"Elo sudah punya banyak cewek cantik-cantik, kan? Jadi, untuk apa elo nembak gue? Memaksa gue jadi salah satu dari cewek-cewek elo. Gue nggak cantik, gue juga nggak kaya kayak mereka. Jadi, lo bisa lepasin gue? Jika niat lo hanya buat balas dendam karena elo marah gue laporin elo ke polisi dulu, gue minta maaf. Gue menerima hukuman apapun dari elo, asal elo lepasin gue. Gue udah lelah ngejalanin hubungan yang seperti ini, Rick. Ini bukan pacaran."
"Gue nggak mau..." Ricky berdiri. Melangkah mendekatiku. Tanganku yang tadinya mengemasi buku ditarik paksa olehnya. Dia mendorongku ke dinding, kemudian membekapku dengan kedua tangannya. "Sekarang, nanti, dan selamanya. Elo itu milik gue, ngerti?" bisiknya tepat di telingaku.
Wajahnya kini begitu dekat dengan wajahku. Sampai-sampai, hidung mancungnya menempel manis di hidungku. Aku sama sekali tidak tahu, apa yang akan dia lakukan. Yang jelas, saat ini aku benar-benar merasa tidak aman.
"Gue cinta ama elo, Nilam."
PLAKK!!!
"Jangan coba-coba lo tempelin bibir kotor lo itu ke bibir gue! Gue nggak mau, virus dan kuman dari bibir para cewek yang pernah elo cium nular ke gue! Gue nggak mau nikotin dari rokok elo itu masuk ke mulut gue! Gue benci ama elo, Ricky!"
Aku langsung berlari pergi dari ruang UKS. Membiarkan Ricky yang masih berdiri di sana sambil memegangi pipinya. Aku tak sebodoh itu. Aku bukanlah Salma, Alya, Sesil dan yang lainnya. Yang akan menyerahkan segalanya setelah mendengar kata-kata rendahan seperti itu. Aku Nilam Cahya, yang tak akan bisa dibohongi oleh cowok berengsek seperti dia.
@@@
Hari ini Sekolah disibukkan lagi dengan acara class meeting. Terlebih, anak Harapan Bangsa menyambut undangan yang beberapa hari lalu aku kirim ke sana. Meski, para Guru harus memperketat pengawasan karena hampir di setiap pertandingan mereka selalu mengajak ribut. Syukur, pada akhirnya. Para panitia bisa menahan mereka. Mungkin, karena ketua geng Harapan Bangsa tidak ada di sini. Maksudku, cowok bernama Alex pun Andrew. Karena, selain dua cowok mengerikan itu. Semua penampilan anak Harapan Bangsa tak ubahnya dengan anak Pelita Mulya.
Kecuali cowok satu itu. Yang selalu memilih duduk sendiri, dan selalu menolak saat ada beberapa cewek yang ingin duduk di dekatnya. Ya, cowok berambut merah itu. Yang aku tahu namanya Arya, Arya Saputra.
Kulihat di sisi lain dari lapangan tengah ini. Yang ini sisi kanan lapangan ini dijadikan lapangan bola, dan sisi lainnya jadi lapangan basket. Aku bisa lihat, Ricky dan teman-temannya sedang sibuk melihat pertandingan basket. Tumben, dia tidak merokok. Biasaya saja, saat seperti ini pasti dia gunakan untuk merokok. Aku yakin, dia takut dengan gertakan Bu Marita waktu itu. Itu sebabnya dia tak berani merokok saat ini. Tapi, apa urusanku?
"Hey, cewek kemoceng!" aku menoleh. Arya sudah duduk di sampingku. Rasanya, aneh. Ada dia di sini, maksudku. Dia duduk di sampingku saat ini.
"H...hay." jawabku kaku. Sambil menggeser posisi dudukku menjauh darinya. Saat ini, aku duduk di depan kelas. Tepatnya, di bawah pohon mangga depan kelasku.
"Gue kemarin nyariin elo."
"Oh...."
"Nilam."
"Hmmm."
"Elo lucu deh. Ngapain sih elo bengong sendirian di sini?"
