Malam harinya setelah makan malam, The SeNaRa pergi ke area kolam renang. Kolam renang yang penuh dengan anak-anak saat siang itu seakan berubah wujud jadi tempat party orang dewasa saat malam.
Musik yang dimainkan DJ memenuhi udara, membuat sebagian orang tergoda untuk menari mengikuti ritme.
Yora jadi salah satunya. Dengan gelas di tangan, gadis bergaun mini itu terlihat menari dengan entah siapa. Sera dan Aruna sendiri nampaknya tidak tertarik bergabung.
"Lo gak gabung?" tanya Aruna pada Sera. Mereka memilih duduk di salah satu stool bar.
"And let you take care of two wasted idiots? Gue mungkin bakal lebih parah dari si Hanarta kalo mabok."
Aruna tertawa. Bagus deh kalo sadar diri, pikir Aruna. "Oh iya, 3 hari lagi Liora ultah."
"Oh. Mau bikin surprise?"
Aruna mengangguk. "Ada ide gak?"
Sera tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Ada. Kita jorokin dia ke laut."
"Serius!"
"Apa dong?"
"What about throwing a party?"
"This … kind of party?" tanya Sera dengan tidak yakin.
"Perhaps."
"Itu namanya lo nuangin bensin ke api."
"Kenapa emangnya?" tanya Aruna.
"Gak disuguhin acara aja dia bisa teler terkewer-kewer, gimana kita kasih 'Silahkan Liora, this is your night. Enjoy your party'?" kata Sera dengan nada yang dilebih-lebihkan.
Gadis berambut sebahu itu lalu menengok ke kiri, mendapati Yora yang sedang berjalan ke arah mereka. "Nah. Tuh, tuh … liat. Udah oleng dia."
Aruna mengikuti arah pandang Sera, bertepatan dengan Yora tiba.
"Guys, balik ke kamar yuk," ajak Yora dengan sisa kesadaran yang dia punya.
"Tumben. Gak nunggu sampe gak sadarkan diri dulu baru balik?" ledek Sera.
"Seinget gue, ada yang punya janji candle light dinner malam ini," balas Yora.
"Omo! Iya ya, gimana dong?" tanya Sera, sepenuhnya baru ingat tentang Thomas. "Itu bukan candle light dinner DAN KALO LO INGET, KENAPA LO MINUM, J*NG?"
"Lo aja yang dateng. Kalo Nana mau ikut yaudah sih gapapa, tapi gue mau tidur aja," ujar Yora seraya berjalan menjauhi area kolam diikuti Sera dan Aruna.
Restoran yang dimaksud Thomas kebetulan ada di lantai yang sama dengan kolam renang yang barusan mereka datangi. Ketiganya hendak munuju lift saat tiba-tiba Thomas keluar dari salah satu pintu kaca bergambar bulan sabit.
Cowok pirang itu terlihat menahan pintu untuk sepasang pria dan wanita kaukasia yang nampak puas dengan pelayanan restoran tersebut. Sesaat sebelum menutup pintu, mata Thomas bertemu dengan 3 gadis yang berjalan ke arahnya. Semburat senyum ramah tercetak di wajahnya.
"You guys came in the perfect time. Come in!"
"Hello, Mr. Chef! Or should I say, Master Chef. HAHAHA. We met again," sapa Yora. Gadis itu jelas mulai hilang akal sehat dan keseimbangannya.
"Ni orang kalo mabok jadi jayus ye," bisik Sera pada dirinya sendiri.
"And I guess … you drunk again."
"Exactly!"
Yora menjawab dengan acungan jempol membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke samping. Aruna yang ada paling dekat dengannya refleks membantu.
"I think we should go now," tutur Aruna.
"Yaudah, gue juga."
"Gak usah! Lo mamam aja sama si Tommy boy," larang Yora. Ia lanjut berjalan sendiri dengan lunglai ke arah lift.
Sera yang mau berargumen pun disalip perkataan Aruna. "I actually don't eat after 10," katanya pada Thomas. Tidak sepenuhnya bohong juga. "Plus, someone has to make sure that Liora will not burn the ship," lanjutnya pada Sera. "Enjoy! Byeee."
