Sudah dua bulan lebih terlewati sejak acara kumpul-kumpul tiga sekawan di tempat Sera. Baik Aruna, Sera maupun Yora sibuk dengan urusan masing-masing, apalagi mengingat perlu kejar target biar bisa liburan yang memadai.
Kalau kata iklan Ramayana, kerja lembur bagai kuda.
Aruna sendiri sibuk mengurus ini itu beberapa minggu terakhir. Untungnya hari ini ia cukup senggang jadi gadis berkulit pucat itu memanfaatkan waktu luangnya untuk berkencan.
Oh iya, hampir lupa. Diantara trio kwek-kwek itu, yang hubungan asmaranya paling normal adalah Aruna.
Gak hanya hubungan asmara sih. Dari cari berpikir sampai tingkah laku, sepertinya Aruna yang paling normal.
Keano Abimanyu atau biasa dipanggil Ken. Ia adalah kakak tingkat Aruna waktu kuliah dulu. Aruna dan Keano ini bisa dibilang couple goals dan terkenal banget di masa kuliah.
Gimana enggak. Ceweknya cantik, anggun dan berbakat. Cowoknya ganteng, ramah, atletis pula. Banyak orang yang mengelu-elukan betapa pantasnya mereka bersama. Walaupun ada juga sih yang suka salty, apalagi ke Aruna. Ya, biasalah.
Aruna sedang duduk di sebuah gerai kopi sambil nonton drakor rekomen dari Sera saat tiba-tiba sebuah cup kopi diletakkan di dekat tangannya diikuti suara kursi yang ditarik. Gadis itu refleks mendongak dan tersenyum manis saat mendapati Keano yang hendak duduk.
"Seru banget sih kayaknya. Pasti lagi nonton Korea deh."
Aruna lalu terkekeh seraya menunjukkan layar iPad yang ia pegang ke arah sang kekasih. "Iya. Nih liat, cowoknya ganteng banget!"
Keano memiringkan sedikit kepalanya dengan wajah menilai, lalu dengan percaya diri menjawab. "Biasa aja. Masih gantengan aku."
Aruna hanya mampu memutar bola matanya malas karna tidak bisa menyangkal juga. Pacarrnya ini memang punya tampang kelas premium. Terbukti dari bisik-bisik juga lirikan centil dedek-dedek gemes yang masih berseragam SMA yang duduk di dekat mereka.
"Kenapa cowok cenderung ngerasa dirinya lebih ganteng dari cowok lain, sementara cewek seringnya insecure tiap ngeliat cewek cantik lain?" tanya Aruna.
"Then don't be. Kan kamu juga cantik."
"Iya kan aku cewek, kalo ganteng mah cowok."
"Nah, itu tau."
Aruna merenggut sambil meminum kopinya. Keano jadi gemas sendiri lalu dengan jahil mengacak-acak rambut gadis di depannya itu. Sesuatu yang mengundang jerit histeris tertahan dari kumpulan abg-abg di sekitar mereka.
Aruna semakin merenggut dibuatnya karna rambut gadis itu jadi berantakan, juga karna lirikan adik-adik cilik yang tidak lelah menatap kekasihnya. Sementara itu, perhatian Keano jatuh pada kantung plastik putih berlogo toko buku yang tadi sempat mereka sambangi.
"Kamu ngapain beli isi polaroid sebanyak itu? Mau buat giveaway?"
"Giveaway? Emang aku selebgram apa?" jawab Aruna sambil terkekeh.
"Ya terus itu buat apa?"
Aruna lalu tersenyum kelewat lebar sambil melipat tangannya di atas meja persis murid teladan. "Mmm, aku mau kasih tau sesuatu. Tapi jangan kaget ya!"
"Kamu mau jadi selebgram?"
Tanggapan lelaki itu membuat Aruna berdecak. "Ih, kok selebgram mulu sih. Bukan!"
"Terus apa?"
"Aku mau jalan-jalan."
Jawaban Aruna terasa menggantung, membuat Keano hanya bergumam dengan memasang wajah penasaran.
"Sama Sera-Yora."
"Ke?"
"Rencananya sih dari Singapur kita cruising ke Hong Kong. Terus lanjut Jepang, Korea, dan kalo bisa nyoba jalur Trans Siberian dari China ke Rusia. Udah gitu kayaknya lanjut ke Amrik dulu baru ke-"
"Wait, wait," sanggah Keano. "Ini kamu mau keliling dunia?"
