"Terus kita ngapain?" tanyaku bingung. Sekar mengangkat kedua bahunya acuh kemudian dia berjalan menuju arah perpus. Mungkin, lebih baik aku ikut. Daripada harus melihat kegiatan class meeting yang aku tak mengerti. Lebih baik, aku belajar atau membaca buku di sana.
"Nilam, Sekar! Ngapain kalian ada di sini?" aku sudah bisa menebak. Pasti, Mbak Sasi akan bertanya. Karena, baru semester ini saja, aku dan Sekar bisa leha-leha. Pasti, akibat gosip itu. Tidak apa-apa. Setidaknya aku bisa mengambil hikmahnya.
"Libur, Mbak." jawab Sekar. Mengambil beberapa buku paket kemudian duduk di depan meja ujung ruangan. Biasanya, tempat itu tempatku.
Tapi, aku memilih duduk di tepi jendela ruang perpustakaan. Musim panas, dan kipas angin di ruangan ini mati. Jika aku ada di tempat Sekar sekarang, pastilah rambutku nanti akan lebih mengerikan. Aku butuh udara segar... mungkin.
Perpustakaan jam seperti ini. Pasti akan sepi. Para siswa lebih memilih berteriak sampai suara mereka habis demi membela tim kesayangan mereka. Membuang waktu percuma dengan hal-hal yang tak ada gunanya. Tapi, sering juga terjadi. Kesepian ini dimanfaatkan oleh anak-anak pacaran. Pasalnya, mereka mencari kesempatan ini untuk berduaan. Bahkan, tahun kemarin, aku melihat pasangan berciuman di lorong. Meski mereka mengetahui keberadaanku. Anehnya, mereka tak peduli dan tak malu. Malah, aku sendiri yang malu.
Mengingat masalah ciuman. Kenapa aku jadi teringat akan Ricky. Apa yang dimaksud Bondan dan Mondy tentang 'gituan' aku sama sekali tidak tahu. Jika saat ini, Ricky saja memiliki banyak cewek. Bukankah itu artinya, Ricky sudah mencium banyak cewek? Ya Tuhan, bahkan untuk membayangkan itu saja dadaku sesak. Sebenarnya, ada apa denganku?.
"Ricky, please!" kutoleh suara itu. Aku melihat, Salma menarik tangan Ricky sambil berteriak kencang menuju ke arah belakang gedung kelas 1. Dan itu tandanya, tidak jauh dari sini. Mengingat gedung kelas satu letaknya setelah gedung OSIS yang terletak di samping perpustakaan.
Ricky tertawa. Tawa yang sesungguhnya. Kemudian dia mendorong pelan tubuh Salma sampai menghimpit dinding. Meletakkan kedua tangan kekarnya di antara tubuh Salma. Apa yang akan mereka lakukan? Tidak... aku tidak boleh pedulu. Karena, itu bukanlah urusanku. Tapi, aku sangat ingin tahu. Tentang adegan selanjutnya setelah adegan itu.
Salma memeluk erat tubuh Ricky. Kemudian dia melepaskannya, kedua tangannya yang dari tadi melingkari pinggang Ricky kemudian beralih melingkari leher Ricky. Bulu kuduku meremang. Antara berani apa tidak melihat pemandangan yang samar-samar ada di depanku itu. Aku tahu, apa adegan setelah ini. Karena, meski semua orang bilang aku cupu. Aku pun sudah cukup sering menonton adegan seperti ini di bioskop-bioskop yang memutar film-film romantis.
Masih dengan senyuman bahagianya. Mata Ricky tak hentinya menatap wajah Salma. Tatapan memuja yang dia tunjukkan secara nyata. Aku tahu, Salma. Cewek paling cantik di Sekolah ini. Bahkan tahun lalu sampai sekarang masih menyandang Ratu Sekolah saat acara prom night. Acara tahunan Sekolah.
"Nilam! Lo ngapain!" aku terjingkat. Saat Sekar menepuk bahuku.
Jangan menangis... aku tidak boleh menangis.
"Gue... gue baca buku." jawabku.
"Novel sad story?" tanyanya. Aku hanya menatap Sekar bingung. "Elo nangis Nilam. Elo kenapa?"
Ku pegang kedua pipiku. Ternyata benar, air mataku sudah jatuh dengan cara yang tak sopan. Kenapa aku menangis? Apa hubungannya air mataku dengan Ricky yang saat ini tengah berciuman dengan Salma. Aku tak mungkin cemburu, kan?
"Nilam! Elo dicari anak Harapan Bangsa!" teriakan Genta membuat mata Ricky menagkap sosokku.