"HAVE A NICE CANDLE LIGHT DINNER, B*ITCH!"
Sera ternganga dibuatnya. Suara Yora menggema kemana-mana, membuat beberapa penumpang kapal yang masih berkeliaran menengok ke sumber suara.
Gadis berkacamata itu menengok ke arah Thomas, tertawa renyah. Untungnya Thomas cuma tersenyum sebelum akhirnya mempersilahkan Sera masuk. Sepertinya restoran itu hampir tutup. Terbukti dengan bangku-bangku yang sudah rapih dan sebagian besar lampu yang sudah padam.
"Is it closed already?" tanya Sera yang dibenarkan Thomas. "Then why did you ask me to come at this hour?"
Thomas yang berjalan di depan Sera menengok kebelakang dulu sebelum menjawab dengan senyum. "So we can have this place for ourself."
Sera sempat berpapasan dengan beberapa waitress berwajah Asia Tenggara yang menyapa Thomas dengan senyum. Thomas lalu membuka sebuah pintu yang Sera tebak adalah dapur restoran.
"Would you mind waiting in the 'hot sauna' while I'm cooking?" tanya Thomas dengan menekankan kata 'hot sauna', mengingatkan bagaimana Sera mendeskripsikan suasana dapur saat tempo hari mereka mengobrol di Sevel Singapura.
Sera mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban lalu melangkah masuk. Tidak ada seorang pun di dalam. Jelas, karena restoran memang sudah tutup.
"Do you have your boss's permission to use this kitchen?" tanya Sera selagi Thomas memberinya bangku untuk duduk.
"I do."
Mungkin dari tadi Sera terlalu fokus pada Yora yang mabuk sampai-sampai tidak menydari penampilan Thomas yang… hmm… oke juga.
Sera akui, cowok pirang itu tampak 3 kali lebih menawan sekarang. Bagaimana ia menggulung baju khas chefnya sampai siku atau saat ia menyiapkan segala sesuatunya dengan sigap. Memang benar ya, seseorang akan terlihat jauh lebih menarik saat sedang fokus.
"Can I ask something?"
"One question for another?" jawab Thomas sembari tangannya sibuk dengan pisau.
"Deal. I'll go first. Why is the chef's uniform white? Isn't it risky? I mean, the kitchen can be very messy right? My mom won't even let me eat curry if I'm wearing white."
"You are really that sloppy, huh?" Thomas melirik sekilas pada Sera. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Because white reflects heat," lanjutnya. "Kitchen is a hot place, right? So we use white color to reduce the heat."
"Ah … so that's what science does in real life."
"Do you want your steak in medium or well done?" tanya Thomas dengan tangan yang sibuk dengan rempah.
"Is that your question?"
"Not for the 1o1 question."
"Medium well, please."
"Now, the real question. Do all Indonesians fluent in English?"
"Seriously?"
"The three of you are fluent. So I wonder, are all Indonesians bilingual."
"Are you American?"
"Mm-hm."
Sera berdecak, "America needs to realize that they are the only country that is monolingual. WOAHH, I'm sorry, man."
Tepat saat itu, panci yang Thomas gunakan untuk memasak mengeluarkan api membara atau yang secara teknis bernama flambé. Sera yang duduk di pojok working table stainless steel itu refleks mundur.
Thomas tersenyum kecil. "Sorry if that scares you."
Sera kembali ke posisi awalnya. Maklum, selama ini ia hanya melihat chef membakar panci dari layar televisi.
"But most of foreigners I've met speak English, so I feel like there's no use to learn other language. Well, until I went to study in France," lanjut Thomas.
Sera mengangguk setuju. Memangnya kenapa juga orang kita perlu berbahasa asing? Karena kita juga ingin semaju negara adidaya seperti Amerika.
"In the end, it's us who always consume what westerners give, tho."
"How you guys became fluent?"
"Movies, novels … boys. Not me, but Liora once dated a foreigner. He went to an international school and went to the same piano course with Liora. And that's when the sparks started."
"And how 'bout you?" Thomas kembali melirik sekilas pada Sera. Gadis itu sepenuhnya terfokus pada bahan makanan yang berada di depan Thomas.
