Sesudah makan malam, keluarga Hanarta memilih untuk bersantai di sofa besar yang berbentuk U di ruang keluarga mereka. Herman sedang menonton TV sementara istrinya lebih memilih menonton anak perempuan mereka bermain ponsel.
Sonya jelas masih kepikiran soal pembicaraannya tadi pagi, tentang rencana liburan cewe-cewe. Maka dari itu, dengan ekspresi jengkel yang tidak bisa ia sembunyikan, Sonya bertanya pada Yora.
"Liora, gak ada yang mau kamu omongin sama Mami?"
Yora yang duduk bersebrangan dengan orang tuanya itu mendongakan kepalanya-menatap Sonya-lalu menggeleng. Sonya yang tidak puas dengan jawaban yang didapat kembali bertanya. "Yakin? Gak ada yang kamu sembunyiin kan?"
Yora bingung apa yang dimaksud ibunya. Ia berpikir sejenak, berusaha mengingat kalau-kalau dia berbuat salah akhir-akhir ini. Tapi nihil, tidak ada hal penting yang ingin ia bicarakan jadi ia kembali menggelengkan kepalanya.
"Oh ya? Gimana soal rencana jalan-jalan keliling dunia selama setahun?"
Mendengar hal itu, fokus Herman yang sedang menonton berita terkini jadi teralihkan pada pembicaraan ibu dan anak disampingnya. "Hah, keliling dunia gimana?"
"Papi tanya aja tuh ke anaknya!"
Herman yang tidak mengerti arah pembicaraan keduanya lalu menoleh ke arah Yora, meminta penjelasan. Sementara gadis itu menghela napas, akhirnya paham apa maksud ibunya.
"Aku mau jalan-jalan. Sama Sera-Aruna."
"Kemana?" tanya Sonya sambil menyilangkan tangan di dada.
"Kayak yang Mami bilang tadi, keliling dunia."
Kedua orangtuanya lalu saling berpandangan dengan ekspresi ayahnya yang seperti 'Hah? Apani?' dan ibunya yang seperti 'Tuh kan. Apa aku bilang.'
"Ehmm, Liora, kamu serius?" tanya ayahnya yang masih ragu.
"Kita belum bikin plan atau booking apapun sih, baru wacana. Nanti kalo ada waktu kita obrolin lagi."
"Terus kenapa kamu gak omongin dulu sama Mami-Papi?" tanya Sonya lagi.
"Kan tadi aku bilang, masih wacana. Nanti kalo udah pasti juga aku bilang kok!" Yora jadi terbawa emosi juga mendengar bagaimana cara Sonya berbicara.
"Pastinya itu kapan? H-1 kamu berangkat?!"
"Menurut Mami aja."
"Emang kata siapa kamu diizinin pergi?" Kali ini Sonya bertanya dengan lebih pelan, tapi justru membuat atmosfir terasa lebih mencekam.
"Seriously? Aku bukan anak kecil yang harus selalu diatur ya, Mi!" Yora bangkit dari duduknya hendak pergi ke kamar namun batal sesaat setelah Sonya kembali berbicara yang membuat Yora mengepalkan tangannya menahan emosi.
"Semua kartu kamu Mami sita."
Yora lalu berbalik menghadap kedua orangtuanya. Ibunya duduk menyilangkan lututnya juga tangannya di dada seakan memberi kesan kalau ia lah yang berkuuasa, sementara ayahnya hanya bisa terdiam, bingung dengan permasalahan apa yang sedang didebatkan.
"Can you, just one time, let me do the thing that I wanna do, in my own way?" tanya Yora dengan penekanan di tiap katanya.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku tuh aku capek diatur-atur terus sama Mami-Papi!" jawab Yora dengan nada meninggi yang tidak hanya membuat kedua orangtuanya kaget tapi juga dirinya sendiri.
"Bisa gak sih kalian tuh kayak Mama-Papanya Aruna yang selalu dukung apa aja yang mau dilakuin sama anaknya? Atau seenggaknya kayak Mama-Papanya Sera, yang walaupun gak setuju tapi gak ngehalangin kemauan anaknya?" Oke, ralat. Yang terakhir itu mungkin memang Sera yang terlalu nekat. Mungkin dia harusnya jadi segila sahabatnya.
Ada jeda sejenak. Untuk sesaat, hanya suara TV yang hadir diantara mereka. Menyadari kehadiran suara mbak-mbak pembawa acara yang menginterupsi disaat yang tidak tepat ini, Herman lalu meraih remot control dan mematikan TV. Ia lalu mengajak dua perempuan yang disayanginya itu untuk kembali bicara dengan lebih tenang. "Liora, Nak, duduk dulu. Coba ya, jangan pake emosi. Kita omongin baik-baik" katanya. "Mami dengerin anaknya dulu."
