Seminggu sudah berlalu sejak kejadian itu. Alde dan Nyla kembali melanjutkan keseharian mereka seperti biasa. Datang ke kampus, bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama layaknya sahabat. Tapi, untuk kali ini, ada satu hal yang berbeda.
"Ayolah Alde, temani aku ke sana."
Sambil berusaha melepas pelukan pelukan sahabatnya Alde menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Nyla. "Aku tidak mau!"
"Kumohon, sekali saja." rengeknya.
Sekali lagi, dengan tegas Alde menjawab, "Tidak!" tepat di depan wajah Nyla. "Apa kau lupa kejadian minggu kemarin? Kau tidak belajar apa pun dari sana?" ceramah Alde, jengkel dengan sifat tak peduli Nyla.
"Itu kan kejadian minggu kemarin. Sekarang aku tidak akan melakukan hal yang sama kok."
"Aku tidak percaya."
"Aku serius Alde. Aku tidak akan mengajakmu ke tempat seperti itu lagi. Kali ini tempat yang berbeda dari minggu kemarin."
"Tidak bisa, aku sudah terlalu banyak bolos dari pekerjaan paruh waktu ku karna dirimu."
"Ayolah, aku akan mengganti gajimu yang dipotong dua kali lipat."
Jengkel dengan Nyla yang terus menggelayuti tubuhnya, dengan sekuat tenaga Alde mendorongnya hingga lepas. Tak peduli jika wanita itu sudah jatuh tersungkur di atas lantai lorong kampus.
"Sudah, aku mau masuk kelas." ujar Alde, dengan acuh meninggalkan Nyla sendirian di sana.
"Tunggu, Alde!" jerit Nyla yang sudah putus asa.
Alde memutuskan untuk menolak ajakan Nyla kemana pun mereka pergi. Tak peduli jika wanita itu membayar lima kali lipat dari gaji paruh waktunya sekali pun, Alde masih sayang dengan keselamatan jiwa dan raganya. Ia tak ingin terlibat dalam kejadian seperti minggu kemarin lagi, ia sudah tak sanggup jika harus mengalaminya lebih dari satu kali.
Kelas yang Alde tuju berada di lantai lima. Dengan menggunakan lift ia bisa tiba lebih cepat tanpa harus kelelahan seperti ketika menaiki tangga. Manik coklat jernihnya meneliti tiap nomor kelas yang terpampang di atas pintu, dan bergumam ketika ia telah menemukannya. "Ini dia."
Tanpa menunggu lebih lama lagi Alde segera membuka pintu dan melangkah masuk. Di dalam sudah terdapat banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi yang duduk menunggu sang dosen datang. Sambil menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjangnya, Alde berlari menuju bangku yang berada di deretan belakang. Mendudukkan dirinya jauh dari kerumunan orang.
Seperti tembus pandang, tak ada yang menyapa atau mengajak Alde berbicara. Bukannya ia ingin, hanya saja kesendiriannya terlihat sangat kontras di antara semua mahasiswa dan mahasiswi yang berada di kelas itu. Dan untungnya, hal seperti itu bukanlah masalah untuk Alde. Malahan ia lebih merasa nyaman jika orang-orang tidak mempedulinkannya.
"Sudah jangan berisik." ucap seorang pria yang umurnya terlihat berkisar diantara empat puluh hingga empat puluh lima tahun. Pria yang Alde ketahui menjabat sebagai dosennya itu segera menaruh tasnya yang berisikan laptop dan berkas-berkas penting di atas meja, lalu mengeluarkan sebuah tumpukan kertas yang Alde yakini sebagai lembar kuis dari dalamnya. "Untuk hari ini kita akan melakukan kuis dadakan." lanjutnya dengan senyuman lebar tanpa rasa bersalah di wajahnya.
Benar kan. Perasaan Alde tidak pernah salah.
Lenguhan tak setuju lolos dari mulut para mahasiswa dan mahasiswi lainnya, seakan-akan tak setuju dengan saran mutlak yang sudah diberikan oleh sang dosen.
"Tidak ada penolakan. Cepat bagikan kertas ini dan segera kita mulai." ujarnya acuh sembari memberikan lembar kuis pada salah seorang mahasiswa yang berada dekat dengannya untuk dibagikan secara mandiri.
