Chereads / A Trip Of Our Youth / Chapter 31 - Jogging

Chapter 31 - Jogging

Obrolan di Merlion tanpa terasa berlanjut sampai hampir tengah malam. Mereka baru kembali ke hotel pukul 12 kurang sedikit.

Duo RaRa masih tertidur pulas tapi tidak dengan Aruna. Gadis berkulit pucat itu sudah terjaga dari pukul 6 pagi. Gak niat juga sih, udah terbiasa aja.

Sunrise di Singapura lebih lambat dari Indonesia, padahal secara GMT lebih cepat. Sera pernah berkelakar itu karena warga Singapura rajin-rajin, makanya jamnnya dimajuin satu jam.

Bisa jadi sih.

Karena habis terbangun tidak bisa pulas lagi, Aruna memutuskan duduk di depan jendela kaca, menunggu matahari terbit. Secangkir teh hangat ikut menemani di tangan.

Kalau ditanya lebih suka sunset atau sunrise, jawaban Aruna sudah pasti sunrise. Keduanya sama-sama indah, tapi untuk sebagian orang, menikmati matahari terbit itu butuh perjuangan sebab harus bangun pagi. Karenanya, sunrise terasa lebih spesial.

Alasan kedua, karena sunrise menandakan hari baru, semangat baru, cerita baru. Sedangkan sunset identik dengan penghujung hari. Setelah indahnya jingga di angkasa, seringkali hanya meninggalkan lelah dan kecewa pada asa.

Alasan ketiga, karena namanya Aruna. Dalam bahasa Sansekerta, Aruna berarti fajar, jingga di ufuk timur.

Sebenarnya, Aruna tidak merasa namanya begitu spesial. Ataupun dirinya yang spesial. Sampai suatu ketika di pagi hari yang melelahkan, sebaris kalimat dari seseorang menyegarkan mata dan pikiran yang belum diistirahatkan dari pagi sebelumnya.

Waktu kuliah dulu, Aruna itu nge-kos. Bagian paling atas kos-annya tidak beratap, hanya cor-an saja yang biasa dipakai menjemur. Kadang buat ngumpul-ngumpul anak kos juga.

Aruna kadang suka naik ke rooftop itu kalau sedang jenuh atau untuk mencari udara segar setelah berjam-jam mengeram di kamar karna tugas. Seringnya pagi-pagi buta. Awalnya karena di jam segitu biasanya tugasnya baru selesai. Tapi alasannya berganti semenjak ia bertemu kakak tingkat ganteng yang jadi idaman ciwi-ciwi.

Keano Abimanyu, mahasiswa DKV yang sebenarnya bukan penghuni kos itu. Jelas, karena itu kos perempuan. Tapi entah kenapa Aruna jadi sering ngeliat Keano nongol di rooftop saat pagi hari bersama dengan kameranya.

Waktu ditanya kenapa, Keano bilang dia sedang ada project dengan Kiara, penghuni kos itu juga. Aruna manggut-manggut saja, walau dalam hati gadis berwajah blasteran itu sempat curiga. Jangan-jangan Keano dan Kiara suka melakukan tindakan tidak senonoh di kamar.

Tapi kecurigaan itu terbantahkan waktu Aruna ke dapur tengah malam. Ternyata Keano dan Kiara bekerja di ruang tengah kos-an. Dan gak cuma berdua, tapi berlima.

Gara-gara sering nongkrong bareng di rooftop pagi-pagi itu, Aruna dan Keano jadi saling kenal. Dari pertemuan di pagi buta tersebut, Aruna jadi tau kalau Keano suka memotret. Juga matahari terbit.

"Aruna, right?" tanya Keano.

Waktu itu seperti biasa, cowok tinggi tersebut duduk sambil melihat-lihat hasil jepretannya, sementara Aruna duduk di sebelahnya. Gak ngapa-ngapain, hanya menikmati udara pagi.

"Mm'hm," jawab Aruna.

"I like it."

"What?"

"Your name."

Kalau boleh jujur, Aruna deg-degan banget waktu itu. Tapi ia ingat kata Yora, harus stay cool dan gak gampang baper. "Why? Doesn't it sound old fashioned?"

"No, it's pretty."

"Every name has its own charm though."

"Aruna means sunrise, isn't it?"

"Tau dari mana?"

"I googled it." Keano lalu berdeham. "I like sunrise, and everything about it."

