Aruna disambut oleh seonggok anak manusia dengan sebuah koper besar ketika ia tiba di depan unit apartemennya. Gadis bersurai coklat itu hanya bisa menatap miris sahabatnya sambil mempersilahkan Sera juga Keano untuk masuk.
"Kenapa lo?"
"Ribut sama bapak gue."
"Kenapa lagi?"
"Something happened at the office plus gue bilang mau jelong-jelong keliling dunia. Long story short, dia nyuruh gue angkat kaki. Yaudah, pergi deh gue," jawab Sera santai, sambil mendudukkan diri di pantry.
"Bokap lo nyuruh lo angkat kaki?" tanya Aruna, memastikan.
"Terus kamu mau gak diurusin? Gak sekalian aja kamu angkat kaki dari rumah ini?!" kata Sera sambil meniru bentakan ayahnya. Saking menghayatinya, suara Sera sampai mengagetkan Keano yang sedang minum di dekatnya.
"Itu bukan nyuruh, apalagi maksa. Om Erik cuma emosi."
"Gue juga emosi keles."
"Makan coklat, Se. Katanya coklat bisa meredakan stress." Keano tiba-tiba menyodorkan potongan coklat.
"Eh, iya. Makasih, Kak Ken." Lumayan, kata Sera dalam hati.
"Terus, lo kenapa gak balik ke apart lo aja?" tanya Aruna lagi.
"Lusa udah ada yang mau nyewa. Barangnya udah banyak yang gue bawa balik ke rumah. Gak mungkin kan gue berantakin lagi itu apartemen."
"Kok bisa tempat lo laku lebih cepet dari ruko gue?"
"Rejeki anak sholeh kali ya?"
Aruna memutar mata mendengar jawaban temannya itu. "Anak sholeh gaada yang ngelawan orangtua sampe diusir."
Sera tertawa saja mendengar respon Aruna. Ia lebih memilih ngemilin coklat dengan Keano.
Malam itu, setelah Keano pamit, Aruna berbagi tempat tidur dengan Sera. Tanpa menduga besok ia akan menerima tamu lainnya.
* * *
Sebulan terakhir ini Yora sangat lelah. Ia harus pintar-pintar membagi waktu antara bekerja di kantor dan menari. Iya, Liora sekarang jadi pelatih untuk sebuah studio tari milik temannya. Lumayan lah, bisa nambah uang saku.
Tapi masalahnya, jadwalnya jadi sangat padat dan melelahkan.
Pagi hari, ia berangkat ke kantor atau bahkan ke pabri dengan badan remuk karena lelah menari. Mungkin karena faktor usia, juga karena sudah lama tubuhnya terpaku di balik meja kerja. Menari terasa melelahkan sekarang. Apalagi, ia hampir selalu datang ke studio dengan beban pikiran dari kantor.
Ditambah lagi, sekarang ia harus kembali terjebak dengan situasi yang mirip beberapa bulan lalu. Bedanya, kali ini bukan soal liburan keliling dunia, tapi tentang Liora yang diam-diam kerja tambahan sebagai pelatih tari modern di studio milik Nadia, temannya.
Nadia sialan, pikirnya. Kenapa dari banyaknya manusia di bumi Indonesia, harus ibunya yang berpapasan dengan Nadia di mall?
Yora tidak bilang apa-apa soal menari ke ibunya. Juga tidak cerita kalau kerja tambahannya ini ia lakukan tanpa sepengetahuan orangtua ke Nadia. Maksudnya, siapa juga yang menyangka Nadia dan Sonya akan bertemu dan mengobrol bersama?
Tadi Nadia sempat bercerita kalau ia bertemu Sonya dan bertanya kenapa ibunya tidak tahu soal Yora yang menjadi pelatih tari di sanggar miliknya. Sekarang, gadis dengan rambut lepek karena keringat itu sudah pasrah saja mendengar ocehan ibunya di meja makan. Ia terlalu lelah untuk berdebat.
"Mami kira kamu udah belajar dari masalah kemarin. Eh, malah diulangin lagi. Mau ijinnya dibatalin?!"
Yora hanya menggeleng sebagai jawaban. Melihat reaksi anak semata wayangnya yang lesu, Sonya malah semakin gencar berceramah.
"Tuh kan, muka kamu pucet. Pasti kecapean. Pantesan kamu pulang telat terus. Makanya, gak usah pake cari kerja tambahan segala. Nari lagi. Mami kan udah bilang, dan kita juga udah sepakat, kamu fokus di perusahaan aja. Joget-joget gitu kan bisa kamu lakuin pas lagi ngumpul sama temen. Kalo-"
"Mi," omongan Sonya terinterupsi oleh suaminya yang tampak buru-buru. "Aku keluar dulu ya. Lupa mau kirim paket."
Yora yang melihat kesempatan untuk keluar dari zona ceramah ibunya pun tidak menyia-nyiakannya. "Aku aja, Pi."
"Udah malem. Mending kamu istirahat aja."
