Gara-gara ancaman Aruna semalam, juga telepon dari Sean, Sera terpaksa balik ke rumah hari ini. Semalam sehabis sambungan telepon dengan kakaknya selesai, Sera langsung didesak pertanyaan oleh Yora, membuatnya harus menceritakan ulang adegan adu mulut antara ia dan ayahnya.
Yora sih santai saja saat kembali ke rumah. Tapi beda cerita kalau Sera. Gadis berkacamata itu sudah memprediksi dua kemungkinan yang akan terjadi. Yang pertama, ia akan disambut penuh kelegaan oleh orangtuanya bagaikan cerita anak hilang yang kembali. Atau yang kedua, ia justru akan diusir sungguhan.
Untungnya, kemungkinan pertama lah yang terjadi. Setidaknya ia tidak diusir walaupun ekspresi ayahnya masih kurang bersahabat. Fani sempat bertanya beberapa hal seperti di mana Sera menginap atau apakah Sean sudah menghubunginya.
Sera berbincang sedikit demi menenangkan hati sang ibunda sebelum akhirnya ke kamar untuk mandi dan berganti baju. Ia sempat berdiam diri di kamarnya, mencoba memantapkan hati untuk bicara dengan ayahnya lagi. Kali ini, harus tidak melibatkan emosi dan dengan kepala dingin.
Setelah makan malam, dengan kecanggungan yang memenuhi meja makan, Sera memberanikan diri berbicara dengan ayahnya. Dimulai dengan permintaan maaf, yang kalau boleh jujur, sangat berat hati ia katakan. Menurut Sera, itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Lalu percakapan dilanjut dengan permohonan Sera yang sungguh ia utarakan dalam nada paling memelas yang ia bisa.
Percakapan yang untungnya berlangsung kondusif itu banyak diisi dengan ceramah Erik yang lebih panjang dari jalur Anyer-Panarukan. Sera bahkan harus mati-matian menahan mulutnya untuk tidak ceplas-ceplos. Khotbah panjang itu berakhir dengan helaan napas Erik.
"Jadi, boleh kan, Pa?"
"Kalo Papa gak bolehin juga kamu bakal tetep pergi, kan?"
Sera cuma terkekeh canggung. Iya sih, pikirnya. Tapi setidaknya sekarang Sera bisa lega. Izin sudah ia dapatkan. Ia benar-benar akan keliling dunia setelah ini. Juga yang tak kalah penting, pertemanannya dengan Aruna tidak akan berakhir karena ini.
Gadis berkacamata itu lalu kembali masuk ke kamarnya. Setelah melompat girang ke atas kasurnya, Sera lalu menatap layar ponsel yang menampilkan sekelompok lelaki berwajah oriental.
"Oppa, naega ganda!" pekik Sera.
* * *
Hari ini Aruna bisa lebih lega. Akhirnya, temannya yang setengah waras (siapa lagi kalau bukan Sera) mendapat izin untuk pergi dari orangtuanya. Aruna bersumpah akan membuang paspor Sera ke TPA sehari sebelum keberangkatannya supaya gadis itu tidak bisa pergi.
Gak tau ya, tapi rasanya pergi tanpa restu itu enggak banget buat Aruna. Termasuk jika itu restu dari orangtua teman seperjalanannya. Siapa tau kan, Aruna jadi kecipratan azab gara-gara ia membantu teman menjadi durhaka.
"Hari ini lebih cerah kayaknya, Kak."
Aruna yang sedang merapikan jejeran keramik di Sun Up berhenti sejenak untuk menengok ke pintu kaca rukonya. "Enggak ah, mendung gitu, Sya."
"Bukan cuacanya, tapi muka Kak Aruna yang keliatan lebih cerah."
Aruna terkekeh malu sambil menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. Ia menatap Nesya, karyawan paruh waktunya, dengan senyum antusias. "Kayaknya aku beneran bakal pergi tahun depan. Aku sama temen-temen udah dapet ijin soalnya."
