Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 25 - You Got My First Kiss {2}

Chapter 25 - You Got My First Kiss {2}

Malam ini yang aku lakukan hanyalah berdiri di depan cermin lemari pakaianku. Besok hari minggu, dan sampai saat ini aku tidak juga menggunakan hadiah pemberian Genta pun Lala. Apa aku harus menggunakannya? Kuraba rambut ikalku yang lucu. Rambutku bagus kok. Hanya saja, bentuk ikal dan volumenya saja yang membuat rambut ini sedikit berlebihan di wajah kecilku.

Tapi... apa salahnya mencoba pemberian Lala dan Genta, kan? Ini adalah hadiah mereka, aku tidak mau mereka kecewa.

Segera kubuka kardus tempat botol-botol obat yang baunya tidak enak itu. Ada beberapa botol serta kertas langkah-langkah cara penggunaannya. Kusediakan beberapa perlatan untuk memakainya. Kemudian, kuoles satu—per—satu obat-obatan itu. Baunya... benar-benar tidak enak.

"Dicatok, ya?" gumamku pada diriku sendiri. Kucolokkan catok agar panas kemudian kugunakan untuk mencatok rambutku.

"Panas!" pekikku pada diriku sendiri. Lala dan Genta mau mengerjaiku? Kok bisa rambutku disetrika seperti ini? Kalau memang meluruskan rambut harus beli alat semahal ini, Tante Rosi punya setrikaan dan itu lebih hemat, kan? Apalagi... alat ini membuat rambutku seperti terbakar. Bagaimana jika rambutku nanti kebakaran dan habis? Aku akan jadi botak, dan aku tidak mau itu terjadi!

"Nilam! Apa yang kamu lakukan di kamar? Kamu membakar rambutmu?! Kok baunya seperti rambut yang dibakar?!"

"Eh... Tan... itu! Nilam sedang praktek biologi, Tan!" dustaku. Ya Tuhan, bagaimana ini! Memang, hasilnya lurus. Tapi... lurusnya aneh. Kalau tidak aku teruskan, bentuk rambutku akan sangat lucu. Kalau aku teruskan, aku tidak tahu apa yang nantinya akan terjadi.

Aku menangis, sambil terus mencatok rambut cantikku. Sekarang... hilanglah sudah rambutku yang kata Tante Rosi indah. Sekarang yang ada... rambut aneh dari Nilam. Besok... aku tidak akan berani bertemu dengan Ricky. Terlebih senin... aku tidak akan berani pergi ke Sekolah. Aku tidak mau keluar rumah!

@@@

"Nilam, itu hasil praktek biologimu?" tanya Tante Rosi. Pagi ini kami sedang sarapan. Tapi, Tante Rosi memandangiku tanpa kedip. Bahkan, dia memasukkan roti ke dalam mulutnya tanpa melihat. Fokusnya hanya tertuju padaku... pada rambutku.

"Jadi... itu, Tan... kami sedang meneliti, jika unsur—"

"Bukannya itu pelajaran kimia, ya? Atau sekarang, pelajaran biologi dan kimia digabung?"

"Itu—" kataku yang tidak bisa menjawab dengan lancar. Aku tahu, aku tidak pandai berbohong. Terlebih... hasil dari kerja kerasku semalam sampai subuh sangat mengecewakan. Memang benar rambutku sudah tidak ikal lagi. Rambutku lurus, tapi kaku. Rambutku seperti sapu lidi, bahkan untuk ditekuk pun harus menggunakan tenaga ekstra. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, aku sangat bingung.

"Tunggu... ada tamu." Tante Rosi keluar, memeriksa siapa yang mengetuk pintu sedari tadi.

Betapa kaget aku saat Tante Rosi masuk. Dia... bersama dengan Ricky! Ya Tuhan! Rasanya aku ingin menghilang saja dari muka bumi saat ini juga. Apalagi, saat Ricky memandangku dengan tatapan seperti itu. Mata sendunya melebar, pupil matanya membesar seperti terkejut. Sementara wajah putihnya? Merah padam!

"Gue... gue—"

"Gue sudah izin ke Tante Rosi kok. Genta dan Lala sudah nunggu elo di Sekolah. Lo nggak lupa kalau hari ini kita ada belajar kelompok, kan?"

"Gue—"

"Oh... jadi, praktek merubah bentuk rambut dengan bahan kimia ini salah satu dari tugas kelompok kalian?" tanya Tante Rosi yang berhasil membuatku semakin bingung. Belajar kelompok apa? Bahkan.. kami tidak membicarakan hal ini sebelumnya.

"Tapi—"

"Masak elo lupa sih, Lam sama janji belajar kelompok kita kemarin." tambah Ricky. Rupanya aku paham, belajar kelompok maksud Ricky adalah, janji bertemu dia dan aku.

"Tapi gue—"

"Sudah... ayo ikut!" setengah memaksa Ricky menyeretku dari tempat duduk, "Tan... kami pamit dulu, ya. Setelah kita selesai belajar. Nilam saya balikin lagi."

"Hati-hati, Rick! Jaga dia, ya! Dia satu-satunya keponakan antik punya Tante!"

Itu benar-benar pujian yang tidak lucu. Antik? Aku bukan benda yang pantas dipajang di musium Muri. Kenapa Tante menyebutku antik.

"Lo kenapa?" tanya Rickky. Aku memekikk kaget. Tangannya mencoba memaksa tanganku untuk tidak menutupi rambut anehku.