"Kind of?"
Untuk sesaat, pria itu hanya mampu mengerutkan kening. "Yakin?"
Aruna lalu mengangguk dengan antusias. "Kurang dari setahun lagi, kita berangkat."
"Terus berapa lama itu rencananya?"
"Setahun sampe satu setengah mungkin."
"Jadi kita bakal LDR dong selama itu?"
Benar juga. Aruna tidak memikirkan itu sebelumnya. "Iya ya? Jadi kayak LDR."
"Awas aja kamu kalo dapet yang baru disana."
"Kamu juga ya! Awas aja macem-macem selama aku jauh. Nanti aku kirim Sera sama Yora buat nyakar kamu." Ancam Aruna tidak mau kalah, membuat kekasihnya bergidik ngeri.
Percakapan mereka terhenti saat satu panggilan masuk ke ponsel Aruna. "Wah, panjang umur. Baru juga diomongin, orangnya nelpon." Kata Aruna seraya memperlihatkan nama Sera yang terpampang di layar.
"Halo?"
" … "
"Boleh. Tumben, kenapa?"
" … "
"HAH?!"
Aruna lalu menutup panggilan telepon tersebut, mengabaikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya, termasuk Keano. Ia lalu bangkit berdiri sambil menarik kekasihnya dengan tergesa.
"Kita ke apartemen aku sekarang!"
* * *
Pagi ini Sera mengambil cuti. Sengaja, karena ia ingin memindahkan barang-barangnya dari apartemen ke rumah orangtuanya.
Kedatangannya mengundang heran sang mama. Selain karena Fani pikir ini adalah hari kerja, juga karna anak bungsunya itu membawa banyak barang. Di luar, dilihatnya truk pindahan yang isinya ia kenali sebagai barang-barang putrinya.
"Itu bukannya barang dari apartemen, Se?"
"Iya." Jawab Sera yang sedang sibuk bolak balik membawa barang. Fani lalu menahan lengannya dengan wajah heran.
"Kamu beneran bangkrut? Sampe jual apartemen?"
Sera lalu menghela napas dan mengajak ibunya duduk di meja makan, membiarkan mamang-mamang kurir yang bekerja.
"Sera mau ngomong. Tapi plis, Mama jangan marah."
"Kamu mau keliling dunia sama Yora-Aruna?"
Sera sontak terkejut mendengar kata-kata ibunya barusan. "Kok tau?! Gak seru ah."
"Ck, kamu tuh. Kebiasaan! Gak pernah ngasih tau. Kalo tante Nita gak cerita, Mama gak akan tau."
Oh, Sera lupa kalau ada tiga sekawan senior yang tidak pernah bisa menjaga rahasia di antara mereka. Banyak cerita memalukan lain yang harusnya cukup jadi rahasia antara ibu dan anak, yang berakhir jadi sarana hiburan ibu-ibu itu.
"Papa udah tau?"
"Ya kamu lah yang bilang. Kan yang mau pergi kamu, bukan Mama."
Sera hanya bisa menghela napas. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah menyusun kalimat dengan baik agar dapat meminimalisir percekcokan yang mungkin akan terjadi antara ia dan ayahnya.
Hubungan Sera dan ayahnya, entah sejak kapan memburuk. Sera juga tidak tau kenapa, tapi yang jelas ia selalu memilih menghindar dari pada berkomunikasi dengan sang ayah.
Awalnya gadis berambut sebahu itu pikir masih punya waktu setidaknya sampai nanti malam saat ayahnya pulang kerja. Tapi sayang seribu sayang, ternyata ayahnya pulang jauh lebih awal dari biasanya.
Jam belum menunjukkan pukul 4 saat Erik memasuki rumahnya. "Sera? Kamu di rumah?"
Sementara yang ditanya hanya mampu meringis kecil. Tambah tegang lagi saat sang ayah menyuruh duduk di ruang tengah. Status keamanan Sera langsung naik, dari waspada menjadi awas.
Gadis itu melirik ke arah ibunya, yang kalau disuarakan akan berbunyi "tadi katanya Papa belom tau. Kok ini udah mau sidang aja?"
Fani hanya mengangkat bahu, sama bingungnya dengan si anak.