Yora sedikit mendengus, tapi lalu kembali bicara. Kali ini dengan lebih tenang. "Aku mau jalan-jalan, sama Sera dan Aruna," kata Yora mengulang kalimatnya tadi. "Belum ada plan lebih detailnya, tapi setelah kita nanti ngumpul lagi buat ngobrolin ini juga dananya, kita pasti bakal berangkat." jelas Yora.
"Kamu yakin bisa jaga diri? Jujur aja, Papi takut ngelepas kalian bertiga di negeri orang, apalagi untuk waktu yang lama."
"Yakin, Pi. Kita kan udah gede. Lagian, bukannya ini udah masanya buat Papi sama Mami ngelepas aku buat mandiri? Gak selamanya aku dalam pandangan mata kalian terus kan?"
Baik Sonya maupun Herman tau apa yang dikatakan Yora itu benar. Tapi ide untuk membiarkan anak semata wayang mereka pergi dari rumah untuk waktu yang lama bukanlah hal yang mereka sukai.
Herman menghela napasnya lalu menjawab "Oke. Biar Papi sama Mami pikirkan dulu."
"Please..." rengek Yora. "Selama ini kan aku selalu nurut sama Mami-Papi. Kalian mau aku sekolah bisnis, aku sekolah bisnis. Kalian mau aku pegang perusahaan, aku coba. Tiap disuruh gantiin Papi ketemu mitra, aku gantiin, padahal aku udah ada janji." Cerocos gadis itu panjang lebar. "I even gave my dream up for you. Masa sekali ini aja gak boleh?"
Dalam hati Yora tersenyum lebar melihat bagaimana ekspresi kedua orangtuanya yang mulai berubah iba. Ada perasaan bersalah yang muncul dalam diri Herman dan Sonya. Selama ini, walaupun tidak pernah bereaksi keras terhadap kemauan mereka, suami istri itu juga sadar kalau bukan ini yang Yora inginkan.
Tapi sebagai orangtua, tentu mereka menginginkan yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Dan melanjutkan bisnis keluarga adalah jalan yang mereka pikir paling aman untuk sang anak. Persaingan itu pasti ada, tapi mereka paham bagaimana keluarga mereka dididik. Setidaknya Yora masih dalam lingkungan yang mereka kenal. Dan kata-kata Yora barusan seakan menggores hati mereka. Itu hanya sedikit dari keluh kesah yang Yora simpan selama ini, tapi cukup membuat mereka tercekat.
Sonya menghela napas dalam lalu merilekskan punggungnya yang sedari tadi dia tegapkan. Menatap wajah anaknya sebentar sebelum mengalihkan pandangannya ke sang suami. "Gimana?" tanyanya pelan.
Gantian Herman yang menghela napas tapi lalu memberikan jawaban. "Yah... yasudah. Liora memang pantas dapat liburan. Betul?"
"Betooll." Jawab Yora sedikit menundukkan kepala dan mengangkat jempolnya ke udara.
"Tapi inget ya, Liora, jaga diri. Jangan aneh-aneh!" Kata Sonya, mengingatkan.
"Ah she up!" Jawab Yora-yang sedang menahan euphoria dalam dirinya. Ia lalu mengucapkan terima kasih atas izin yang sudah ia dapat dan pamit undur diri ke kamar. Ingin rasanya Yora memeluk kedua orangtuanya, tapi masih terlalu gengsi mengigat sesi adu mulut yang sempat terjadi. Jadi sebagai gantinya, ia hanya mencium tangan kedua orangtuanya, mirip seperti anak SD mau berangkat sekolah.
Yora langsung loncat ke atas kasurnya dan membuka ponsel guna mencari grup percakapan dengan dua temannya ketika ia masuk ke kamar.
Para Bidadari Bumi (3)
Liora Hanarta: Alay bgt nama grupnya
Sera Tiono: It's a fact
Liora Hanarta: Kalo lo alay?
Sera Tiono: Kalo aku bidadari
Liora Hanarta: Ew
Sera Tiono: Gasuka aja lu berudu
Aruna J.: Ada apa nih?
Liora Hanarta: Nah ini baru bisa dibilang bidadari
Sera Tiono: :(((
Liora Hanarta: Kita kapan mau ngumpul lagi?
Liora Hanarta: Gue udah dapet ijin jelong-jelong nih
Aruna J.: Oh iya
Aruna J.: Sabtu besok mau?
Aruna J.: Papa mama gue juga udah ngijinin
Sementara di lain tempat, ada yang masih dilema.
Izin ya… Sera belum bilang apa-apa soal ini sih ke orangtuanya. Rasanya ia belum menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini. Tapi bukan Serafina Tiono namanya kalau tidak menyepelekan segalanya. Jadi, tanpa pikir panjang ia segera mengetikkan sebaris pesan singkat untuk teman-temannya.
Sera Tiono: Kuy lah! Sabtu besok di apart w