"Selamat pagi teman-teman!! Sebagai penutup acara class meeting antar Sekolah yang diadakan oleh SMA Pelita Mulya sebagai bentuk penghormatan untuk Sekolah Harapan Bangsa. Kami mengadakan lomba cerdas—cermat yang di dalamnya adalah perwakilan dari murid-murid terpilih dari kedua Sekolah. Pertama-tama, kami persilahkan bagi masing-masing tim untuk memperkenalkan diri!" seru Mila, yang saat ini telah menjadi pembawa acara juga sebagai pemberi soal pada acara cerdas—cermat ini.
"Hallo!! Namaku Amalia dari Sekolah Harapan Bangsa!"
"Hallo!! Namaku Sarah dari Sekolah Harapan Bangsa!!"
"Hallo!! Namaku Enji dari Sekolah Harapan Bangsa!!"
"Selamat pagi teman-teman semuanya!!"
"Pagi Arya!!!!"
"Aku Arya sebagai ketua OSIS dan ketua tim dari SMA Harapan Bangsa. Dan kami akan melakukan yang terbaik!"
"Arya!!!!" bahkan... ini bukan seperti lomba cerdas—cermat. Lebih tepatnya, ini seperti konser. Terlebih... saat Arya tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya seperti seorang model yang tengah berjalan di catwalk.
"Hallo!! Aku Eriana dari SMA Pelita Mulya!"
"Hallo!! Aku Marcus dari SMA Pelita Mulya!"
"Ricky!" sejenak, lapangan hening saat mendengar perkenalan Ricky yang begitu singkat dari yang lain. Terlebih... dengan nada dingin dan sedikit membentak. Akan tetapi, setelah itu histeris siswi-siswi semakin menjadi bersamaan dengan teriakan yang menyebut-nyebut namanya. Aku tak tahu... apa hebatnya memperkenalkan diri dengan cara seperti itu. Sampai mereka begitu histeris.
"Jadi... siapa yang mengusulkan pengenalan seperti ini, Kar? Ini seperti konser, bukan seperti lomba ceras—cermat!" seruku, mengabaikan pengenalan Kak Aldi dan lontaran pertanyaan pertama yang diberikan oleh Mila.
"Ini semua idenya Mila. Kata Mila... dengan membuat suasanya yang tidak kaku, akan semakin mendekatkan kedua Sekolah ini. Gitu, Lam."
"Oh...."
"Nilam sayang!" seru Lala, memelukku erat-erat kemudian duduk di sampingku. Menengahiku dan Sekar.
"Sudah mulai?"
"Iya, nih."
"Cowok lo pasti menang. Kata Guru-Guru'kan... IQ cowok lo tinggi."
"Semoga deh." jawabku sekenanya. Aku tidak khawatir jika Ricky tidak bisa menjawab pertanyaan dari Mila. Yang kukhawatirkan adalah... jika dia tidak bisa bertahan bersikap manis dengan Aldi. Karena, mereka satu tim saat ini.
"Nilam!"
Kuringikan wajahku. Tampak Bu Marita memanggilku. Buru-buru aku bangkit, mendekati Bu Marita yang tengah sibuk itu.
"Iya, Bu?"
"Kamu bisa naik motor?" tanyanya. Kugaruk tengkukku, bingung.
"Saya—"
"Sekarang... datang ke rumah Pak Hamdan untuk meminta stempel, ya. Karena besok kita harus membagikan hadiahnya."
"Tapi, Bu—"
"Pak Hamdan hari ini sampai lusa berhalangan hadir, Nilam. Kamu sudah kupinjamkan motor Maman."
Kenapa bukan Maman saja?
"Baik, Bu." jawabku. Padahal... aku masih ingin melihat Ricky menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan cepat. Semoga Ricky menang. Satu doa yang kupanjatkan untuknya saat ini. Cukup itu... tidak lebih.
@@@
Butuh waktu 45 menit untuk sampai di kediaman Pak Hamdan. Padahal biasanya... orang-orang lain bisa sampai dalam waktu 30 menit. Jujur... aku tidak begitu pandai menaiaki motor. Terlebih... di jalan raya. Tidak jatuh saja sudah syukur.
Sebenarnya, itu yang ingin kukatakan kepada Bu Marrita tadi. Tapi... aku tahu, jika beliau bukan tipikal orang yang bisa dibantah oleh siapapun.
Apakah aku masih akan melihat Ricky di cerdas—cermat itu? Kutatap stempel yang kini sudah ada di tanganku. Sepertinya... mustahil. Mengingat jika sepuluh menit lagi lomba itu akan usai.
Kukendarai lagi motor bebek milik Maman untuk kembali ke Sekolah. Aku harus cepat... agar Bu Marita tidak marah karena kelamaan menunggu.
"Hey, Dek!" mataku menatap ke arah Bapak-Bapak berseragam cokelat dengan rompi hijau itu. Buru-buru kuputar motorku, akan tetapi banyak kendaraan lain yang ada di belakangku. Bapak-Bapak itu berlari, kemudian menangkapku yang hendak pergi. Bagaimana ini? Aku ditangkap Polisi!
"Kamu ini! Jam Sekolah kelayapan! Ditegur malah mau kabur! Mana SIMmu!"