"Kamu buat masalah apa di kantor?" tembak Erik langsung ke inti.
Dang! Sera rasanya mau melebur aja jadi yakult. Ia tidak tau harus senang atau panik sekarang. Ayahnya bukan mau meceramahinya soal rencana liburan yang sudah cukup rapih melainkan tentang hal lain. Yang sayangnya lebih parah lagi.
Sementara Fani yang dapat melihat situasi suami dan anaknya dari dapur itu hanya menggelengkan kepala. Entah masalah apa lagi yang anak bungsunya itu buat. Kadang wanita paruh baya itu merasa jauh lebih mudah mengurus anak laki-lakinya ketimbang Sera.
"Papa tau dari mana?" tanya Sera dengan kaku.
"Dari Om Yudi." Jawab Erik. "Dan gak penting sebenarnya Papa tau dari mana. Kamu tuh ngapain sih, Se?"
"Bos Sera tuh kerjanya gak bener. Semua orang juga gak suka sama dia. Seenaknya banget. Padahal yang capek juga bukan dia."
"Terus kamu ngapain?"
"Dia bentak Sera," sambil menunduk, gadis itu lalu melanjutkan "terus… Sera bentak balik aja."
Erik hanya bisa memejamkan matanya dengan rapat sambil tangannya memijat kening. Ayah dua anak itu tidak habis pikir dengan kelakuan putrinya. Ia sampai tidak tau harus berkata apa.
"Serafina, siapa ngajarin kamu kaya gitu?" Erik masih mau melancarkan ocehan panjang lebar tetapi netranya baru menyadari sesuatu. "Ini barang-barang, punya kamu kan? Kok dipindahin ke sini?"
Oke, saatnya lonjakan kedua dari Sera. "Nggg, Sera mau bilang sesuatu."
Ayahnya hanya diam menunggu jawaban sementara Sera berharap ayahnya tidak punya tekanan darah tinggi yang bisa memicu sroke atau bahkan serangan jantung mendadak.
"Sera mau jalan-jalan sama Aruna, sama Yora."
"Kemana? Sampe jual apartemen?"
Erik ingat bagaimana anak gadisnya ini ngotot mau tinggal sendiri saat baru pulang dari Amerika beberapa tahun lalu. Tapi lihat sekarang. Apa pendiriannya luntur hanya untuk satu kali liburan? 'Memangnya dia ingin keliling Eropa?' pikirnya.
"Ke empat benua. Satu tahun. Dan apartemennya Sera sewain, bukan dijual."
Kalau ayahnya itu Zeus, Sera mungkin sudah hangus tersambar petir sekarang. Gadis itu tidak perlu mendongak untuk merasakan gemuruh amarah ayahnya.
"Fani! Fani, kesini!" panggil Erik. "Ini anak kamu nih mau jalan-jalan setahun. Apa-apaan itu?!"
"Yaudah, biarin aja. Orang anaknya udah kepengen, pake uang dia juga kok," bela Fani.
"Ya justru itu!" lalu Erik menoleh lagi ke anaknya. "Kamu itu masih muda, Sera. Papa tau, kamu udah financially stable sekarang. Tapi kamu gak hanya hidup sekarang. Kamu juga harus mikirin ke depannya. Akan ada saatnya Papa-Mama gak ada. Sementara Kak Sean sibuk dengan hidupnya, kamu juga akan punya hidup sendiri, keluarga sendiri, punya tanggung jawab sendiri. Dan untuk itu, kamu harus punya persiapan dari sekarang."
Sera masih tak bergeming di tempatnya, berusaha jadi anak yang baik. Yang tentu saja tidak bertahan lama.
"Sera juga gak niat mau nikah dan berkeluarga kok."
Erik mendelik mendengar penuturan anaknya. "Gak mau nikah gimana? Terus kamu mau gini-gini aja? Hidup kamu gak berkembang, Sera. Nanti kamu bakal iri sama temen-temen kamu yang lain. Mereka udah pada hidup bahagia dengan keluarga masing-masing, sementara kamu? Mau sampai kapan kamu main-main begini? Kalau kamu gak mau berkeluarga, terus nanti yang bakal ngurusin kamu pas udah tua siapa?"
Sera mendengus mendengarnya. Hidupnya tidak berkembang? Ayahnya ini memang tidak pernah merasa puas dengan segala usaha yang sudah ia lakukan. Dan lagi, berkeluarga? Bahagia? Sungguh, ia tidak tahan.