"Gapapa. Biar sekalian kotor, mumpung aku belom mandi."
Gadis itu lantas menyambar box yang dipegang ayahnya, lalu dengan sigap masuk ke mobil. Dilihatnya Sonya yang menyusul membuatnya menurunkan kaca dan mengucapkan rentetan kalimat sebelum ibunya kembali berceloteh. "Kalo lama berarti aku nginep di Sera ya. Biar gak kecapean. Byeee."
Wanita paruh baya itu lantas hanya bisa menghela napas sambil menggeleng, menatap mobil anaknya yang menjauh. "Dasar, anak muda."
* * *
Niatnya memang ingin pergi dari rumah supaya tidak mendengar khotbah ibunya terus. Jadi, sambil menunggu administrasi di tempat pengiriman barang, Yora mencoba menghubungi Sera. Tapi sayangnya panggilan itu terus masuk ke kotak suara. Yora lalu beralih menghubungi Aruna yang untungnya langsung dijawab.
"Halo?"
"Halo. Na, lo di apart gak?"
"Lo mau ke sini?"
"Yoi."
"Nginep?"
"Yep."
"Kabur dari rumah apa diusir?"
"Gak dua-duanya sih. Tapi mungkin lebih ke arah kabur."
Yora sempat mendengar helaan napas dari seberang sana sebelum akhirnya Aruna meng-iya-kan. Gadis itu lalu menuju apartemen Aruna setelah urusan paket ayahnya selesai
Ia tiba kurang dari satu jam dan mengerutkan kening ketika yang membuka pintu adalah Sera. "Lah, ngapain lo di sini?"
"Masuk dulu, Ndoro."
"Gue telpon lo kok ga diangkat sih?"
"Tadi aku sedang menyetir mobil."
Yora ingin bertanya kenapa Sera ada di sini, namun batal karena ia merasakan aura gelap yang menatapnya juga Sera dari arah dapur. Di sana, ada Aruna yang sepertinya sedang memotong sayur.
"What?"
"Jangan bilang lo ke sini gara-gara masalah liburan lagi. Or, let me guess. Lo dimarahin abis ketauan punya side job jadi dancer?"
"Ih, kok tau! Alih profesi jadi cenayang lo?"
Aruna jadi jengah menghadapi dua sahabatnya yang terlihat santai saja bermasalah dengan orangtua mereka. "Lo berdua mending beresin masalah lo pada sebelum para orangtua batalin ijinnya buat kita pergi jalan-jalan!"
"Kalo sampe kita batal pergi gara-gara gak dibolehin sama bokap," kata Aruna sambil menunjuk Sera dengan pisau yang lalu berpindah ke arah Yora "atau gak bisa pergi karna kartu kredit yang diblokir, if that really happened, maka pertemanan kita berakhir saat itu juga."
Ctak.
Peringatan Aruna yang ditutup dengan suara pisau yang beradu kencang dengan talenan membuat baik Sera maupun Yora menegang di tempat. Untungnya Sera terselamatkan dengan dering ponselnya. Ia lalu pamit undur diri, membiarkan Yora mati kutu depan Aruna.
"Yeoboseyo?"
"Anyeonghaseyo, Kim Bum imnida."
"Kim Bum ketabrak tronton, keseret lima kilo, lalu terhempas ke jurang, iya."
"Sopankah begitu, Serafin?"
"Hhh, to the point aja."
"I miss you, Sissy."
Sera kontan merinding mendengar ucapan kakaknya barusan. "Sumpah lo serem banget. Kenapa? Kesurupan setan London? Oh, gue tau. Mau minta dipaketin bumbu rendang lagi ya?"
"Engggak, gak dua-duanya. Eh, tapi boleh deh yang kedua." Sean tertawa renyah sesaat sebelum ia melanjutkan, "By the way, Mama nelpon gue."
"Then you know the story."
"You know he didn't mean it. Lagian, sejak kapan lo jadi baperan sih?"
"Biarin aja. Biar Papa tau kalo gue tuh serius. I am a grown and independent woman."
"Lo lebih terdengar childish daripada dewasa."
"Still learning."
"Ngeles aja lo kayak bajaj. Balik, Se. A grown up should take the responsibility and solve their problems."
"Kalo Papa tetep batu gimana? He won't even try to understand me."
"Like father like daughter, isn't it?"
"Lo gak membantu anjir."
Tawa Sean kembali terdengar di ujung sana. Untuk sesaat, Sera jadi rindu sosok kakak yang walaupun menyebalkan, selalu ada untuknya. "Just go back. Marahnya Papa gak akan bertahan selamanya. You are his daughter after all. Kalo gue yang diusir, mungkin Papa mungkin gak begitu peduli. Tapi kalo sama anak perempuannya, trust me, he won't. Dia jelas lebih pengen anak gadisnya di rumah daripada cabut gak jelas kayak lo."
Sera tidak menjawab. Hanya mampu berdeham malas, walau sebenarnya ia cukup senang Sean menghubunginya.