"Maaf, Pak... saya—"
Seharusnya... aku menolak perintah Bu Marita.
"Saya... saya! Kamu tidak punya SIM'kan? Ayo ikut Bapak ke Kantor Polisi!"
"Tapi, Pak—"
"AYO!!"
@@@
Sudah hampir satu jam aku berada di Kantor Polisi. Bahkan... Bu Marita sudah menelfon pihak Kepolisian dan akan segera datang untuk meluruskan masalah ini. Bapak-Bapak yang bernama Irawan menyuruhku untuk pulang sepuluh menit lagi. Tapi... aku masih gemetaran. Tubuhku masih belum stabil untuk berdiri. Dalam seumur hidupku, baru kali ini aku ditangkap Polisi. Padahal aku pikir dulunya, aku ini warga Negara yang baik. Nyatanya... bukan.
"Jadi sudah selesai, kan?"
"Iya... lo bisa pulang."
"Oke...."
Aku masih menunduk, tapi sepasang sepatu kets warna merah hati begitu menggelitikku. Terlebih, celana kotak-kotak seperti rokku ini. Itu tandanya, jika yang berbicara dengan Polisi itu anak SMA Pelita Mulya, kan?
Pelan, kuangkat wajahku melihat siapa pemilik sepatu itu. Rupanya, dia adalah cowok yang beberapa menit lalu masih ada di pikiranku. Cowok itu adalah... Ricky. Ya... itu dia.
Kenapa dia ada di sini? Apakah dia kalah kemudian dia membuat kerusuhan yang berakibat dia masuk ke dalam penjara? Namun jika demikian... kenapa Bu Marita tak mengatakan apapun tentang hal itu?
"Maaf, Pak Irawan... saya mengenal baik dengan siswa ini. Saya teman dia, dia anaknya baik. Saya yakin, dia melakukan kerusuhan karena terpaksa, Pak. Saya—"
"Hahaha... kamu bicara apa?" aku memekik kaget. Saat Polisi bernama Irawan itu tertawa sambil merangkul Ricky. Seolah, mereka saling mengenal satu sama lain.
"Nilam? Elo ada di sini? Kok bisa?"
"Jadi kalian saling kenal?"
"Iya, Om. Dia Nilam... cewek gue."
"Sekolah dulu yang bener... jangan pacaran dan tawuran aja kerjaannya."
"Gampanglah itu!" aku hanya bisa melihat, saat Pak Irawan dan Ricky saling bercerita satu sama lain. Sepertinya, mereka benar-benar akrab. "Ohya... lo kenapa ada di sini? Lo duduk dulu, ya... gue ambilin air. Wajah lo, udah kayak mayat hidup. Pucet banget."
"Dia nangis, pas Om bawa motornya. Dia nggak bawa SIM tapi naik motor." jawab Pak Irawan. Ricky hanya mengangguk kemudian dia pergi. Sementara aku dan Pak Irawan kini duduk. Di bangku cokelat yang ada di sisi kanan ruangan itu.
"Maaf... saya pikir Ricky dipenjara, Om Polisi." lirihku. Mengikuti cara memanggil Ricky dengan sebutan 'Om'.
"Ricky? Kenapa bisa dipenjara?" tanyanya dengan tampang yang menahan senyum. Apa aku salah? Aku tidak tahu kenapa dia menertawakanku.
"Bukankah kabarnya Ricky sering keluar—masuk penjara. Lalu... dia juga pernah di rehabilitasi karena narkoba?" kataku yang lebih seperti pertanyaan.
"Lalu, jika kamu sudah tahu Ricky seperti itu. Kenapa kamu masih mau dengan dia? Kamu tidak takut sama preman seperti Ricky?" aku jadi bingung. Kenapa dari tadi aku dan Pak Polisi ini saling melemparkan pertanyaan tanpa ada jawaban di dalamnya.
"Hahahaha gosip dari mana Ricky keluar—masuk penjara? Dia itu keponakan Om. Dia sering ke sini karena main. Sekalian mijitin beberapa teman, Om. Pijitan Ricky, paling enak!"
"Apa benar, Om?" tanyaku yang masih tidak percaya. Om Irawan mengangguk kuat kemudian dia menggenggam kedua bahuku.
"Ricky anak yang baik kok. Hanya sedikit, yaaah... biasalah. Kenalan masa remaja. Selama tidak kelewat batas tidak apa-apa."
"Tapi—"
"Kalau soal masalah rehabilitasi katamu, dia memang pernah tapi bukan karena narkoba. Lebih tepatnya karena—"
"Om berhenti gangguin cewek gue!"
Karena apa?
Kulihat wajah Ricky yang terlihat tak suka. Om Irawan menggeser posisi duduknya, membiarkan Ricky duduk di antara kami kemudian Ricky memberikan segelas air putih padaku.
"Minum... abis ini gue anterin lo pulang, ya."
"Iya...."
"Oh ya Rick... lo mampir sana ke rumah! Papa lo neror Om terus, nih!"
Elo—gue? Sepertinya, mereka sangat dekat. Ataukah karena Om Irawan belum cukup tua jika dipanggil Om, itu sebabnya dia masih gaul? Aku tidak paham. Terlebih... kenapa Papa Ricky mencarinya? Memangnya selama ini Ricky dan Papanya tidak saling bertemu?