"Lo ngajak si Adelio ke sini?" tanya Sera.
Saat ini Sera dan Yora ada di Jakarta Convention Center dalam rangka menyemangati Aruna yang juga ikut memamerkan karyanya di acara tahunan ini. Mendengar pertanyaan Sera, Yora pun mengikuti arah pandang sahabatnya. Sera benar, ada Adelio yang sedang melihat lihat buku beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
"Wah, gila. Emang bener kata pepatah, kalau jodoh gak ke mana."
Sera berjalan mengikuti Yora yang hendak melihat buku di dekat Adelio. Lalu seperti dugaan, dengan pura-pura terkejut Yora menyapa pria yang baru pertama kali mereka temui tempo hari itu.
"Eh, Mas Iyo! Ketemu lagi kita."
Sera berdecih di belakang. "Mas Iyo katanya. Sok akrab amat," bisik Sera dalam hati.
"Eh, iya… Liora sama Sera kan ya?"
"Iya!" jawab Yora, girang karena ternyata Adelio masih mengingatnya. "Mas Iyo di sini ikut pameran juga apa cuman liat-liat?"
"Liat-liat aja. Kalian? Ah, saya tebak, Aruna di sini juga untuk lukisannya?"
Tebakan Adelio dibenarkan Yora, lalu secara spontan gadis itu mengajak Adelio ke tempat Aruna berada. Ide yang buruk menurut Sera, karna setaunya, Keano juga akan datang hari ini.
Aruna terlihat terkejut saat melihat Adelio datang bersama dua sahabatnya, tapi tetap berusaha seramah mungkin pada pria itu. Bagaimana pun, Adelio adalah orang baik.
Aruna sedang asik menjelaskan tentang lukisannya pada Adelio waktu Keano datang. Senyum Keano langsung lenyap ketika menyadari sosok yang sedang Aruna ajak bicara adalah cowok yang pernah menggandeng tangan pacarnya di mall.
Keano gak mau terdengar seperti pacar yang posesif. Ia tidak masalah dengan siapa Aruna berteman. Cowok itu sadar ia hanya pacar, sahabat lawan jenis dengan rasa yang lebih.
Tapi, ayolah! Cowok ini, si Adelio, kenapa mereka jadi sering bertemu? Pertemuan pertamanya dengan Adelio sudah memberikan kesan yang buruk, dan sekarang mereka justru kembali bertemu. Apa dunia memang sesempit itu? Atau jangan-jangan Aruna juga yang mengundang dia?
Ada banyak pertanyaan dalam benaknya, tapi Keano memilih untuk diam. Cowok yang sudah dipacari Aruna kurang lebih empat tahun itu memutuskan untuk berkeliling, memotret lukisan juga suasana pameran dengan kamera yang sedari tadi tersampir di bahunya.
Sera sudah hilang entah kemana. Mungkin sedang asik memilih buku untuk dibeli di sudut lain dari aula gedung itu. Aruna terlihat sedang menjelaskan tentang lukisannya kepada dua orang asing yang baru menghampiri.
Adelio juga ikut mendengarkan, dengan Yora yang juga masih betah berdiri d isampingnya. Entah Adelio sadar atau tidak, tapi Yora tidak bisa berhenti untuk tidak curi-curi pandang.
Sekitar lima belas menit kemudian Keano kembali ke tempat Aruna. Adelio terpantau sudah lenyap dari TKP. Baguslah, pikir Keano. Tadinya cowok itu berniat duduk untuk mengistirahatkan kakinya, tapi perhatiannya tersita oleh Nesya yang tampak sedang menahan sakit.
"Sya, are you okay?"
Nesya yang sedang duduk di bangku yang memang tersedia untuk peserta pameran itu kaget saat mendapati Keano di sampingnya. "Eh, Kak Ken. Iya, gapapa kok."
Aruna yang tadinya mengobrol dengan Yora langsung ikut menghampiri. Nesya terlihat lemas dengan posisi duduk yang agak membungkuk.
"Kenapa?" Aruna kaget melihat wajah Nesya yang pucat. "Yaampun, kamu pucet banget! Udah sarapan belum?"