Ketika orang-orang tengah sibuk membagikan lembar kuis, tiba-tiba saja pintu kelas dibuka dengan kasar, mengejutkan semua yang mendengarnya termasuk Alde.
Seorang pria dengan tinggi tubuh semampai bergegas masuk. Rambut hitamnya yang berantakan melompat tiap kali ia berjalan. Dengan gugup ia memperbaiki posisi kacamatanya yang miring karna dikenakan secarara terburu-buru.
"Maaf pak saya terlambat." ucapnya dengan nafas terenga-engah, sepertinya habis lari menaiki tangga.
Dosen yang melihat itu melambaikan tangannya, "Sudahlah cepat duduk." ucapnya.
Cepat-cepat pria itu segera berterima kasih pada sang dosen lalu berlari untuk duduk tepat di samping Alde. Alde yang melihat itu mengedipkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya menatap pria di sampingnya.
"Ada yang aneh?" tanya pria itu ketika menyadari tatapan Alde.
Dengan segera Alde menggelengkan kepalanya, "Tidak, ini..." tangannya menyodorkan lembar kuis yang sebelumnya berakhir di Alde.
Kedua alis pria itu naik, "Aah..." lalu ia tersenyum, "Terima kasih." ucapnya, dan dengan senang hati menerima lembar kuis dari tangan Alde.
Merasa canggung, Alde tidak membalas ucapan terima kasih pria itu, lebih memilih untuk membuang muka dan segera mengerjakan soal-soal pada lembar di depan matanya.
Dalam waktu kurang dari dua jam Alde telah selesai mengerjakan soalnya. Pertanyaan sebanyak lebih lima puluh itu ia kerjakan dengan baik tanpa adanya kesulitan. Dengan senyuman puas yang terkembang di wajahnya Alde merapihkan seluruh soal dan lembar jawab miliknya. Tak sengaja menyenggol lengan pria di sampingnya, ia dengan segera meminta maaf.
"O-oh, ma—""
Kalimat Alde terhenti. Kedua alisnya bertautan. Ia bingung ketika melihat pria di sampingnya dengan tenang tertidur di sampingnya. Kedua tangan pria itu digunakan sebagai bantalan kepalanya. Terlihat cukup nyaman dan membuat Alde ikut merasakan kantuk.
"Hmm..." lenguhan yang tiba-tiba saja lolos dari mulut pira itu membuat Alde terkejut. Dengan segera ia berpura-pura untuk mengerjakan kembali lembar kuisnya, tak mau tertangkap basah jika sedang memperhatikannya.
Ketika pria itu sudah berhenti bergerak dalam tidurnya, Alde kembali mengintip. Untuk beberapa saat ia hanya melirik pria itu sebelum akhirnya menolehkan kepalanya.
Rambut yang berantakan karna tak sempat dirapihkan setelah bangun tidur, kantung mata yang cukup tebal karna mengerjakan tugas semalam suntuk, dan kemeja kotak-kotak birunya yang dikenakan terbalik tanpa disadari oleh sang pemilik.
Melihat kecerobohan pria di sampingnya membuat Alde tanpa sadar meloloskan sebuah kekehan.
"Waktu kalian tersisa empat puluh lima menit lagi." ucap sang dosen, mengejutkan Alde dan membangunkan pria di sampingnya.
Buru-buru Alde kembali merapihkan kertasnya lagi, berusaha menyembunyikan rona yang sudah muncul pada wajahnya. Ia memutuskan untuk segera keluar dari kelas.
Ketika Alde sedang membereskan barang-barangnya, tiba-tiba saja pria yang duduk di sampingnya berdiri. Ia mengambi semua barang-barangnya—"tak lupa dengan kertas kuisnya—"lalu berjalan ke depan. Dengan wajah khas orang bangun tidur pria itu memberikan lembar miliknya pada sang dosen lalu berjalan keluar.
Alde yang melihat itu mempercepat gerakannya. Dengan terburu-buru ia memberikan lembar jawaban miliknya pada sang dosen lalu mengejar pria itu keluar.