Aruna gak tau dia baper karena Keano bicara sambil menatapnya atau fakta kalau kating mostwanted ini menyempatkan diri untuk browsing mencari tau arti namanya.

Mengingat kejadian itu membuat Aruna tidak tahan untuk tidak tersenyum. Ia merasa sangat konyol sekarang karena senyum-senyum sendiri.

Berusaha mengalihkan pikiran dengan melihat sekeliling, Aruna malah dibuat terkejut karena Sera. Gadis itu sudah duduk di sisi tempat tidur lengkap dengan kacamatanya.

Senyum Aruna langsung lenyap tatkala bertemu pandang dengan Sera yang lebih mirip zombie dibandingkan temannya. Wajah Sera terlihat bengkak khas orang bangun tidur. Rambutnya kusut dan tatapannya datar melihat Aruna.

"Sejak kapan lo duduk di situ?"

Bukannya menjawab, Sera malah balas bertanya. "Sejak kapan lo suka senyam senyum sendiri gitu?"

Aruna balas mengabaikan pertanyaan Sera. "Tumben pagi-pagi udah bangun?"

"Ini mau tidur lagi." Lalu begitu saja, Sera melepas kacamata dan kembali menyelimuti diri.

"Dih, gak jelas amat nih orang," batin Aruna.

Tidak ingin ditinggal tidur, Aruna iseng melompat ke samping Sera, merecoki gadis itu. "SERAFIN, AYO BANGUN! JANGAN TIDUR LAGI."

"AHHH." Sera menolak, berusaha berlindung dalam selimut. Tapi sepertinya Aruna jauh lebih gigih. Teman dari zigotnya itu malah berguling di atas tubuhnya. Alhasil Sera menyerah dan keluar dari 'perembunyian'nya sebelum nafasnya yang disembunyikan Tuhan.

"Jeez! Okay, surrender," kata Sera seraya mengangkat tangan, menyerah.

"Jogging, yuk," ajak Aruna.

"Sirheo."

"Ayo ih. Biar sehat."

"Justru itu. Kita kan bakal banyak jalan. Biar sehat, gue menyimpan energi gue. Caranya gimana? R-E-RE, B-AH-BAH, A-N-AN. Re-ba-han."

* * *

Nyatanya, 10 kemudian Sera sudah berlari santai bersama Aruna. Kapan lagi gadis berambut sebahu itu lari pagi keliling kota. Meskipun rute yang Aruna ambil tidak sejauh itu juga. Hanya berkeliling di sekitaran Marina Bay dan Merlion. Teknisnya, mereka sedang mengitari waduk yang berada tepat di hadapan patung Merlion tersebut.

Setelah 20 menit berlalu, Sera mulai lelah.

"Jir, istirahat dulu dong," pinta Sera.

Aruna berhenti berlari dan menengok ke belakang. "God, you look dying."

"I AM dying, Nana. You run so fast. It's not a jog, it's a sprint."

"Come on, don't act like a granny."

"I am 70 years old inside."

"Kita keliling ke arah galeri yang kemaren dulu, abis itu balik."

Sera mengusap peluh lalu berjalan ke sebuah convenience store berlambang angka 7 di dekat situ. "Lo keliling sendiri aja dulu. Gue tunggu di sini."

"Kalo gue kelilingnya lama, gimana?"

"Lo mau lari sampe Malaysia juga terserah. Gue tungguin di sini."

"Tapi bener ya, jangan balik ke hotel duluan."

"Iye, tenang aja."

Setelah itu Aruna kembali berlari sementara Sera masuk ke convenience store tersebut. Ia mengambil 1 kotak jus kemasan dan 2 keripik kentang beda rasa. Setelah membayar, gadis yang mengikat rambutnya jadi pony tail itu duduk di kursi yang tersedia di luar toko.

"Niat jogging biar sehat dan gue malah sarapan micin. Hebat kamu, Sera," tutur Sera pada dirinya sendiri. Sera lalu menikmati snack tidak sehatnya sambil melihat suasana di sekeliling.

Convenience store itu terletak tidak jauh dari destinasi wajib Singapura, Merlion. Ada beberapa orang yang terlihat sedang jogging atau sekedar berjalan santai di sekitar situ. Sebagian lainnya mungkin adalah turis yang ingin berfoto di Merlion, mumpung masih sepi. Sera yakin setengah jam lagi, patung separuh singa itu akan mulai dipadati banyak orang.

