mereka asyik berkelahi. Saking asyiknya, mereka tidak sadar jika sudah ada di jalan raya. Sementara Andrew tersungkur begitu saja di jalanan beraspal. Mataku memandang tak percaya, saat ada taksi yang melaju ke arah Ricky pun Andrew. Bagaimana ini? Bagaimana jika mereka ditabrak?

"Ricky awas, Rick!" teriakku. Setengah berlari mencoba mendekati mereka. Ricky menoleh. Kemudian memandang ke arah yang kutunjuk. Dia hanya diam, tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Dan itu... berhasil membuatku semakin cemas.

"Ricky! Andrew!" teriakku. Aku memang khawatir dengan Ricky. Tapi, saat ini aku lebih khawatir kepada Andrew karena keadaannya tak memungkinkan untuk berdiri.

Tenaganya habis, aku tahu itu. Dan harapan satu-satunya adalah Ricky. Aku hanya bisa memejamkan mataku, saat Andrew berteriak histeris bersamaan decitan ban mobil yang direm itu. Apa semuanya sudah terlambat? Apa Ricky melarikan diri sendiri? Apa Andrew baik-baik saja?

"Bocah! Kalau mau tawuran jangan di sini!" bentak sopir taksi.

Kubuka mataku perlahan. Andrew sudah berdiri sambil dipegangi Ricky. Keduanya menunduk. Seolah meminta maaf kepada Bapak Sopir. Untunglah... aku pikir, aku akan melihat kematian tragis setelah melihat kegaduhan di sini.

Anak-anak Harapan Bangsa pun Pelita Mulya menghentikan kegiatan bodoh mereka. Mereka langsung memeluk sahabatnya masing-masing. Mungkin... mereka lega, melihat salah satu dari temannya baik-baik saja.

"Ini belum selesai. Gue pasti balas kalian. Dan elo, Rick... gue nggak akan pernah puas kalau belum liat mayat elo di depan mata kepala gue!" setelah mengucapkan itu, Alex dan teman-temannya pergi. Anak SMA Pelita Mulya langsung bersorak atas kemenangan mereka. Rupanya... anak-anak badung itu, hanya butuh kemenangan kecil untuk bahagia.

@@@

"Jadi, kenapa lo ngajakin gue ke sana?" tanyaku. Saat ini sudah sore. Aku dan Ricky sudah kembali ke Sekolah. Tapi, kami belum pulang padahal anak-anak sudah sepi.

"Gue hanya ingin nunjukin lo... tentang siapa sebenarnya gue," katanya ambigu dan aku benar-benar tak mengerti. Tanpa dia tunjukkan pun, bukankah aku sudah tahu jika dia anak badung? Atau ini karena masalah kemarin?

"Gue juga perokok ulung."

"Lalu?"

"Tapi gue nggak mau putus sama elo. Itu sebabnya gue ingin elo tahu. Agar lo bisa bisa di samping gue dengan apa adanya gue. Bukan ada apanya gue."

"Tapi... itu bukan hal yang baik," dia tak menjawab ucapanku. Seolah menyuruhku untuk melanjutkannya, "tawuran, merokok... keduanya adalah hal yang ngerugiin hidup elo, Rick." sungguh... aku tidak tahu, dari mana keberanianku datang untuk mengucapkan hal lancang ini padanya. Aku takut, jika dia marah. Karena aku sudah cukup tahu kemarahannya tadi. Dia... mengerikan.

"Elo salah, Lam. Lo pikir tawuran dan rokok ngerusak hidup gue? Faktanya... kedua hal tersebutlah yang nyelametin gue dari kejamnya hidup ini."

"Dari?" dia kembali diam. Tatapannya kelam. Aku tidak tahu, apa yang dirahasiakan Ricky dari semua orang. Tapi... untuk pertama kali. Dia membuka topengnya. Untuk pertama kali, dia menunjukkan wajah aslinya. Ricky yang menderita, Ricky yang terluka. Dan itu membuatku ingin membantu dirinya.

