Chereads / A Trip Of Our Youth / Chapter 10 - Tiga Serangkai Senior

Chapter 10 - Tiga Serangkai Senior

Hari ini, keluarga Janaya kompak bekerja bakti membantu si sulung mengurus kepindahan rukonya. Sebenarnya berat untuk Aruna melepas ruko pertamanya ini. Untuk Aruna, kepemilikannya atas ruko ini adalah bukti dari langkah besar yang pernah Aruna ambil.

Gadis dengan garis wajah yang rupawan itu sempat merasa mempunyai gerai seninya sendiri disaat ia masih belum cukup pengalaman adalah sesuatu yang berlebihan. Aruna selalu merasa dirinya tidak cukup baik. Selalu ada yang kurang ditiap karyanya

Mungkin ini salah satu alasan Aruna terkesan overwork. Dia adalah tipe yang perfeksionis. Segala yang ia buat dan lakukan haruslah menghasilkan yang terbaik. Sesuatu yang sebenarnya baik, tapi bisa menjadi boomerang kalau berlebihan.

Setelah melewati dilema yang menyesakkan hati, akhirnya Aruna memantapkan diri untuk mengambil langkah besar itu; membeli tempat khusus untuk mengapresiasi karya-karyanya.

Sebulan setelah lulus, Aruna langsung menandatangani surat jual beli ruko ini menggunakan tabungan yang sebenarnya Aruna simpan untuk hal lain. Mengikuti kelas mematung misalnya, atau bahkan kelas memasak. Aruna suka segala hal yang berbau seni, termasuk dalam hal memasak. Apalagi kalau urusan food plating.

Pernah satu kali Aruna memasak ayam panggang yang dihidangkan sedemikian rupa untuk Sera dan Yora. Keduanya langsung memasang wajah berbinar yang membuat Aruna bangga.

"Woo, fancy. Apaan nih?" tanya Yora.

"Let's say it's grilled chicken with barbeque sauce à la Aruna."

Sera lalu melihat piringnya dari kanan ke kiri, seakan mencari sesuatu. "Sorry, where's the chicken?"

"That one, on top the souce, you idiot," jawab Yora.

"Kecil banget!"

"Namanya juga food plating, yang penting estetik." Memang beda orang kaya sama pengemis wifi.

"Kalo gak mau gak usah makan." Kata Aruna yang seperti ingin mengambil kembali piring Sera, membuat Sera langsung melindungi piringnya.

Walaupun Sera tampak kurang puas karna porsi yang terlampau irit, tapi reaksi keduanya yang mengakui kemahiran Aruna dalam menata hidangan membuat Aruna cukup percaya diri untuk mengembangkan kemampuannya itu.

Yah, walau sampai sekarang belum kesampaian sih. Pertama, karena Aruna tidak punya waktu. Kedua, uangnya juga sudah habis untuk beli ruko.

Tapi, sebentar lagi tabungan yang dulu hilang untuk membeli ruko itu akan kembali. Masih 'akan' karna memang Aruna ingin mengosongkan rukonya dulu sebelum dijual. Tapi ia yakin tidak akan butuh waktu lama sampai rukonya laku, mengingat lokasinya yang strategis di daerah Jakarta Selatan.

The Janayas yang lelah sehabis bolak-balik memindahkan berbagai barang itu sekarang duduk di kursi yang mengelilingi sebuah meja. Kondisi ruko dua lantai Aruna sekarang terlihat lenggang, nyaris kosong. Hanya tersisa beberapa properti seperti lemari dan nakas yang akan diangkut nanti, termasuk meja dan kursi yang sedang mereka gunakan.

"Kalo udah laku, uangnya mau buat apa, Kak?" tanya Dhira yang duduk bersebrangan dengan Aruna.

"Paling buat nonton konser boyben Korea bareng Kak Sera." timpal Adit, mengejek kegemaran baru kakaknya.

"Bukan yeee." Aruna menjawab sambil menyedot minuman boba yang tadi mereka pesan.