"Wah, enak banget. Oleh-oleh buat aku jangan lupa ya, Kak," goda Nesya yang langsung di-iya-kan Aruna.
Buat Aruna, Nesya sudah seperti adiknya sendiri. Apalagi Nesya seumuran dengan adik bungsunya. Walaupun statusnya adalah karyawan, tapi tiap di dekat Nesya rasanya Aruna seperti sedang menjaga Adit dalam versi perempuan.
Nesya juga jadi orang kepercayaan Aruna. Pekerja paruh waktunya memang tidak sebanyak itu juga. Selain Nesya, ada Kanin, Nindy juga Beno yang membantunya. Tapi hasil kerja Nesya juga keramahannnya membuat Aruna yakin Nesya bisa dijadikan tangan kanannya.
"Oh iya. Kak Nana jadi ikut pameran awal tahun nanti?"
Aruna berpikir sejenak. Ia tahu pameran yang dimaksud Nesya adalah acara yang rutin digelar tiap tahunnya. Pameran itu cukup digemari terutama oleh para pegiat seni rupa dan literasi.
Selain pameran dan workshop, acara itu juga jadi salah satu ajang unjuk gigi bagi para sastrawan muda yang ingin memperkenalkan karyanya karena biasanya juga dihadiri tamu-tamu yang prestisius.
Aruna pernah jadi yang beruntung saat lukisannya berhasil menarik salah satu pemilik restoran mahal di Bali. Selain lukisannya akan dipajang di resto berpredikat Michelin Star, Aruna juga dapat kesempatan untuk bisa dinner gratis di sana.
"Iya. Tolong kamu urus pendaftarannya ya, Sya."
"Oke, kak."
Tring.
Tepat setelah itu, pintu kaca Sun Up terbuka, menampilkan sosok Keano yang tampak santai dengan kaus dan jeans. Nesya jadi yang pertama menyapa.
"Hai, Kak Keano!"
"Hai, Nesya. Halo juga, Bu Bos." Keano menyapa dua gadis di depannya, sembari menaruh tangannya di pucuk kepala Aruna.
"Kak Keano ngapain ke sini?" tanya Nesya.
"Mau makan keluar sama Nana. Lagi gak sibuk kan?"
"Enggak sih."
"Kalo gitu Arunanya bisa gue pinjem dulu dong?"
Nesya hendak menanggapi pria di hadapannya itu, tapi kunci mobil yang sedari tadi Keano mainkan terjatuh. Menciptakan denting khas antara lantai dan logam yang beradu. Nesya dengan sigap memungut benda itu. Atensinya sempat terpaku pada gantungan kunci berbentuk 'N' yang diresin, sebelum akhirnya menyerahkan kunci itu pada si pemilik.
Keano buru-buru memeriksa kondisi gantungan kuncinya. "Waduh, gak pecah kan ini N-nya."
"Enggak kok, Kak. Khawatir amat?"
"Aruna made this. The 'N' is for Nana." Jawab Keano agak berbisik. "Kalo sampe ini pecah, hubungan gue sama Aruna kayaknya yang bakalan end."
"Gak sampe end sih. Paling ngambek seminggu aja." Aruna yang tiba-tiba menimpali percakapannya membuat Keano hanya bisa nyengir kuda.
"Udah siap, babe?"
"Gausah bab beb bab beb. Udah dibilangin itu kalo kamu lempar-lempar terus bisa pecah beneran."
"Iya, iya. Ayo cabut."
"Sya, titip Sun'Up ya. Kalo ada apa-apa chat aja."
"Iya, Kak. Hati-hati."
Bel pintu kembali berbunyi. Menyisakan sepi dan sorot mata dengki bagi Nesya. Menatap kepergian dua sejoli di kejauhan sana. Berharap untuk sedikit saja, ia bisa merasakan hal yang sama.