"Dari kecil gue udah kayak gini. Merokok dan tawuran adalah hobi yang nggak bisa gue lepas dari dulu. Bahkan dulu, gue pernah masuk panti rehabilitasi karena narkoba. Keluar—masuk penjara juga sering, nggak kehitung berapa jumlahnya. Jadi... bagaimana lo bisa bilang dengan mudah buat gue berhenti atas semua kebiasaan gue?"

"Gue akan bantuin elo, Rick."

"Ini bukan sinetron, Nilam. Ini bukan di novel yang si cowok bakal dengan mudah berubah hanya karena permintaan cewek yang dicintainya. Ini kehidupan nyata, yang jelas untuk ngerubah kebiasaan yang sudah mendarah dading itu, nggak semudah membalikkan telapak tangan."

"Maaf." benar... aku tidak bisa memaksakan sesuatu padanya. Ini adalah hidupnya, jika dia ingin berubah. Biarkan dia berubah dari dalam hatinya. Bukan karena siapapun, termasuk aku.

Mungkin, aku terlalu percaya diri.

Merasa jika aku ini adalah sosok spesial untuk Ricky sampai berharap jika Ricky akan melakukan apapun untukku. Namun nyatanya, aku salah. Benar kata dia. Ini bukan di sinetron, bukan juga di dalam Dunia khayalan yang bisa aku atur sesuka hati. Ini tentang hidup Ricky. Cowok yang baru kukenal akhir-akhir ini.

"Dan soal ciuman itu..." kutelan ludahku susah payah. Rupanya, dia masih mengingat masalah itu. Apakah dia merasa tersinggung karena ucapanku di UKS?

"Gue sehat kok. Gue nggak mengidap HIV ataupun terkena virus apapun. Gue udah periksa, kemarin. Gue juga nggak sembarang nyium cewek kayak yang elo pikirkan. Karena gue hanya nyium satu cewek. Dan dia yang akan jadi satu-satunya, selamanya."

Apa maksud ucapannya? Satu-satunya? Selamanya? Ini bukan berarti jika aku cemburu. Jelas bukan... tapi, jika Ricky memiliki seseorang yang begitu dia cinta. Lalu, kenapa dia harus memaksaku untuk berpacaran dengannya? Harus mencintainya? Aku sama sekali tak mengerti. Apakah dia menggunakanku sebagai umpan atas rasa frustasinya? Atau... agar kekasihnya cemburu? Mungkin saja jika kekasihnya itu selingkuh dan dia sakit hati. Itu sebabnya dia menjadikanku pelampiasan semata. Kepalaku tiba-tiba pusing, memikirkan semua ucapan Ricky yang tidak kutahu jelas apa maksudnya. Tapi... dia malah tersenyum. Entah, bagian mananya yang lucu. Mungkin, dia sedang menertawakanku. Karena aku begitu bodoh. Menjadi alat yang dia gunakan seenak hatinya.

"Cewek elo?" tanyaku bodoh.

"Iya."

"Lalu..." kataku lagi, apakah aku harus bertanya?

"Jika lo udah punya pacar, kenapa lo masih maksa gue buat jadi cewek elo?"

Lama, dia tak menjawab pertanyaanku. Tapi, dia malah tertawa dengan begitu renyah. Tawa yang membuatku sadar jika bulu mata Ricky itu lentik. Tawa yang membuatku sadar jika ada lesung pipi di kedua pipinya. Dan... tawa yang membuatku sadar jika ada gingsul di bagian kanan bawah giginya. Dan itu... terlihat manis.

"Elo nggak tahu?" aku menggeleng, karena aku tak tahu. Aku kan bukan peramal, yang mengetahui masa lampau pun masa depan. Aku hanya seorang Nilam. Gadis biasa yang ingin selalu menjadi biasa selamanya.

"Cewek itu, elo."