Sepuluh menit duduk sendirian, tiba-tiba seseorang datang menghapiri Sera. Bukan Aruna tapi Thomas, si bule yang membantu memapah Yora 2 malam sebelumnnya.

"Sarah? Hi!"

Sera kaget. Tiga hari di Singapura, tiga hari juga ia bertemu orang yang sama pada momen yang tidak terduga. Kalau Yora ada bersamanya sekarang, sudah pasti ia akan berteori kalau mereka berjodoh.

Katanya pertemuan pertama mungkin sebuah kebetulan. Pertemuan kedua tidak disengaja. Tapi, yang ketiga bisa jadi takdir. Sera gak percaya. Menurutnya, mereka yang berpikiran begitu hanya meromantisasi kebetulan.

Pernah belajar teori peluang? Dalam teori peluang, semua kejadian dalam ruang sample mungkin terjadi. Hanya saja kemungkinannya tiap kejadian itu berbeda.

Sama saja dengan pertemuan kita dengan orang sekitar, selalu ada kemungkinan. Semua orang di dunia ini punya kemungkinan untuk bertemu. Walau, yah... kemungkinannya 1 banding sekian miliar.

Tapi tetap, itu memang mungkin terjadi kan? Tidak perlu sampai setiap pertemuan dihubungkan dengan takdir. Karena takdir tidak berhubungan dengan kemungkinan. Dia tegas dan kejam.

Takdir akan muncul di saat yang sudah ditentukan. Bagus kalau dia muncul di saat yang baik. Tapi bahkan jika ia muncul di saat yang buruk, tidak peduli sebesar apa kekacauan yang akan dia ciptakan, dia tetap akan muncul.

Meski begitu, pembicaraan tentang pertemuan dan kebetulan selalu mengingatkan Sera pada sosok bermata cokelat yang pernah gadis itu temui di belahan dunia lain sekian tahun lalu. "I hope we met not just by chance," begitu katanya.

"What are you doing?"

Pertanyaan Thomas membuyarkan lamunan Sera. "Waiting for Aruna. She's running to the National Gallery."

"Oh, the brunette one?"

"Mm'hm."

"Why don't you run with her?"

"I was. But I'm too tired. You know, gotta keep my energy up while I'm on a trip." Sederhananya, Sera males.

"So, I guess you're not from here?"

"No, of course not. I'm from Indonesia."

"Oh, Bali?"

"Yes, Bali is part of Indonesia. But I'm from Jakarta."

"Jakarta, the capital city, right?"

"Right! You know a lot, huh?"

"I've visited Indonesia several times. Bali was gorgeous."

"And Jakarta's crowded"

"No, it's also a beautiful city," sanggah Thomas.

"But crowded."

"Well, it's pretty crowded there. And hot."

"One hundred percent agree."

Perkataan Thomas tentang kunjungannya ke Bali membuat Sera jadi penasaran. "I wonder something. Are you a travel vlogger? Blogger?" tanyanya. Karena biasanya traveller bule kayak gini nih suka banget sama Bali.

"No I'm not," jawab Thomas dengan gelak.

"So, may I know your occupation?"

"I'm a chef."

Wow, seorang juru masak. Sera tidak tau sehebat dan sekeren apa Thomas saat ada di dapur, tapi caranya menyebut dirinya chef membuat Sera langsung terbayang Gordon Ramsay. Atau kalau versi lokalnya, chef Juna.

"A chef? Wow. So, you're cooking in a rush like there's a sprint, in a hella hot sauna and serve the plate so angelic like a masterpiece?"

Thomas tertawa mendengar penuturan Sera. Sejujurnya, saat ada pesanan terutama di jam sibuk, dapur bisa jadi semengerikan itu. Hanya cara Sera mendeskripsikannya sangat lucu bagi Thomas. "Kind of?"

"Like the Masterchef show?"

"More like Hell's Kitchen."

"Ah, worse."

Baik Masterchef dan Hell's Kitchen, dua-duanya adalah kompetisi memasak populer. Tapi rasanya semua orang akan setuju jika Hell's Kitchen lebih menegangkan. Bukan hanya bagi pesertanya, tapi juga yang menonton. Sesuai namanya, seperti simulasi di neraka.

"Do you like cooking?" tanya Thomas.

