Yora jengkel banget. Tadi ia minta ayahnya untuk menjemput sepulang kerja karna mobilnya sedang di bengkel. Tapi, bukannya ayah atau supir, malah Romeo yang datang menjemput.
Gadis dengan rambut lepek karena keringat itu bahkan tidak perlu melihat siapa yang menjemputnya. Siapa lagi kenalannya yang akan mengendarai mobil ceper berlogo banteng di jalanan ibu kota yang padat merayap ini?
"Ayo masuk," teriak Romeo dari dalam mobil yang kaca penumpangnya diturunkan.
"Enggak. Gue udah minta bokap jemput."
"Iya, tau. Tadi pas lo telepon, gue juga di situ. Calon mertua, maksudnya Om Herman masih ada rapat. Jadi gue bilang gue aja yang jemput lo."
Yora sempat mual saat Romeo memanggil ayahnya dengan sebutan 'calon mertua'. Dengan terpaksa ia masuk ke mobil. Suasana malam yang gelap dan sepi membuatnya tidak mempunyai pilihan lain.
"Pake seatbelt-nya dulu. Apa mau dipasangin?"
Romeo sudah beranjak dari posisinya dan hendak membantu Yora memakai sabuk pengaman, layaknya adegan manis di drama-drama. Tapi bukannya tersipu, Yora justru kesal setengah mati. Dengan tasnya, ia mendorong wajah Romeo menjauh.
"Ih, apaan sih lo?! Dipikir gue bocah apa? Gak usah modus deh."
Romeo yang kaget karna wajahnya barusan bersilaturahmi dengan tas Prada hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kalo gue liat di drakor-drakor, cewenya pada seneng kalo digituin," tutur Romeo sambil mulai melajukan mobilnya.
"Iya kalo cowonya Lee Minho. Lo Lee Minho?"
"Tapi gue gak kalah ganteng sama dia."
Yora berdecih, tak habis pikir. Apa cowok di sampingnya ini tidak pernah berkaca? "Ngomong kayak gitu di depan Sera dan lo bakal dicabik-cabik."
Romeo langsung diam saat nama Sera disebut. Mereka pernah beberapa kali bertemu dan Romeo dapat menyimpulkan bahwa Sera jauh lebih berbahaya daripada pujaan hatinya, Yora
"Ngomong-ngomong, sekarang lo punya side job? Jadi guru nari?"
Tadi Romeo memang sempat bingung karena Herman memberikan alamat asing untuk menjemput anak semata wayangnya itu. Bukannya kantor atau pabrik mereka, Romeo malah diarahkan ke sebuah komplek perumahan yang merupakan studio tari milik teman Yora.
Yora yang tidak tertarik dengan percakapan itu hanya berdeham saja sambil bermain handphone. Tapi sayangnya Romeo terlalu gigih untuk tidak bercengkrama dengan gadis Hanarta tersebut.
"Kata Papi, lo punya side job buat nambahin uang liburan lo. Mau keliling dunia ya?" Romeo tertawa sekilas sebelum melanjutkan "Ngapain pake cari kerja lagi sih? Kaya orang susah aja."
Yora yang merasa janggal dengan kalimat Romeo barusan lantas menurunkan ponsel dari hadapan wajahnya. "Siapa yang lo maksud 'Papi'?"
"Papi lo, Om Herman."
"Itu bapak gue, bukan bapak lo. Gak usah manggil-manggil Papi!" kata Yora memperingatkan.
"Yaaa, kan nanti bakal jadi bapak mertua gue juga."
Yora hampir mau menjedukkan kepala Romeo ke jendela kalau saja ia tidak ingat lelaki itu sedang menyetir. "Tolong kalo ngehalu tuh tau batas. There's no way I'm gonna marry a narcissistic like you."
"Gue bukan narsis, tapi emang faktanya gue punya segalanya. Thus, we belong for each other."
Yora tertawa sarkas mendengar ucapan Romeo Beckham ketiban beringin di sampingnya. "There are many different things between you and me. One of them is that I fight for my own place. I might not that smart and yes, I have the privilage for where I am now. But still, gue bukan kayak lo yang tinggal menikmati."
Yora kembali menyandarkan punggungnya di jok mobil. "Lo mungkin punya segalanya. Harta, kekayaan, jabatan. Tapi itu gak selalu jadi penentu kualitas seseorang. Lo terlalu banyak bacot, terlalu merasa superior. Banyak orang yang lebih sukses dan lebih cakep dari lo but still down to earth."