"Udah, Kak. Perut aku sakit, mmm… lagi dapet soalnya." Nesya menjawab dengan malu-malu karna ada Keano juga di sana.
"Mau dibeliin obat? Atau minta panitia bikinin teh anget?"
Pertanyaan Keano barusan tidak hanya mengejutkan Nesya, tapi juga Aruna dan Yora. Terutama sekali Aruna.
Gadis berkulit pucat itu tau benar pacarnya adalah pria yang baik. Dari zaman kuliah, Keano memang supel, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Tidak heran banyak cewe-cewe yang nyaman sama Keano, salah satu hal yang membuat Aruna sempat insecure. Dan sekarang, melihat bagaimana Keano memberi perhatian pada Nesya membuat Aruna tidak nyaman.
Oke, Aruna mungkin pernah bilang kalau ia sudah menganggap Nesya seperti adiknya sendiri. Tapi, tetap Nesya adalah orang asing. Nesya tidak seperti Sera dan Yora yang sudah bermain bersama Aruna bahkan sebelum mereka tau apa itu arti bermain.
Nesya menolak saran Keano. Berkata kalau itu tidak perlu. Pertanyaan Keano selanjutnya justru membuat Aruna tambah mengernyit.
"Mau dianterin pulang aja? Gue anterin, muka lo pucet banget." Keano mendongak menatap Aruna, "Gapapa kan, Na, kamu sendiri? Minta Kanin atau Nindy kesini aja bisa kan? Atau enggak si Beno, nanti aku telponin."
Aruna jelas kesal dan Yora sadar akan hal itu. Yora tadinya mau menawarkan diri mengantarkan Nesya demi menjaga kesatuan dan kedamaian hubungan Aruna dan Keano. Tapi, seruan Sera mendadak menginterupsi.
"RA, ANTERIN GUE SEKARANG! Bokap gue pingsan, masuk IGD."
* * *
Yora sedang duduk di kursi tunggu rumah sakit sekarang. Begitu Sera bilang papanya masuk rumah sakit, gak pake lama Sera dan Yora langsung bergegas menuju parkiran.
Tadi pagi memang mereka berangkat menggunakan mobil Yora. Jadi wajar saja jika Sera spontan menarik Yora untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Yora sendiri tidak tau bagaimana kelanjutan drama Aruna, Keano dan Nesya. Yang ia yakini sekarang adalah aura gelap sedang mengelilingi Aruna.
Lamunan Yora buyar saat kursi panjang yang didudukinya sedikit bergoyang, menandakan ada yang duduk di dekatnya. Itu Sera. Ada helaan napas yang keluar sesaat setelah ia mendaratkan bokongnya di kursi.
Gadis itu sibuk bolak balik selama setengah jam terakhir untuk mengurus administrasi rumah sakit. Katanya asam lambung Erik naik cukup tinggi dan dokter menyarankan untuk diopname dulu. Erik sempat menolak tapi bujukan yang hampir jadi ajang debat di IGD tadi dimenangkan oleh Sera sehingga mau tidak mau Erik menurut.
"Udah?" tanya Yora.
"Udah, tinggal nunggu kamar."
"Kenapa si Om?"
"Biasa, overworked. Lupa makan, lupa waktu, lupa diri… stress?"
Sera tidak bilang apa-apa, tapi Yora dapat melihat gadis itu lebih layu. "You should be nicer to your dad. He's your dad afterall."
"Lo membuat gue terlihat kayak gue adalah penyebab bokap gue tumbang."
"Kita adalah alasan orangtua kita berjuang untuk hidup. Kita alasan mereka bahagia, dan kita juga adalah alasan mereka stress."
Sera terkekeh pelan. Tidak ada penolakan karna ia setuju dengan apa yang Yora katakan.
Tidak lama kemudian seorang perawat menghampiri mereka, menginformasi bahwa Erik sudah dipindahkan ke kamar inap dan boleh dijenguk. Sera dan Yora lalu beranjak menuju kamar inap Erik, berjaga-jaga siapa tau pria paruh baya itu butuh bantuan.