Seharusnya, aku yang bilang seperti itu. Untuk apa dia mendekatiku? Bukanya dia menolak tawaran cewek-cewek untuk duduk. Tapi kenapa denganku?
"Gue ---"
"Gue tahu, elo pasti ngelamun kenapa elo nggak ada pacar, kan?"
Sok tahu....
"Bukan, gue ---"
"Tenang aja, Lam..." katanya. Sok akrab sambil menepuk bahuku. Dia tersenyum, dan jujur, senyumannya manis. "Meski cowok di Dunia ini nolak elo. Gue, Arya... akan jadi satu-satunya cowok yang akan nerima elo."
"Enggak, makasih." tolakku. Cukup sekali aku berhubungan dengan cowok model seperti ini. Karena aku tahu, semua cowok yang tampan itu, berengsek. Jika memang ada cowok tampan yang tidak berengsek, kebanyakan berumur pendek. Jika tidak, pilihan yang terakhir. Pasti yang menemukan cowok seperti itu, adalah cewek beruntung di Dunia.
"Nilam gue ----"
"Heh cowok ganteng tapi sinting! Jauh-jauh lo dari sahabat gue! Gue nggak akan pernah ngerestuin sahabat gue dideketin ama siswa Harapan Bangsa! Ngerti lo!"
Untung ada Lala. Dia langsung menarikku untuk pergi dari tempat itu. Andai tidak ada dia. Pasti, aku akan mati di sana. Mati bukan yang sebenarnya. Tapi, mati takut karena menjadi pusat perhatian para siswa. Aku sudah cukup banyak menarik perhatian akhir-akhir ini karena masalahku dengan Ricky. Aku tidak mau menarik perhatian lagi, sudah cukup.
"Bukanya sekarang waktunya elo tampil, La?" lala menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan tatapan tajam itu. Tatapan yang seolah berkata; saat ini bukanlah waktunya main-main.
"Elo nggak tahu, kalau hari ini Ricky dan temen-temennya mau nyerbu anak Harapan Bangsa?"
Apa peduliku? Itu bukan urusanku....
"Sudahlah. Itu kan urusan dia."
"Tapi, Lam," Lala kini memegang tanganku. Dia sedang serius, aku tahu itu. "Bu Marita dan Pak Hamdan benar-benar akan mengeluarkan Ricky dari Sekolah. Gue denger itu sendiri tadi dari Kak Aldi yang kebetulan habis tanding basket. Gue tahu kok, elo nggak cinta ama Ricky pun suka, kan? Tapi, setidaknya lo bisa, kan bantuin dia? Anggap dia temen lo yang butuh pertolongan elo."
"Kenapa lo jadi peduli? Kenapa gue harus peduli? Apa elo pikir, Ricky akan dengerin omongan gue? Enggak, La."
"Apa salahnya nyoba, Lam? Apa elo nggak kasihan ama dia? Dia hanya korban."
"Sejak kapan sih lo suka ngebela dia?"
"Sejak dia jadi cowok elo!" aku hanya bisa diam, saat Lala mengacak rambutnya. Aku sudah memutuskan untuk tidak berurusan dengan dia. Dan itu keputusan yang tidak akan kucabut lagi. " Elo nggak tahu'kan, siapa yang bantuin gue ama Genta milih buku paket dulu? Elo juga nggak tahu'kan, siapa yang malem-malem BBMin gue dan Genta buat tanya di mana keadaan lo waktu dulu lo ngilang pas komputer lo rusak, elo ---"
"Jadi ---"
"Iya! Dia nanya gue ama Genta terus. Kalau lo nggak percaya, lo bisa tanya ama Genta. Dan yang terakhir ya. Elo nggak tahu'kan, kenapa dia jadiin elo pacarnya? Karena dia mau ngelindungin elo dari anak-anak yang bisanya hanya manfaatin elo. Ngerti, Lam?!"