"Kalau iya juga gapapa. Pake uang sendiri ini." Kata Nita ,sang ibunda, yang ditanggapi manyunan bibir Adit. Cowok itu merasa tersinggung karena permintaannya untuk dibelikan PS terbaru ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya.

"Mmm, speaking of which, sebenernya Nana udah punya rencana sih uangnya mau buat apa." Nana adalah panggilan Aruna di keluarganya juga teman-teman dekatnya.

"Oh ya? Bua tapa?" tanya ayahnya, Erlangga.

Sebenarnya Aruna kurang yakin untuk membahas ini sekarang. Yang sudah pasti hanya ia dan dua sahabatnya sepakat ingin berlibur bersama. Sisanya masih seperti ide gambaran yang bahkan belum punya sketsa kasarnya. Tapi berhubung sudah membahas ini, maka sekalian saja Aruna utarakan rencananya.

"Aruna mau jalan-jalan… bareng Sera sama Liora."

"Kemana?" tanya Dhira, kepo.

"Keliling dunia." Jawaban Aruna membuat adik perempuannya tersedak karena menelan dua bola tepung sekaligus yang langsung menerobos tenggorokannya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Tidak hanya Dhira, Adit dan kedua orang tuanya juga sama terkejutnya.

"Serius? Like every single country in the world?" tanya Adit mewakili kekepoan keluarganya-yang dengan baiknya sambil menepuk-nepuk punggung Dhira.

"Enggak. Gak tau sih. Bener-bener baru rencana. Tapi niatnya sih direalisasikan."

"Berapa lama?" Kali ini Nita yang bertanya, masih dengan wajah terkejut.

"I don't know. A year maybe?"

"Wow." Hanya itu tanggapan yang bisa Nita berikan. Ibu tiga anak itu lalu menyenderkan punggungnya ke senderan kursi sambil menatap suaminya yang duduk di ujung lain dari meja itu. Memberikan kode berupa tatapan untuk menanggapi putri sulung mereka. Erlangga yang paham lalu menatap anaknya itu dengan sayang.

"Nana yakin bisa jaga diri dengan baik? Kalian cuma bertiga, perempuan semua lagi. We're not talking about just one or two cities. It could be dozens of different contries, right?"

"Yaaa… harus bisa dong. Nanti kita bawa semprotan cabe kalo perlu buat jaga-jaga sama orang jahat."

"Bukan cuma orang jahatnnya aja. Kalian sendiri yakin gak bisa jaga stamina? Traveling itu capek. Pindah dari satu tempat ke tempat lain itu gak mudah loh, Aruna. Apalagi kalian perempuan. Papa yakin deh pasti ga sedikit barang yang kalian bawa." Punya tiga orang perempuan dalam keluarganya jelas membuat Erlangga hafal dengan tingkah laku kaum hawa, termasuk betapa repotnya mereka saat berkemas.

Merasa tersinggung, Nita lalu mendelik menatap suaminya sementara Dhira hanya memutar mata-malas-sambil menggigit sedotannya.

Tapi melihat air muka Aruna yang surut, pria yang biasa dipanggil Er itu menambahkan "Bukannya Papa nakut-nakutin. Tapi kamu juga harus inget sama segala kemungkinan buruknya, supaya kamu bisa ngatur rencana dengan matang."

Kalimat itu seakan membawa kembali semangat Aruna. Ia mendongakan kepala dan menatap ayahnya dengan binar di mata. "Jadi, Papa ngizinin nih?"

"Kalau memang persiapannya jelas dan matang, kenapa enggak. Toh kalian sudah dewasa. Mumpung masih muda, takhlukanlah itu dunia."

Jawaban Erlangga sontak mendapat hadiah pelukan dari sang anak sulung. "Makasih, Pa. Papa emang the best!" Kata Aruna yang tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya.

"Itu kan dari Papa. Izin dari Mama belum." Kata Nita dari sebrang sana.