Dengan cepat aku segera pergi dari perpustakaan. Karena, aku bisa melihat, Salma ikut menoleh dengan tatapan tak suka. Dan bibir itu....
"Ada apa?"
"Gue nggak tahu. Cowoknya keren sih, tapi yang dicari dari tadi elo mulu. Sampai-sampai nanyain ke anak-anak sini."
"Rambutnya dicat merah? Tindikan?" tebakku. Genta mengangguk kuat. Tubuh Genta masih berkeringat pun nafasnya masih tak beraturan. Aku yakin, dia baru saja tanding, tadi.
"Selingkuhan elo?" tebak Genta.
"Ngaco! Enggaklah!"
Aku buru-buru pergi. Tapi Genta sudah merangkulku begitu saja. Dia berjalan dengan senyuman mengembangnya. Aku tidak tahu, ada apa dengan Genta saat ini.
"Sahabat gue yang deketin cakep-cakep. Gue jadi terharu..." katanya, "Yang satu meski badung tapi cakep, dan yang satunya kalau nggak salah model majalah remaja. Gue salut ama mereka. Ternyata mereka bisa melihat kecantikan Nilam yang sebenarnya."
"Genta!" sentakku. Dia tersenyum semakin lebar.
"Nilam, elo itu cantik, banget! Jadi, kenapa sih elo kayak gini!"
"Gue---" kataku terhenti. Sepertinya, Genta sedang tidak waras. "Elo ada apa?"
"Lala tadi teriak, Genta, i love you!" pekiknya girang.
"Beneran? Kok bisa?"
"Tadi ada adek kelas gitu, yang sok care ama gue. Eh, dia langsung bilang gitu. Emang, kalau cinta nggak bakal ke mana ya."
"Serius?" tanyaku lagi yang masih tak percaya. Lala tidak pernah cerita kepadaku, jika dia juga mencintai Genta. Malah, Genta yang terus-terusan mengangguku dengan curhatannya tentang Lala sepanjang waktu.
Genta mengangguk. Aku pun ikut senang karenanya. Tanpa sadar, kami saling lompat seperti anak kecil kemudian berpelukan. Syukurlah, setidaknya, kedua sahabatku bahagia. Urusan kebahagiaanku, hal nomor dua.
"Lo nggak boleh nyakitin Lala, apalagi selingkuhin dia. Janji?"
"Siap Bos Ratu!" dia memberi hormat. Seperti bawahan yang memberi hormat kepada atasan. Aku tahu, Genta adalah cowok yang setia. Dan aku yakin, Genta bisa menjaga Lala. Lalu, kapan aku bisa menemukan cowok seperti Genta? Ah, Nilam. Kamu terlalu berharap tinggi. Mana mungkin, ada katak yang bisa menggapai rembulan. Tidak ada.
"Nilam awas!"
BUUUKK!!!
Mataku terasa pusing, saat hantaman bola basket itu mengenai kepalaku. Kemudian aku... tak sadarkan diri.
@@@
"Elo udah bangun?"
Kukerjapkan mataku saat mendengar suara itu samar-samar. Ricky, sudah duduk di samping tempatku tidur sambil menghisap rokoknya.
"Di mana gue?"
"UKS."
"Kok bisa?"
"Tadi elo pingsan. Kena lemparan bola basket."
Aku kembali diam. Berkutat dengan pikiranku lagi. Ya, dia sekarang ada di sini. Di sampingku. Memainkan perannya sebagai pacar dengan sangat sempurna. Ricky, apakah dia tidak ingin menjelaskan sesuatu padaku? Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Menjelaskan? Padaku? Tidak ada yang perlu dijelaskan karena aku bukanlah siapa-siapa untuknya.
"Gue mau pulang." putusku. Setelah melihat jam yang ada di dinding samping tempatku tidur menunjukkan pukul 15.00. Pasti, Tante Rosi sudah menungguku di rumah.
"Lo ---"
"Gue mau pulang!" sentakku. Menepis tangannya yang meraih lenganku.
Mungkin, aku mau PMS. Itu sebabnya emosiku naik turun sekarang.
"Lo ngeliat tadi gue ama Salma?"
Aku hanya diam. Mengabaikan ucapannya, meraih tasku yang sudah ada di sofa kemudian memasukkan buku-buku paketku.
"Gue tadi ----"
"Gue nggak peduli, Rick. Elo mau pelukan, elo mau ciuman ama cewek manapun gue nggak peduli elo mau ngapain aja. Tapi, lo bisa kan. Ngelepasin gue?" dia berdiri. Mata cokelatnya menatapku dengan tajam. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku berani marah sama Ricky. Kenapa aku bisa seberani ini, tanpa berpikir akibat buruk yang nantinya akan aku alami.