"Maaf, gue... gue—" kataku ingin menangis, "gue aneh hari ini. Seharusnya gue batalin janji hari ini, gue—"

"Elo cantik kok," kupandang wajah tampan Ricky. Mata cokelatnya yang sayu seolah membiusku, "mau rambut lo kribo, lurus, jabrik atau nggak punya rambut sekalipun. Di mata gue, elo tetep cantik."

Apa dia bercanda?

Dia menarikku lagi, naik motor yang aku tidak tahu. Motor pinjaman siapa lagi ini, yang jelas. Berkat helm dari Ricky, setidaknya aku merasa aman. Orang-orang tidak akan melihat wajah pemilik rambut aneh, kan?

Tak berapa lama kami melaju di atas motor dan menyusuri jalan raya. Ricky, menepikan motornya di depan Sekolah. Benar-benar Sekolahan. Jadi... hadiah ulang tahunku adalah Sekolah ini? Aku tidak tahu.

"Jadi... Genta dan Lala ada di dalam?" tanyaku bingung. Dia hanya diam tidak menjawab. Sikapnya kembali dingin seperti sisi Ricky yang biasa kukenal.

Aku jadi takut, kutundukkan wajahku sambil mengekori langkahnya. Dia membuka gerbang Sekolah. Padahal, kalau hari minggu gerbang ditutup dan aku tak tahu dia dapat kuncinya dari siapa.

"Tunggu, di sana." perintahnya. Menyuruhku untuk duduk di bangku taman Sekolah. kuturuti saja perintahnya tanpa bertanya. Karena aku tidak mau, mendapat amukan darinya.

Setelah dia pergi sesaat, dia kembali sambil membawa kardus mie instan yang ukurannya lumayan besar. Dia memberikannya padaku, apa ini hadiahku? Mie instan se—kardus? Atau di dalamnya Ricky ganti dengan bom sebagai acara balas dendamnya padaku melihat kardus itu disolasi olehnya?

"Selamat ulang tahun." katanya, memberikan kardus itu padaku kemudian dia duduk di sampingku.

"I... iya."

"Buka."

"I... iya."

"Jangan!"

"I... iya."

"Gue mau ngomong dulu."

"Iya."

"Lo tahu gue bukan cowok romantis, kan? Jadi daripada gue pusing mikir hadiah buat elo, gue punya alternatif lain. Gue beli apa yang lo butuhin, bukan apa yang lo inginin. Gue yakin kok, cewek kayak elo nggak mungkin butuh boneka, bunga mawar, atau cokelat, kan?" firasatku benar-benar mulai tidak enak.

"I... iya."

"Jadi... sekarang buka."

Kuturuti perintahnya, kutarik ujung solasi cokelat yang menutupi kardus itu. Mataku terasa hampir copot melihat apa isinya. Ricky benar-benar memberikan apapun yang aku butuhkan. Dan itu semakin membuatku tidak bisa bicara apa-apa.

"Elo seneng?"

"Hah?" tanyaku bingung. "Ini—" kataku terputus. Ada buku tulis selusin, bulpen dan pensil selusin, penghapus pun kotaknya, buku paket dan yang terakhir... pembalut wanita dengan berbagai merk.

"Setelah class meeting'kan kita masuk semester baru, buku dan bulpen itu bisa lo gunain. Jadi lo nggak perlu repot-repot beli. Buku paket itu lengkap sampai nanti kita kelas tiga. Dan yang terakhir itu..." katanya terhenti seperti salah tingkah. Padahal, saat ini yang wajahnya merah itu aku.

"Aku tidak tahu pembalut merk apa yang lo pakai, jadi gue beli beberapa buat persediaan bulanan elo."

"Oh." kataku. Apakah aku harus berterimakasih atas sikap tanggapnya Ricky? Tapi, aku tidak bisa menutupi rasa maluku sekarang. Bagaimana bisa Ricky memiliki ide memberiku hadiah pembalut. Dari sekian banyak deretan barang kenapa harus pembalut?

"Elo nggak suka?"

"Suka! Makasih."

"Dan--" katanya terputus, apakah ada hadiah lagi selain ini?

"Apa?"

"Ada hadiah kejutan dari gue."

"Oh, ya?"

"Coba.. sini, gue tata rambut cantik lo."

"Tapi—"

"Ih!" gemesnya. Aku menurut lagi, memperpendek jarak kami. Bahkan... jantungku terasa aneh saat di dekat dia. Bahkan, wangi tubuh Ricky nyaris membuatku pingsan.

"Jadi merem bentar."

"Kenapa?"

"Hadiah kejutan buat elo, mau nggak?"

Aku mengangguk. Daripada dia marah, lebih baik aku turuti kan? Asal, hadiahnya tidak benda aneh lagi. Kupenjamkan mataku, tapi dia tidak memberiku apapun. Oh! Aku yakin, dia akan memberiku kalung, atau cincin? Ya Tuhan, Nilam... sadar. Kamu ini siapa dan Ricky itu siapa. Kalian itu seperti bumi dan langit, kenapa kamu berharap yang aneh-aneh darinya. Bahkan.. kamu sendiri tidak yakin jika Ricky benar-benar mencintaimu, kan?

"Sudah,"

Aku hanya bisa mematung di tempat saat dia bilang sudah setelah melakukan itu padaku, maksudku... pada bibirku. Dia... menempelkan bibirnya padaku, dia... menciumku? Seketika kupegang bibirku yang baru saja bersentuhan dengan bibirnya. Aku merasa aneh, saat benda kenyal dan lembab itu menempeli bibirku.

"Gue jamin, elo nggak bakal kena virus karena gue cium." katanya dengan senyuman lebar.

"Hah?" kataku yang masih dalam keadaan sadar—dan—tidak. Ini tidak mimpi, kan?