Chereads / UNFORGIVEN BOY / Chapter 29 - Nilam, I Love You {2}

Chapter 29 - Nilam, I Love You {2}

"Tunggu... Ricky ngajak elo? Bukannya elo dibully terus sama mereka dan teman-temannya?"

"Siapa bilang gue dibully Ricky? Kalau temen-temennya sih, iya. Dulu sih gue mikirnya gitu, Ricky jahat. Tapi setelah lama kenal dia, dia nggak jahat kok. Gue tahu dia sering iseng dan jahil... tapi, sebenernya di balik itu semua, dia itu butuh temen kali, Lam. Itu sebabnya dia suka resein orang. Jadi... gue lanjutin ya ceritanya. Jadi setelah itu, kami bertiga ada di belakang perpus. Nah gue disuruh jauh-jauh'kan sama Salma. Meski begitu, suaranya tetep kedengeran. Nggak sengaja juga pas Salma mulai ngerayu Ricky mata gue nangkep elo ngelihat kejadian itu. Ricky juga. Mungkin niat Ricky isengin elo kali ya, dia bales ucapan Salma sambil tersenyum. Pas Salma mepet-mepet dia juga nggak nolak. Nah pas elo hilang, si Ricky bilang gini ke Salma; 'sorry... gue udah punya cewek' seketika juga gue ngakak. Gue pikir, elo udah dikasih tahu Ricky kejadian yang sebenernya... jadi belom?" aku hanya diam saat Rian menjelaskan hal itu padaku. Hatiku terasa begitu lega mendengarnya.

"Ricky itu sayang sama elo, Lam. Jadi gue harap, lo nggak seacuh itu sama dia. Lo nggak tahu sih, berapa sering dia gangguin gue hanya karena dia ingin cerita tentang elo. Bahkan... saat ulang tahun lo juga. Dia tanya, kado apa yang kira-kira elo suka."

"Jadi... ide kado itu dari elo?"

"Emang apa kadonya?"

"Nggak apa-apa, jawab aja."

"Nggak kok... gue cuma bilang ke dia, buat beliin sesuatu yang elo butuhin... gitu doang."

"Oh...." aku tak bisa menjawab apa-apa lagi selain kata itu. Rupanya, banyak sekali yang aku tak tahu dari Ricky. Padahal... aku pikir, aku salah satu orang yang dekat dengannya. Tapi nyatanya... aku salah.

@@@

"Ricky! Apa yang kamu coba lakukan sekarang ini!" kuhentikan langkahku. Saat mendengar sayup-sayup nama Ricky diteriakkan dengan begitu keras. Ada Bu Marita di dalam ruang BP pun Ricky dan Pak Mahmud serta beberapa lembaran kertas yang sudah robek-robek.

"Ibu tidak tahu, ya? Kalau memukul siswa bisa masuk penjara?"

"Memangnya siapa yang mau membantumu lapor, Ricky! Bahkan Papamu saja sudah memberi wewenang padaku untuk mendidikmu dengan benar!"

"Tapi didikan Ibu tidak ada yang benar."

"Ricky!" Bu Marita hendak memukul Ricky lagi. Tapi Pak Mahmud buru-buru menghentikannya. Dengan sabar... Pak Mahmud menarik tubuh Ricky untuk diajak duduk.

"Bapak tahu, kamu melakukan hal ini ada sebabnya, kan? Jadi... beritahu Bapak, kenapa kamu merobek soal-soal cerdas—cermat untuk besok, Rick?" kututup multuku dengan kedua tangan. Jadi... yang berserakan di lantai itu, soal-soal yang kuketik dengan Sekar tadi? Lalu... untuk apa Ricky merobeknya? Apa dia ingin melawan OSIS lagi?

"Apa penting penjelasan saya? Bukankah Guru sekarang ini berbeda dengan Guru-Guru zaman dulu. Guru sekarang yang dipedulikan hanya anak-anak pintar, anak rajin dan anak-anak orang kaya, kan? Coba lihat anak-anak yang bodoh, anak-anak yang nakal. Seolah mereka mengecap murid-muridnya sendiri jika kelakuan itu akan abadi di diri anak-anak didiknya. Padahal, seharusnya anak-anak seperti itulah yang membutuhkan bimbingan khusus. Mereka bukan hanya butuh ilmu, tapi butuh peran orangtua kedua di dalam Sekolah mereka yang mampu mengerti dan mendengar apa yang ada di dalam hati mereka. Apakah Guru sekarang masih ada yang seperti itu?" Ricky menyeringai, sementara Bu Marita hanya diam mendengar ucapan panjang Ricky. Seolah, dia ingin mendengar kelanjutan ucapan Ricky.