Fani yang sempat pulang untuk mengambil keperluan suaminya itu kembali saat langit sudah gelap. Ia mengucapkan terima kasih pada Yora yang jadi ikutan repot dan menyuruh dua gadis itu pulang.
"Mama gapapa sendirian di sini?" tanya Sera saat ia, ibunya juga Yora sudah berada di luar kamar.
"Ya gapapa lah. Udah sana kalian pulang. Kasian tuh Yora, jadi dikerjain di rumah sakit sampe malem."
Sebenarnya Sera sudah menyuruh Yora pulang dari tadi siang. Tapi, gadis itu ngotot untuk tetap menemani Sera. Memang untuk urusan kesetiaan pada sahabat, Yora itu nomor satu. Tapi, kalau urusan komitmen dengan cowok, itu beda lagi.
Tidak seperti biasanya, suasana perjalanan mereka sepi obrolan. Sera lebih banyak diam hari ini dan Yora paham alasannya. Biarpun sering selisih paham, Sera masih sangat sayang dan menghormati ayahnya. Melihat sosok ayah yang biasanya tegas harus terbaring dengan jarum infus di tangan pasti aneh rasanya.
"You okay?"
Tidak ada jawaban.
"Se, you okay?"
Masih nihil. Maka dari itu, dengan tangan kanan yang masih menyetir dan tangan kiri yang bebas, Yora memukul bahu Sera sekuat tenaga.
"ANJIR, SAKIT KAMPRET!" protes Sera seraya mengelus bahu kanannya.
"Abis dipanggil dari tadi gak nyaut."
"Pa'an?!" tanya Sera, masih ngegas.
"Are you okay?" tanya Yora, mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya.
"I was! But then you hit me!"
"Hehe, sori."
"Gak di-sori-in!"
Hening lagi. Sera masih cemberut sambil mengusap-ngusap bahunya. Terjebak macet dalam hening begini rasanya asing. Lalu tak lama, Yora kembali bersuara.
"Se?"
"Hm."
"You know, if you have something to tell or someone to talk to, gue siap jadi pendengar."
Sera menengok ke kanan, mengernyit bingung. "Kenapa nih tiba-tiba? Ada maunya ya?"
Yora tertawa dengan pandangannya yang masih fokus ke depan. "Ya gapapa dong, sekali-sekali gue mau jadi teman yang berbakti."
"Malaikat pencatat akhlak baik lo bisa terheran-heran ngeliat lu tobat begini."
"Bagus dong berarti. Semakin banyak pahala, semakin banyak juga doa gue yang dikabulin."
"Kayak pernah berdoa aja," timpal Sera sambil melengos.
"Gue rajin doa ya! Jangan salah lo."
"Contohnya?"
"Memohon semoga gue berjodoh sama Mas Iyo," jawab Yora seraya menyatukan kedua telapak tangannya sepersekian detik sebelum kembali memegang kemudi.
Sera memutar bola matanya, jengkel. "Emangnya lo yakin dia masih single?"
"Emang dia udah punya pacar?" Yora balik bertanya.
"Ya, lo pikir aja. Secara body dia oke, tampangnya gak usah ditanya lagi. Dia keliatan baik. Dari caranya ngomong, even ke Kak Ken yang jelas-jelas selek sama dia, dia tetep berusaha sopan. He's a well mannered guy with a good looking face, plus keliatannya berduit. Akan jadi terlalu sempurna kalo dia juga masih single di umur yang udah cukup matang kayak gitu," jelas Sera. "Yah, kecuali dia gay."
Yora langsung menengok. "MASA IYA CAKEP-CAKEP GITU HOMBRENG?"
"Sorry sis, but I think he's gonna be too good to be true buat lo."
Yora manyun. Tidak, Yora tidak marah dengan perkataan Sera. Gadis itu tau maksud Sera adalah supaya ia tidak terlalu berharap pada sesuatu yang tidak pasti.
Tapi mau bagaimana lagi? Yora sudah keburu kepincut dengan pesona Adelio walaupun terhitung baru dua kali mereka bertemu. Itu juga karna kebetulan.
Kalau Yora bisa bertemu Adelio lagi untuk yang ketiga kalinya, fix Yora bakal dapat piring cantik.