Kata-kata Yora sukses membuat Romeo diam seribu bahasa. Lelaki itu tidak tau harus membalas bagaimana. Sisa perjalanan diisi dengan diam. Bahkan suara radio pun tidak terdengar.
Ada sedikit rasa canggung yang menghampiri. Dalam hati, Yora bertanya apakah ia terlalu berlebihan? Tapi orang seperti Romeo nih memang harus disadarkan.
Untungnya, jalanan sedang lenggang. Mereka tiba di rumah Yora kurang dari sepuluh menit kemudian.
Tepat saat Yora ingin membuka pintu, tangannya digenggam oleh Romeo, menciptakan sensasi horror luar biasa bagi Yora. Apalagi saat kedua mata mereka bertemu. Gadis dengan highlight coklat di rambutnya itu pun otomatis melepaskan tangannya dari genggaman Romeo.
Ia buru-buru turun seperti habis melihat hantu, namun sekali lagi tertahan. Kali ini karna pertanyaan Romeo, yang menurut Yora sudah jelas jawabannya. "Apa gue gak punya kesempatan? I'll try my best. I'll give you anything you want. Tapi please, kasih gue kesempatan, Ra."
"Romeo Ramana, you are definitely not my type. Give me anything I want? Do I have to remind you that everything you have now are belong to your parents' hard work?"
Yora sebenarnya ingin segera masuk ke dalam rumah, tapi sepertinya bocah gemblung dihadapannya ini masih harus diberi penjelasan. "Gini ya boy, gue kasih tau. I don't like you, periodt. Jadi stop sok deket sama gue seakan kita punya hubungan spesial. Start looking for new someone. Move on! Oke?"
Lalu dengan begitu saja Liora turun dari mobil, membiarkan Romeo yang masih terdiam dengan ekspresi wajah yang sarat akan patah hati. Tidak lupa Yora mengucapkan terima kasih sebelum akkhirnya menutup pintu mobil.
"Makasih ye. Sukses cari jodohnya!"
* * *
Kemarin Nesya menelepon, katanya ada seseorang yang tertarik untuk membeli ruko milik Aruna. Setelah janjian lewat pesan, Aruna dan si calon pembeli sepakat untuk bertemu di Sun Up cabang Kemang. Mereka sempat melihat bersama kondisi ruko tersebut dan berdiskusi soal harga.
Aruna pikir pertemuannya hanya akan berakhir sampai di situ saja. Tapi ternyata si calon pembeli, yang ternyata seorang pria dan punya wajah rupawan, berbaik hati mengajak Aruna makan siang bersama.
Sebenarnya Aruna ingin menolak, tapi ia pikir kalau ia bisa lebih ramah kepada si calon pembeli ini, mungkin ia bakal langsung setuju untuk membeli rukonya. Jadilah mereka berdua pergi ke restoran yang katanya jadi favorit cowok tersebut. Restoran itu ada di salah satu mall yang terletak di Jakarta dan memang cukup terkenal.
Saat tiba di lantai dasar, suasana cukup ramai karena ternyata sedang diadakan bazaar. Hal itu membuat Aruna sempat terpisah dengan calon pemilik rukonya yang baru. Lelaki yang sadar kalo Aruna sudah tidak ada disampingnya itupun dengan sigap mencari gadis tersebut yang ternyata terjebak di antara ibu-ibu yang mengerumuni stan kebaya.
Tidak mau Aruna kembali hilang dari pandangannya, cowok tersebut lantas menggandeng Aruna sepanjang jalan dan terus berlanjut bahkan saat mereka sudah tiba di lantai yang dituju. Mereka berdua sama-sama tidak sadar dengan tangan mereka yang masih terkait satu sama lain sampai suara berat seseorang yang Aruna kenal dengan baik menyadarkan mereka.
Itu Keano, dan dari caranya memandang Aruna tau kalau kekasihnya itu sedang tidak bersahabat. Matanya sempat tertuju pada tangan Aruna dan lelaki disebelahnya, membuat Aruna dengan cepat melepaskan genggaman mereka dan dengan terburu mendekati Keano.
"Hai, Ken. Lagi apa?"
"Gak lagi jalan sama cewek asing yang jelas." Jawaban Keano cukup menohok dan Aruna mengerti alasannya.