"Soal-soal ini... apakah sebelum disetujui kalian sudah membaca? Soal yang dibuat para OSIS itu, memberatkan sebelah pihak. Saya tahu... niat OSIS yang mulia di mata kalian adalah untuk menyatukan kedua belah pihak Sekolah. Karena, anak seperti saya bisanya hanya memperburuk suasana dengan mengajak mereka tawuran. Akan tetapi, apa kalian tidak berpikir bagaimana jika mereka tahu masalah ini? Bisa saja mereka merasa terhina dengan tindakan bodoh OSIS itu. Terlebih, ini adalah tindakan nyata untuk mempermalukan Sekolah kita. Oke... saya tidak peduli dengan citra Pelita Mulya. Saya hanya tidak suka dengan cara yang digunakan OSIS. Mereka betindak seenaknya, dan hati nurani saya tidak terima."

"Lalu... apakah tawuran bisa diterima hati nuranimu, Rick?"

"Setidaknya... saya bisa melindungi harga diri saya dengan cara terhormat. Bukan dengan cara picik yang hanya dimainkan para pecundang seperti mereka."

Ricky pergi, keluar dari ruang BP yang kebetulan aku masih berdiri di sana. Saat dia membuka pintu, tubuh kami saling bertemu. Dia berhenti untuk sesaat menatapku dengan mata cokelat sendunya itu. Kubalas tatapannya, tapi buru-buru dia pergi sambil mengabaikanku.

"Rick... tunggu!" seruku. Tapi dia mengacuhkanku. Berjalan cepat sambil melambaikan tangan pada teman-temannya. Lagi... aku gagal untuk meminta maaf padanya.

@@@

"Lo harus ketik ulang soal-soal yang dihancurkan cowok elo!" marah Kak Aldi.

Aku menurutinya tanpa protes. Karena... aku merasa bersyukur juga dengan adanya insiden ini. Setidaknya, sekarang pertarungan akan adil. Sekarang kedua Sekolah itu memainkan permainan yang sehat. Aku tahu dari Sekar, jika Ricky tadi menghadangnya yang hendak pergi ke ruang Guru. Kemudian Sekar mengadukan masalah ini padanya. Aku tidak tahu... dari mana Sekar mendapatkan kekuatan itu. Yang jelas, aku berterimakasih pada Sekar. Karena berkat dia, semua hal yang membuatku takut sudah terselesaikan.

"Yaudah... lo pulang duluan aja, Kar." kataku. Hari ini Sekar ada jadwal kursus setelah pulang Sekolah. Dan aku tidak mau merusak jadwal kursusnya.

"Tapi, Lam—"

"Sudah sana... gue bisa atasain sendiri, kok."

"Makasih ya, Lam." inilah aku, yang selalu berperan seperti pahlawan kesiangan. Ya... aku, yang selalu bertingkah sok tegar. Padahal aku juga tahu, jika petang... kemungkinan bisa menyelesaikan ini pun, mustahil.

Tapi, akan kucoba. Aku tidak boleh mengeluh dan membebankan semuanya ke orang lain. Bukankah, selama ini aku sudah terlatih seperti ini? Aku hanya butuh sedikit keberanian untuk tinggal di Sekolah sendiri. Karena, teman-teman OSIS dan yang lainnya sudah pulang. Yang ada hanya, satpam Sekolah... itu pun, jam empat sore nanti, dia akan pulang.

"Semangat, Nilam!" seruku menyemangati diriku sendiri.

Buru-buru kuketik soal-soal itu, agar semuanya cepat selesai untuk kemudian kuserahkan kepada Kak Aldi besok. Karena... besok adalah perlombaannya, dan aku harap jika SMA Pelita Mulyalah yang menjadi juaranya.