"Mama izinin juga kan?" tanya Aruna, masih memeluk ayahnya.

"Tergantung, Mama jadi yang the best juga apa engga."

Aruna lalu gantian berjalan ke arah ibunya untuk memeluk beliau serta ditambah bebeberapa kecupan di pipi. "Ya jelas yang terbaik juga lah!"

"Dhira boleh ikut g-"

"GAK!"

Belum juga tuntas, Aruna sudah memotong pertanyaan adiknya, tahu jelas apa yang akan dikatakan Adhira.

* * *

Sabtu pagi, Tiga Serangkai Senior alias Fani, Nita dan Sonya berkumpul di rumah Sonya. Kebetulan pagi ini Sonya sedang ditinggal sendiri karena suami dan anaknya sudah pergi untuk urusan masing-masing sejak tadi. Maka untuk mengisi kebosanan, Sonya pun mengajak sahabat-sahabatnya untuk berkunjung ke rumah.

Tau lah ya, ibu-ibu kalau sudah berkumpul ngapain. Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja bergosip.

Topiknya pun bisa berbagai macam. Dari membahas makanan sampai tanaman herbal. Dari gosip terhangat berita infotainment sampai kelakuan para tetangga yang bikin geleng-geleng kepala.

Nita dan dua kawan lamanya itu sedang mengobrol santai di halaman belakang kediaman keluarga Hanarta ketika obrolannya dengan Aruna kembali terlintas di kepala. "Eh, cewe-cewe udah pada bilang belom?"

'Cewe-cewe' yang dimaksud Nita jelas adalah Aruna, Sera dan Yora, anak-anak perempuan mereka. Adhira tidak termasuk karena walau hanya beda setahun, Aruna menolak Dhira masuk dalam lingkaran pertemanannya dengan Sera dan Yora. "Beda kasta" katanya. Sera dan Yora juga sering kali menggoda Aruna kalau Adhira bisa jadi teman satu geng mereka dengan nama TripleRa, Adhira, Sera, Yora. Aruna kecil jadi sensi abis dan merasa tersaingi oleh adiknya itu. Oleh karenanya, Aruna selalu menegaskan kalau Adhira tidak boleh bermain bersama teman-temannya.

"Bilang apa?" tanya Fani sambil mengaduk teh hangatnya.

"Pada mau jalan-jalan. Masih rencana sih kata Aruna."

"Oh ya? Kemana katanya?"

"Keliling dunia."

Dua kata itu sontak mengagetkan Fani dan Sonya. "Hah?! Yang bener?" tanya Sonya memastikan.

"Gue juga kaget pas Aruna ngomong gitu. Kemaren abis kita beberes rukonya yang mau dijual di Kemang itu dia bilang, kalo laku uang ruko mau dipake buat jalan-jalan."

Mendengar itu, Fani juga jadi teringat sesuatu. "Oh, pantesan kemaren itu Sera bilang mau lepas apartnya. Ternyata ada maunya dia."

"Loh, kok anak gue gak bilang apa-apa ya?" Kata Sonya heran. "Apa dia gak ikut?"

"Gak mungkin. Itu tiga sekawan kan udah sepaket. Satu ikut, pasti ikut semua."

Dalam hati Sonya membenarkan kata-kata Nita. Tapi mendengar Aruna dan Sera yang sepertinya sudah mulai mempersiapkan rencana mereka membuat Sonya heran. "Tapi kok kayaknya Yora santai aja ya? Kayak gak ada niatan mau ngomong sama gue."

"Belom kali. Aruna bilang baru rencana kok. Makanya kemaren Er abis ngasih pengertian, disuruh buat persiapan yang matang dulu baru diizinin."

Sonya lalu meminum teh hangatnya sambil berbisik dalam hati-yang kalau dijadikan seperti adegan dalam sinetron Indonesia akan terdengar seperti-"Hmmm, lihat saja nanti! Akan aku tanya anak itu sampai mengaku!"

Tbc . . .