* * *
Namanya juga hidup, ada manis ada pahitnya. Tapi, masa iya semesta sepelit itu menaburkan gula di hidup Sera. Ibarat makan di warteg, menu pendamping untuk Sera tuh kayaknya cuma sayur pare yang amit-amit pahitnya.
Baru juga kemarin ia menyatakan kalau rumahnya sudah jadi zona aman. Iya, kan udah ngomong baik-baik sama Papa dan dapet izin pula. Sekarang gadis berkaca mata itu masih harus menghadapi suasana panas di ruang rapat.
Siapa juga yang gak mendidih kalau tiap ada kesempatan selalu direndahkan? Oleh orang yang sama pula.
"Susah sih ya, kalau masuk sini modal orang dalem. Yang dipunya koneksi aja, skill-nya nol."
Tidak perlu dipertanyakan lagi, kalimat tersebut jelas dilontarkan oleh the one and only Yang Mulia Darwin. Keadaan Sera? Terpantau siap menyerang.
Dari seberang, Mira sudah harap-harap cemas. Ruang rapat terasa sangat tegang. Rasanya, jika diantara bos dan bawahan itu ada yang buka mulut lagi, maka ajang adu mulut adalah hal yang mutlak.
Mira dibikin ngeri saat juniornya itu malah menarik salah satu ujung bibirnya. Ditambah tawa sumbang yang sarat akan nada merendahkan. "Situ kali yang skill-nya minus."
Mira tidak tahu apakah Sera memang sengaja memperpanas keaadaan atau tidak. Karna kalau iya, maka ia berhasil.
"Apa kamu bilang? Coba bilang dengan lantang. Jangan kamu pikir saya gak denger ya! Kamu pikir saya tuli apa?"
'Enggak tuli, cuma bossy', bisik Sera dalam hati. Tapi untungnya, kata maaf adalah yang selanjutnya terlontar dari mulut gadis itu.
Rekan-rekan sedivisinya lalu menghela nafas lega. Berpikir bahwa masih ada kewarasan yang tertinggal dalam diri junior mereka. Namun sayang, mereka salah. Kata maaf itu hanyalah pembuka dari rentetan protes Sera.
"Gimana saya bisa berkembang kalau bapak selalu menjatuhkan saya? Dari pertama kali saya masuk kerja, Bapak gak pernah terlihat mendukung saya. Oke, saya anak baru lulus. Tapi bukannya itu berarti saya butuh bimbingan? Bukannya malah kritik gak membangun kayak apa yang selama ini Bapak lakukan."
"Lihat kan kalian? Baru kemarin bikin keributan, sekarang mulai lagi." Kata Pak Darwin yang ditujukan untuk karyawan lain. "Anak jaman sekarang memang gak punya sopan santun. Judulnya aja lulusan Amerika, tapi selain itu? Gak ada yang bisa dibanggain."
Sera spontan menghela napas kasar. "Kenapa sih Bapak nih selalu bawa-bawa soal saya yang lulus dari Amerika? Emang saya punya dosa apa sih sama Bapak? Emang Amerika punya dosa apa sama Bapak? Client kita juga banyak kok yang dari Amrik?"
Pak Darwin hanya memandang Sera dengan dingin. Senior Sera yang lain? Ada yang sudah bosan dengan perdebatan di depannya dan hanya menonton sambil menyeruput kopi kemasan. Tapi tidak sedikit juga yang larut dalam situasi sengit itu.
"Dan satu lagi, saya bisa masuk ke sini bukan karna orang dalem. Silahkan bapak tanya HRD atau siapa pun itu. Permisi." Lalu begitu saja, Sera pergi meninggalkan ruang rapat.
Sementara rekan-rekannya yang lain membubarkan diri dengan tenang, Mira justru heboh sendiri. Ia sibuk menerobos antrian orang-orang yang juga ingin keluar di pintu ruang rapat. Dengan cepat ia menyusul juniornya itu. Takut saja kalau Sera sampai melakukan tindakan impulsifl. Mengacak-ngacak meja kerja Pak Darwin atau memecahkan pintu kaca, misalnya.