"Emangnya berkeluarga udah pasti bahagia?" tanya Sera, kali ini dengan berani menatap ayahnya.
"Maksud kamu?"
"Papa ngomong soal keluarga seakan keluarga Papa baik-baik aja. Emang Papa sama Mama bahagia? Kalo yang dari Sera liat sih enggak."
Fani sudah berkaca-kaca mendengar penuturan putrinya, sementara Erik terlihat menahan emosi.
"Papa berharap Sera bisa punya keluarga sendiri ketika keluarga tempat Sera besar itu yang semacam Mama sama Papa? Yang gak pernah sepi, bukan karna penuh tawa tapi berantem terus?"
Tangan Erik melayang ke udara, berniat menampar anaknya namun tertahan oleh Fani. Pria yang nyaris kalap itu mengepalkan tangannya, berusaha meredam emosi.
"Begini kamu ngajarin anak kamu?!" tanya Erik, kali ini ke istrinya.
Fani sebenarnya sudah siap menyanggah ucapan suaminya, tapi Sera mendahului. "Stop salahin orang lain tiap ada yang salah dalam hidup Papa. Mungkin Papa yang harusnya introspeksi diri."
"Anak ini! Sejak kapan kamu gak punya sopan santun begitu?!" Bentakan Erik tidak membuat anaknya gentar. "Terus kamu maunya apa? Mau gak diurusin? Gak sekalian kamu angkat kaki dari rumah ini?"
"Pah!"
"Ngusir?" tanya Sera mengabaikan ibunya yang mulai panik.
"Kamu sendiri kan yang mau bebas?"
Detik selanjutnya Sera langsung menuju kamarnya, membawa barang seadanya lalu menuju mobil. Ia tidak peduli dengan orangtuanya yang sekarang asik ribut sendiri ketimbang menghalanginya pergi.
Sera memegang kemudinya dengan erat, berusaha menyalurkan emosi yang tengah bergemuruh. Ia tidak ingin menangis tapi air matanya sudah berdesakan ingin tumpah. Kacamatanya yang sudah buram karena lembab air mata memaksa Sera berhenti sejenak di pinggir jalan dan meluapkan emosi yang dari tadi tertahan.
Ia menangis sampai setidaknya satu lagu yang terputar di radio habis dimainkan sebelum akhirnya momen syahdu itu terganggu oleh ketukan kaca mobilnya.
Saat Sera menurunkan kaca, tukang tambal ban-yang tadi mengetuk-sontak melongo melihat wajah si pengemudi yang merah dan sembab habis menangis. "Mau tambel ban, Neng? Apa isi angin?" tanya si abang dengan hati-hati.
Sera lalu menggeleng. "Saya numpang parkir bentar ya, Bang."
"Oh, yaudah. Yang sabar ya, Neng." Kata tukang tambal ban itu dengan prihatin.
Sera lalu melanjutkan adegan harunya yang berlangsung sebentar karna tidak lama kemudian, si abang tambal ban kembali mengetuk kaca mobilnya.
"Kenapa lagi?"
"Waduh, mon maap nih, Neng. Mobilnya bisa maju dikit gak? Di belakang ada yang mau tambal ban." Dengan masih sesenggukan, Sera lantas memajukan mobilnya.
Tadinya gadis berambut sebahu itu masih ingin bersedih tapi, moodnya untuk menangis sudah hilang. Ia lalu berpikir kemana ia akan pergi sekarang. Apartemennya nyaris kosong. Yora tidak punya apartemen dan menginap di rumah gadis itu sama saja bohong. Jadi satu-satunya pilihan Sera adalah Aruna.
Gadis yang masih setia mengenakan sandal crocs shocking pinknya itu menyempatkan diri membeli beberapa minuman dingin dulu di minimarket untuk abang tambal ban yang lapaknya sempat terganggu olehnya.
"Wah, makasih, Neng. Semoga masalahnya cepet beres, ya." Sera jadi malu sendiri. Ia kembali minta maaf kepada si abang sebelum akhirnya masuk ke mobil dan menghubungi Aruna.
"Halo?"
"Halo, Na. Gue nginep di apart lo boleh?"
"Boleh. Tumben, kenapa?"
"Gue diusir dari rumah."
"HAH?!"