"Me? I don't like boys. I mean, of course I like boys. I'm straight, but not into dating."
"Why? Terrible past? A crazy ex?"
"I don't even have an ex."
Sembari menunduk, menata piringnya, cowok jangkung itu berdecak. "You've gotta be kidding me."
"I know. A 24 years old, never been in a relationship, still a virgin. Unbelievable."
Sera tidak tau apa yang dipikirkan Thomas. Tapi, saat ia di Amerika dan mengatakan kalau ia belum pernah berhubungan dengan siapa pun, teman-temannya langsung bersikap seperti Sera adalah makhluk paling aneh seantero kampus.
Thomas kembali berdiri tegap, melepas celemeknya dan tersenyum pada Sera. "No, it's not. It means that you treasure your body, and so your future man should."
Wow. Jujur aja, gak banyak anak muda, apalagi dengan budaya baratnya, bisa bicara se-berakhlak begitu. Sera tersenyum, tulus. Paling tulus dari yang selama beberapa hari ini ia berikan untuk Thomas.
"There you go. What a pretty smile," puji Thomas.
Sera menghapus senyumnya dalam sekejap. "Now you're flirting," katanya lalu tertawa.
"Not flirting, serving."
Thomas mengangkat 2 piring di tangannya lalu memberi kode pada Sera untuk bangkit dan menuju bagian dalam restoran. Mereka duduk di salah satu meja, saling berhadapan. Kok beneran jadi kayak candle light dinner ya, pikir Sera.
"Here we go. My humble medium well-garlic butter steak, special for not ms. Sarah but ms. Sera from Serafina."
Sera tertawa mendengar nama menu yang barusan Thomas sampaikan. Cowok pirang itu bahkan mengingat perkataan konyolnya tempo hari. Lama-lama ia bisa ge-er beneran kalau cowok di depannya itu menyukainya.
"So, does eating in this restaurant reveal what the moon tastes?"
"I'm sorry?"
Sera menengok ke kanan, dimana papan nama restoran berada. "Le goût de la lune. Taste of the moon."
Thomas mengangkat sebelah alisnya. "You speak french?"
"I understand a little bit."
"That's why you laughed this morning when I told you the restaurant name. You think it's a weird name, don't you?"
"No, it's lovely tho. Makes me think of Sinatra." Sera tersenyum geli. Menurutnya, nama restoran itu memang aneh.
"He did want his restaurant to have that romantic vibes like Frank Sinatra's lyrics."
Sera mengangguk lalu mulai menyantap makanannya. "Bon appétit."
"How is it?" tanya Thomas.
"Of course it tastes amazing. Those years you've spent in France would be a waste if this just an ordinary grilled meat."
Thomas tersenyum mendengarnya lalu mengikuti Sera, menyantap makanannya. Mereka banyak berbincang malam itu.
Tentang rencana Sera dan 2 temannya untuk keliling dunia. Tentang rencana Thomas membuka restoran kecilnya sendiri. Tentang Sera yang ternyata berkuliah di salah satu kampus paling prestisius, yang mana terletak di kota kelahiran Thomas. Tentang Kevin yang hampir membakar flatnya dan Thomas. Tentang banyak hal.
Sampai di satu titik, Sera merasa obrolan itu terus menarik pikirannya pada satu orang. Sera gak mau terdengar mellow dan dikira hopeless romantic. Tapi, ya gimana. Dalam beberapa hal, Thomas mengingatkan Sera pada seseorang yang boleh dibilang, cinta pertama.
Terkesan berlebihan dan cheesy. Sera mungkin tidak akan pernah mengakuinya dan menyatakan secara gamblang, terutama pada Aruna dan Yora. Tapi kata 'cinta' itu jelas lebih dari sekedar cinta monyet.
Karena kalau iya, harusnya Sera tidak akan merasa serindu itu tiap mengingat wajahnya. Jantungnya tidak akan berdetak lebih cepat tiap mengingat hal manis yang dilakukannya. Bibirnya tidak akan tersenyum tiap mengingat namanya.
Dan dari bagaimana Thomas membicarakan sibuknya Manhattan atau romantisnya Paris, hanya satu nama yang terlintas di kepala Sera. Sebastian.