"Ken, ini Adelio, yang mau beli ruko aku." Aruna berusaha menarik Keano mendekat agar bisa berkenalan dengan Adelio, calon pemilik rukonya yang baru. Adelio sudah mengulurkan tangan tapi sayangnya Keano terlalu jengkel untuk sekedar berjabat tangan dengan sosok asing yang baru saja menggenggam tangan kekasihnya.
"Ini calon pembeli?" tanya Keano yang langsung dijawab dengan anggukan pasti oleh Aruna.
"Calon pacar juga?"
"Ken! Kok gitu sih?" Aruna mengernyit sebal. "Aduh maaf ya, Mas Adelio. Ini Keano, pacar saya. Ken, ayo dong kenalan!"
Adelio yang cukup mengerti dengan situasi di depannya itu lantas menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dengan canggung, ia mendekati sepasang kekasih di hadapannya itu dan berusaha berbicara dengan Keano.
"Hai. Sorry yah, saya nggak maksud untuk pegang-pegang tangannya Aruna. Please, kamu jangan marah sama dia."
Mendengar cowok itu ikut bicara, Keano pun menengok ke arahnya. "Emang gue niatnya mau marah sama lo."
"Ken!" Aruna ingin segera mengakhiri perdebatan ini sebelum mereka jadi tontonan gratis pengunjung mall. Maka dengan tidak enak hati, ia membatalkan acara makan siang mereka. Untungnya Adelio mengerti dan segera beranjak dari situ.
"Pake makan berdua juga??"
"Ih, kamu tuh malu-maluin aja sih. Kalo dia ilfeel terus gak jadi beli ruko aku gimana?"
"Dia mau beli ruko apa PDKT sama yang punya? Gak ada hubungannya. Ngapain pake ilfeel segala."
Aruna menghela napas berat, berusaha sabar. "Something happened downstairs, makanya tadi dia pegang tangan aku. Buat nolongin aja, gak ada niat lain," jelas Aruna dengan emosi yang ia tahan.
Keano hanya menunduk, menatap ke arah Aruna, yang jelas lebih pendek darinya, dengan ekspresi tidak suka yang tidak ia coba sembunyikan. Kalau ini adegan drama, mungkin cameraman-nya sedang berputar mengelilingi mereka dengan backsound dramatis.
Sayangnya ini bukan drama. Adegan tatap menatap itu harus terhenti karena seorang ibu dengan stroller bayinya yang mau keluar dari lift terhalang oleh pasangan tersebut. Iya, Aruna dan Keano sedang berdiri dekat lift.
"Permisi, Mas-Mbak. Stroller anak saya gak bisa lewat," kata ibu tersebut dengan lembut.
Aruna dan Keano pun langsung membuka jalan seraya meminta maaf pada ibu tersebut. Keduanya kompak dibuat terkejut oleh suara cempreng yang berasal dari belakang mereka setelahnya.
Tepat sebelum pintu lift tertutup, sebuah tangan muncul menghalangi pintu tertutup dan selanjutnya menampakkan dua sosok lain yang mereka kenal. Itu Sera yang keluar tanpa dosa sementara Yora menyusul dibelakang sambil menunduk meminta maaf pada pengguna lift lain karena temannya menghambat laju lift itu dengan tiba-tiba.
"Lain kali biasa aja kalo mau keluar lift ya, Setan. Malu-maluin aja lu." Omel Yora yang tidak begitu dihiraukan Sera. Sebaliknya, ia justru dengan riang menyapa pasangan di depannya.
"Wassup, uri couple! Lagi pecongan nih?"
"Pacaran maksudnya," jelas Yora yang paham dengan ekspresi tidak mengerti Aruna dan Keano.
"Ehm, gue ada urusan lain. Duluan ya." Dengan cepat Keano pamit undur diri, diikuti Aruna yang juga pergi ke arah berlawanan.
"Gue juga masih banyak kerjaan di Sun Up. See you."
"Loh loh loh, kok pada tercerai berai?"
Yora dengan iseng menyenggol pelan bahu sahabatnya. "Kamu belum pernah pacaran ya? Itu namanya lagi berantem."
Sera cemberut aja ditatap dengan wajah Yora yang meledek yang lalu nyelonong meninggalkannya. Mau marah, tapi emang fakta. "Hoi, tungguin!"