Aku tergopoh, saat Lala mendorong tubuhku. Jalanku yang awalnya lemah, pelan-pelan semakin cepat dan kuat. Bahkan, sekarang sudah menjadi larian-larian kecil untuk mencari sososk itu. Aku tahu, tadi Ricky ada di samping lapangan basket bersama teman-temannya. Aku yakin, dia masih di sana. Tapi, setelah aku ada di sana. Semuanya sudah tidak ada. Bahkan jejak Ricky pun seolah telah sirna. Mungkin, dia masih ada di warung Mang Ujang dan Mpok Lela. Aku segera menyusul ke sana. Tapi hasilnya sama saja, Ricky dan teman-temannya tidak ada di sana.
Jantungku berdetak tak karuan. Aku takut, jika Ricky benar-benar akan melawan anak Harapan Bangsa. Aku takut, terjadi apa-apa dengannya.
"Pak Sucipto... Bapak tahu ke mana Ricky dan teman-temannya pergi?" tanyaku setelah berada di koridor sekolah. Pak Sucipto, satpam sekolahku yang kebetulan akan mengantar surat untuk Kepala Sekolah. Aku bisa melihat itu dari map cokelat yang ada di tangannya.
"Itu mereka, Neng. Ada di gerbang Sekolah. Katanya, mau nganterin Mas Rendy. Lagi sakit."
"Makasih, Pak!" seruku setengah berlari menuju gerbang Sekolah.
Ternyata benar. Di sana, Ricky dan teman-temannya. Maksudku, gengnya sudah siap di atas motor mereka. Membunyikan motor bising itu dengan cara yang tak karu-karuan. Mereka memakai bandana warna merah di kepala, sambil membawa bendera warna hitam dengan lambang tengkorak warna putih di sana. Sementara Ricky, yang berada paling depan, seolah dialah ketua dari geng itu. Tampak tenang di atas motor besarnya.
"Ricky!!" teriakku sekuat tenaga. Meski aku tak yakin, jika suaraku mampu didengarnya.
Cepat-cepat aku menyusup antara celah, agar aku bisa berada di depan. Tepat di depan Ricky. Agar dia bisa melihat keberadaanku. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku ada juga di sana. Sambil melentangkan kedua tanganku berdiri tepat di depannya.
Sementara dia, hanya diam. Dengan tatapan dingin itu, seolah tidak sudi untuk melihatku. Sesekali, dia memalingkan wajahnya kemudian kembali menatapku dengan pandangan tak sukanya.
"Gue mohon, jangan pergi!" teriakku.
Bodoh! Seharusnya, aku tak melakukan itu....
Aku tahu, ini adalah hal percuma. Melarang Ricky pergi sama saja dengan berharap bulan jatuh ke pangkuan. Karena... mustahil.
"Gue mohon... jangan pergi tawuran, Rick! Gue nggak mau elo dikeluarkan dari Sekolah!" kataku lagi. Ku tundukkan kepalaku dalam-dalam. Karena, nyaliku sudah ciut saat menerima tatapan dinginnya.
"Heh cewek aneh! Pergi sana lo! Ngerusak mata aja!"
"Dasar cewek singa! Emangnya elo pikir, Ricky bakal nurutin elo, iya?!"
"Cewek sinting! Ngemis-ngemis kan lo ama Ricky! Kasihan!"
"Ssssst!" seru Ricky. Aku mengangkat wajahku, dia mengangkat tangannya seolah memberi intruksi pada teman-temannya untuk diam. Dia tersenyum simpul, kemudian turun dari motornya. Berjalan ke arahku kemudian berhenti tepat di depanku.
Aku kembali menunduk, karena aku takut dengannya. Jujur, aku tidak tahu. Kemarin setan apa yang merasukiku karena aku bisa berani padanya.
"Gue akan nurutin ucapan lo, asal lo mau nerima syarat dari gue." katanya. Aku kembali menunduk, memandang sepatu kets putih miliknya yang ditelan celana abu-abunya.
Dia menarik beberapa helai rambutku kemudian menciumnya. Padahal, aku belum sempat keramas tadi pagi.
"A.... apa?" tanyaku takut-takut.
"Cium bibir gue."
Spontan kutatap wajahnya. Dia membalas pandanganku dengan tatapan dingin dan tajam. Kutelan ludahku yang mendadak kering berkali-kali. Aku tidak tahu, harus menjawab apa syarat dari Ricky.