"No. I prefer eating."

Thomas tertawa lagi sambil manggut-manggut. Heran deh, perasaan Sera gak lagi ngelawak. Tapi ini bule tersenyum terus.

"Well, perhaps... if we meet again, would you mind if I cook for you?"

"Really?" Sera seneng banget. Tapi tunggu, "Is it free?"

Gelak lainnya hadir dari Thomas. "Sure!"

"Then its absolutely yes! Hope we really meet again."

Sera senang. Dapat tawaran dimasakin chef profesional rasanya sangat spesial. Walaupun sepertinya mereka tidak akan bertemu lagi. Thomas juga senang, mengetahui Sera ingin bertemu dengannya lagi. Walau ia tau alasannya karena janji yang ia buat.

Tidak lama, Aruna mengirim pesan, menyuruh Sera berjalan ke arah hotel dan menyusul Aruna. Karena kalau Aruna kembali ke tempat Sera, jadinya bolak-balik.

"Sorry, I gotta go. Aruna's waiting for me." Sera lalu bangkit dari duduk dan membersihkan bekas makannya. Ia menyempatkan diri berbalik sebentar. "By the way, it's Sera from Serafina. S-E-R-A. Not Sarah."

Sera lalu melambaikan tangannya sebelum berbalik dan pergi. Menyisakan Thomas yang masih duduk di kursi convenience store.

Dalam hati, Thomas mensyukuri ajakan temannya, Kevin, untuk datang ke Singapura. Karena kalau tidak, cowok pirang itu mungkin tidak akan bertemu Sera. Si gadis menawan yang menubruk tiang rooftop.

* * *

Karena saat Aruna dan Sera pergi tadi Yora masih tidur, jadi pas bangun Yora bingung. Kemana teman-temannya pergi? Masa iya diculk? Gadis bersurai sepunggung itu lalu menelepon Sera.

"DI MANA?"

"Buset, gak usah pake teriak bisa gak?" jawab Sera dari seberang sana.

"Abisnya, bangun-bangun lo pada udah ngilang."

"Ih, ditinggal bentar aja udah kangen. Posesif banget sih kamu."

"Najisun. Di mana lo?"

"Nih udah di lobi. Bye."

Setelah itu, sambungan diputus secara sepihak, membuat Yora secara impulsif berjalan keluar kamar untuk menunggu 2 temannya. Tidak sampai 5 menit, Aruna dan Sera muncul. Dari outfit yang dikenakan, Yora bisa menebak kalau mereka habis olahraga. Atau minimal niatnya begitu.

"Kok pergi gak ngajak-ngajak gue sih?!" semprot Yora dengan tampang cemberut. Kental sekali seperti orang yang dikhianati.

"Lo masih tidur tadi. Kasian kalo gue bangunin pagi-pagi," jelas Aruna.

"Emang nih anak bangun pagi?" tunjuk Yora pada Sera.

"Woyajelas. Aku kan rajin," tutur Sera dengan sombong.

Yora berdecak, malas. Tapi lalu mengernyit saat Aruna diam saja di depan pintu sambil menatapnya. "Kenapa? Gak masuk?"

"Kartunya?"

Mereka bertiga saling tatap. Tiba-tiba suasana jadi tegang.

"Lah, lo pergi gak bawa kartu?" tanya Yora.

"Kan ada lo."

"Gue pikir lo bawa kartu hotelnya satu."

"Jadi kita gak bisa masuk ini?" ujar Sera.

Akhirnya pagi menjelang siang itu mereka isi dengan argumen salah-salahan sembari mereka turun ke loby dan minta key access supaya mereka bisa masuk kamar lagi.

Di antara bertiga, Yora sih yang paling kacau. Ia terpaksa turun bertelanjang kaki dan masih mengenakan piyama.

Gadis itu lalu memegang jaket Sera dan Aruna. Memeriksa mana yang paling tidak lembab. Sesuai dugaan, punya Sera masih kering.

"Se, gue pinjem jaket lo dong."

"Waeyo?"

"Gue gak pake beha, jir."

"Ck, gak ada yang ngeliatin juga padahal." Sera lalu membuka jaketnya dan memberikan pada Yora.

"Enak aja. Gue menawan dan menggoda gini. Gak mungkin gak ada yang merhatiin."

"Ada emang. Tuh security. Awas aja lo, takut dikira gembel."

"Sialan."