Tepat jam setengah enam aku menyelesaikan soal-soal itu. Segera kurapikan semuanya, dan kutaruh hasil cetakannya di atas meja. Semoga... masih ada angkot. Meski aku yakin, jam seperti ini baik bus dan angkot mustahil kutemui.

"Hujan?!" bagaimana bisa? Ini'kan musim panas. Seharusnya, tidak hujan hari ini, kan?

Aku berlarian keluar Sekolah sambil melindungi rambutku dari air hujan. Aku tidak mau, rambutku yang sudah kembali ikal ini mengembang lagi. Terlebih, aku cukup takut jika berlama-lama di Sekolahan sendiri. Tapi, secara perlahan... larianku berubah menjadi langkah-langkah kecil yang pelan. Saat kulihat ada sosok yang berdiri di sana. Sosok dengan jaket hitamnya. Sosok yang mengenakan seragam putih—kotak-kotak sama sepertiku.

Langkahku terhenti, saat kulihat dengan jelas siapa sosok yang sedari tadi bersandar di pagar itu. Ya... itu dia, Ricky. Dia berdiri tegap sambil menghadap ke arahku, kemudian berjalan mendekatiku.

Kutundukkan wajahku karena aku takut jika dia masih marah, tapi saat sepasang sepatu kets warna merah hati itu berhenti. Aku mulai mendongakkan wajahku, kenapa dia hanya berdiri saja? Kenapa dia tak memukulku seperti apa yang ada di dalam otakku.

"Kemarilah... gue tahu elo kedinginan." katanya. Menarik kedua ujung jaketnya kemudian memeluk tubuhku. Sampai, tubuh kami berselimutkan jaket hitam milik Ricky.

Lama... kami hanya berdiri di bawah hujan seperti orang bodoh. Bahkan... aku bisa merasakan hangat tubuh Ricky di balik dinginnya air hujan yang mengguyur kami. Bahkan, aku bisa mendengar detak jantung Ricky yang terdengar begitu tenang, dengan ritme yang tak berubah di setiap detakkannya.

"Maafin gue, Rick..." kataku pada akhirnya. Dia masih diam, tak membalas ucapanku. Masih memelukku dengan begitu erat. Ragu, kubalas pelukannya seolah mewakili hatiku. Saat kuputuskan untuk membalas perasaannya padaku. Seolah, aku aku membisikkan padanya jika aku juga mencintainya.

"Maafin gue."

"Nggak usah dibahas."

"Tapi—"

"Ayo kita pulang. Elo nggak mau kita kena flu, kan?" aku mengangguk. Perlahan dia melepaskan pelukkannya.

"Tapi... gue mau mastiin satu hal dulu."

"Apa?"

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tapi, dia berjalan mundur. Hanya beberapa langkah kemudian dia berdiri menghadapku, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar membuatku bertanya dalam hati, apa yang akan dia lakukan?

"Sekarang... gue mau tanya serius ama elo!" teriaknya, di tengah suara hujan yang cukup memekakan telinga.

"Apa?!" tanyaku dengan suara yang keras pula. Agar dia bisa mendengarkanku.

"Gue cinta ama elo, Lam! Sekarang jawab gue, apa lo cinta ama gue apa enggak! Jika lo cinta, lo ke sini! Peluk gue! Jika enggak! Lo boleh pergi dari sini, abaikan gue!" aku diam di tempat. Sementara dia masih sama, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar seolah menungguku untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Gue—" kataku terhenti. Dia menarik sebelah alisnya, dan itu cukup membuatku untuk tersenyum. Setengah berlari ku hampiri tubuhnya dan kupeluk erat-erat tubuh Ricky. Ini jawabanku untuknya, ini jawabanku untuk perasaannya.

"Gue juga cinta ama elo, Rick!" teriakku. Dia tertawa lepas, kemudian memelukku erat-erat. Rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang hilang dari hidupku. Rasanya, seperti mendapatkan separuh hidupku. Mengatakan jika aku mencintainya, membuat hatiku terasa meledak. Mengakui perasaanku padanya, membuatku ingin terus-terusan berteriak. Aku ingin selalu bersamanya, aku ingin selalu mencintainya. Ya... dia, Ricky.