Mira berakhir mendapati Sera masuk ke kamar kecil wanita dan saat ia ikut masuk, perempuan berkemeja itu hanya mendapati dua perempuan lain yang sedang touch up di depan kaca. Detik selanjutnya, teriakan nyaring dari salah satu bilik kamar mandi sukses membuat tiga perempuan lainnya kaget bukan kepalang. Lipstick salah satu karyawan tadi bahkan sampai melenceng jauh ke pipi.
Buru-buru dua perempuan tadi keluar dari kamar mandi melewati Mira yang hanya bisa tersenyum canggung. Karyawan yang lipsticknya keluar jalur bahkan tidak merasa perlu repot-repot untuk menyembunyikan rasa kesalnya. Mira bisa mendengar makian dari orang yang berjalan sambil mengelap pipinya tersebut.
Setelah dipastikan kamar mandi sudah kosong, Mira langsung menggedor satu bilik yang terkunci. "Se!"
Cukup satu panggilan dan pintu bilik terbuka. Menampakkan wajah gadis berambut sebahu dengan bibir yang dikerucutkan. Kalau gak ingat ini lagi di kantor, rasanya Mira mau menyiram wajah Sera dengan air seember penuh.
"Lo teriak-teriak segala, emang ini di hutan apa?!"
"Bisa jadi. Tuh babonnya tadi ada di ruang rapat."
"Hus, mulut lo lempeng banget. Selain atasan, dia juga orang tua. Gaboleh gitu."
"Selain bawahan, gue juga manusia. Dia juga gak boleh gitu."
Mira lalu menghela napas. "Iya, gue ngerti. Namanya ini dunia kerja, orang kayak gitu mah ada aja. Lo harus banyak sabar."
Sera lalu berjalan ke arah wastafel dan membasuh wajahnya dengan tidak santai. Dengan air yang masih menetes di wajah, Sera lalu membalik tubuhnya dan menghadap Mira.
"Mbak."
Mira mengerutkan keningnya risih. Entah itu karena Sera yang menatapnya dengan sangat serius atau karena air yang terus menetes dari wajah juniornya. "Pa'an?"
"Fix, gue mau resign."
Sampai di tahap ini, Mira sebenarnya sudah tidak kaget lagi mendengar kata 'resign' dari mulut Sera. Entah sudah berapa kali Sera mengatakan ingin berhenti bekerja, tapi tetap saja ia datang ke kantor tiap hari.
Melihat Mira yang tidak merespon membuat Sera kembali berbicara. "Serius, Mbak. Jinjja, jongmalyo. Gue jadi pergi jelong-jelong. Bokap udah ngasih ijin. Setengah tahun lagi kali gue berangkat."
"Serius?"
Sera lalu menganggukan kepala dengan antusias, membuat sisa air yang ada di wajahnya berjatuhan. "Eh, airnya nyiprat kemana-mana, Se!"
"Hehe, mianhae."
Setelah itu, Sera berbalik mengambil tissue yang tersedia untuk mengelap wajahnya. Dari pantulan cermin, ia bisa melihat raut muka Mira yang berubah murung.
"Ih, Mbak, jangan lesu gitu dong mukanya. Gue tau sih gue emang ngangenin. Lo boleh kok nelpon gue kalo lagi kangen, atau vidcall kalo lo kangen ngeliat senyum gue yang secerah mentari ini."
Mira memutar bola matanya sebal dan berjalan keluar meningggalkan Sera. "Sorry, mending gue vidcall-an sama cowo gue. Bye."
Sementara Sera yang ditinggal sendirian di dalam kamar mandi hanya mendengus pasrah. "Hhh, jomblo kayak aku bisa apa? Bisa iri lah."