"Tunggu!" jerit Alde, bergema di dalam lorong yang sepi. Namun, karna mengenakan headphone, pria itu tak mendengar panggilan Alde.
Dengan nekat Alde mengejar pria itu, berusaha menyamakan kecepatan langkah mereka yang cukup besar. Ketika jarak mereka hanya berkisar di antara beberapa centi, cepat-cepat Alde segera mengulurkan tangan dan menepuk bahunya.
Merasakan sebuah tepukan di bahunya, dengan segera pria itu berhenti berjalan. Alde yang berada di belakangnya mau tak mau harus menabrak punggung pria itu, membuatnya merasakan nyeri pada batang hidung.
"Aduh!"
"Kau tidak papa?" panik pria itu ketika melihat Alde yang sudah memegangi hidungnya menggunakan kedua tangan. Melepas headphone yang menutupi kedua telinganya agar bisa mendengar suara Alde lebih jelas.
Alde sendiri sudah menggelengkan kepalanya, "Aku tak papa." jawabnya.
Walau begitu pria itu tetap saja merasa khawatir. Tanpa peduli dengan reaksi yang akan diberikan oleh Alde ia segera mendekatkan wajahnya pada Alde, memperhatikan hidung yang menjadi korban dari punggung tegap nan lebarnya dari balik kacamata berlensa tebal miliknya.
"Syukurlah tidak ada luka." ucap pria itu sembari menghela nafas lega.
Akan tetapi, berbeda dengan pria itu, Alde masih tidak bisa bernafas lega. Wajah yang tiba-tiba saja mendekat ke arahnya membuat Alde terdiam. Manik obsidian bertabrakan dengan manik coklat jernih. Ia benar-benar terkejut. Belum pernah ada orang yang menatap Alde sedekat ini—kecuali Nyla—, apalagi jika orang tersebut adalah seorang pria.
Untuk sesaat tak ada yang berbicara. Keduanya hanya saling menatap, hingga akhirnya pria itu memutuskan untuk angkat suara.
"Ngomong-ngomong, ada urusan apa ya kau memanggilku?"
Pertanyaan itu membuat kesadaran Alde seketika kembali. "Oh, itu, bajumu..." ucapnya terbata-bata.
"Baju?"
Pria itu segera menatap bajunya. Ia bingung dengan maksud dari kalimat Alde. Tanpa henti terus mencari kesalahan dari petunjuk yang diberikan.
"Bajumu, terbalik."
Ia baru menyadarinya ketika Alde menyebutkannya. Mata yang sebelumnya tak dapat melihat keganjilan apa pun pada tubuhnya akhirnya menyadarinya.
"Terima kasih ya." ucap pria itu, segera menurunkan tas gendong yang ia bawa dan memperbaiki pakaiannya.
Namun, ketika ia menurunkan tasnya, tiba-tiba saja barang yang berada di dalamnya merosot turun dan jatuh berceceran. Tanpa disadari oleh pria itu, tas yang ia bawa ternyata memiliki lubang di bagian bawahnya. Dan akhirnya terjadilah kekacauan ini.
"Haish!" dengus kesal pria itu. Dengan penuh emosi segera mengambil barang-barang yang terjatuh.
Alde yang menganggap kejadian ini lucu terkekeh. Ia menjongkokkan tubuhnya, membantu pria itu memunguti barang-barangnya yang berceceran di sekitar kakinya tanpa diminta, lalu mengembalikannya.
"Terima kasih."
Senyum manis terkembang di wajah Alde. Tanpa sadar tangannya sudah terulur untuk mengusak gemas pucuk kepala pria itu. "Sama-sama, lain kali hati-hati ya." jawabnya, seperti tengah berbicara dengan anak berumur sepuluh tahun.
Merasa jika tugasnya sudah selesai, Alde memutuskan untuk segera pergi dari sana, mengingat jika setelah ini ia masih memiliki kelas yang harus dihadiri. "Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa lagi." ucapnya sebelum berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan pria yang masih terdiam di tempatnya, terpaku pada sosok Alde yang perlahan menjauh darinya.
Perlahan, tangan pria itu terangkat. Ia menyentuh kepala yang sebelumnya diusak oleh Alde dan berkata,
"Sampai... jumpa..."