"Alde, kau mau menunggu ibu membawa pulang ayahmu kan?"
Alde kecil menatap sedih sang ibu. Ia tak ingin mereka berpisah. Walau begitu, pada akhirnya ia tetap mengaggukkan kepalanya.
"Apa Alde... tidak bisa ikut?" air mata sudah jatuh dari sudut matanya, membasahi boneka beruang putih di dalam pelukannya.
Senyuman sendu muncul di wajah cantik wanita yang sudah mengulurkan tangan untuk menghapus jejak air mata di wajah anaknya. Rambut hitam legamnya yang terurai tertiup angin, beterbangan dengan lembut bak untaian benang-benang sutra.
"Ibu tak bisa mencari ayahmu jika Alde ikut. Ibu harus mencarinya sendirian."
"Tapi Alde—"
"Kumohon..." potong sang ibu. "...untuk kali ini saja..." tangannya sudah memegang kedua bahu Alde, meremasnya kencang hingga sang pemilik meringis kesakitan. "...tolong, jangan ikuti aku lagi..."
Setelah mengatakan itu, sang ibu segera berdiri dan membalikkan tubuhnya. Ia mengambil koper yang berada di sampingnya, melangkah pergi meninggalkan Alde yang sudah berlari untuk mengejarnya.
"Ibu! Jangan tinggalkan Alde, Ibu!" jerit Alde sekencang yang ia bisa sambil menangis.
"Sudah, kau jangan pedulikan dia lagi. Biarkan dia pergi." ucap pria paruh baya yang sedari tadi berdiri di belakang Alde, menahannya untuk mengejar sang ibu.
Seakan-akan tuli, wanita itu terus berjalan, mengabaikan Alde yang sudah jatuh tersandung.
"Jangan tinggalkan aku... ibu..."
---
Dengan perlahan Alde membuka kedua kelopak matanya yang tertutup. Beberapa kali ia kerjapkan untuk memfokuskan pandangan pada satu titik, hingga akhirnya mulai tersadar jika ia sedang tidak berada di rumahnya.
"Dimana..."
Alde mencoba untuk menoleh. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berusaha mengenali kamar asing yang saat ini ia tempati. Ia melihat jika tidak terlalu banyak furnitur yang tertata, membuat kamar kecil ini terlihat sederhana dan nyaman untuk di tempati.
Ketika otaknya sudah berjalan dengan semestinya dan kesadarannya kembali, memori Alde kembali mengingat kejadian semalam. Kejadian di mana ia dan sahabatnya dikejar tanpa henti oleh beberapa pria, dan berakhir dengan dirinya yang kehilangan kesadaran di dalam cekikan pria yang menjadi fokus permasalahan.
Tunggu dulu...
Alde segera menundukkan kepalanya. Ia melihat jika baju yang ia kenakan masih melekat pada tubuhnya. Tak ada yang kurang atau pun lebih, membuatnya meloloskan helaan nafas lega. Dengan sekujur tubuh yang terasa sakit, Alde bergerak menuju ujung kasur. Manik coklat jernihnya tak sengaja menangkap keadaan kakinya yang sudah dibalut plester luka di beberapa bagian. Dan seketika itu juga perih yang sebelumnya tak terasa mulai menghampiri.
"Kau sudah sadar nona?"
Suara yang cukup familiar mengalun di telingan Alde. Dengan segera ia menoleh ke arah pintu kamar yang sudah terbuka dan mendapati sang kakek yang semalam ia temui sedang berjalan masuk mendekatinya sembari membawa segelas teh hangat.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya ramah. Gelas teh yang kakek itu bawa ditaruh di atas nakas samping kasur.
"Aku baik-baik saja." jawab Alde dengan suara yang serak. "Bagaimana dengan Nyla? Apa dia baik-baik saja?"
Sang kakek yang awalnya berdiri di hadapan Alde mulai bergerak dan mendudukkan dirinya di samping Alde. Dengan teliti pria paruh baya itu menatap jelas raut wajah Alde, membuat Alde merasa tak nyaman karnanya.
"Temanmu baik-baik saja, dia masih tertidur di kamar sebelah." jawabnya sembari tersenyum.
Ketika mendengar itu dengan segera Alde bangkit dan berlari keluar menuju kamar yang dimaksud. Tak peduli jika kakinya terus memberikan rasa menusuk dari luka yang bergesekan dengan lantai, karna yang menjadi fokus utamanya saat ini adalah Nyla.
Dan ketika manik coklat jernihnya melihat sang sahabat yang masih tertidur lelap dengan keadaan baik-baik saja, disitulah Alde jatuh terduduk di atas lantai.
"Kau tidak apa-apa?" tanya sang kakek yang sedari tadi sudah mengejar Alde di belakangnya.
Alde menganggukkan kepalanya. Rasa lega yang memenuhi tubuhnya membuat kedua kakinya terasa lemas. Membuat tubuhnya mau tak mau jatuh ke atas lantai karna tak ada tumpuan yang bisa membatunya tetap berdiri.
"Karna telah meminum obat tidur dengan efek kerja lambat, dia tidak akan bangun hingga siang nanti." jelas sang kakek sembari membantu Alde bangun kembali.
Dengan pelan Alde mendekati kasur Nyla. Ia mendudukkan dirinya di ujung kasur dan memperhatikan wajah sang sahabat yang tertidur tanpa adanya perasaan was-was.
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak menerima miuman dari orang asing?" desis Alde kesal, namun tidak sanggup jika harus marah.
Melihat keadaan sahabatnya yang seperti ini membuat perasaannya sakit. Kegagalan untuk menjaga orang yang ia sayangi benar-benar menjadi sebuah pukulan yang berat bagi Alde. Ia tak ingin, kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi.
"Lebih baik kau keluar dan ikut aku sarapan saja daripada mengganggu tidur temanmu." ujar sang kakek yang sudah berjalan keluar dari kamar duluan.
Alde menoleh, ia menatap nanar tempat terakhir kali ia melihat sosok sang kakek sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menyusulnya.
Di rumah yang cukup kecil dan sederhana ini Alde melihat jika sudah terdapat banyak makanan yang tersedia di atas meja kecil rendah yang hanya setinggi lutut. Makanan makanan itu tidak terlihat mewah. hanya makanan makanan sederhana yang biasanya selalu Alde dapatkan dari para tetangga. Walau begitu, itu sudah cukup.
"Duduklah." ajak sang kakek yang sudah mendudukkan dirinya di salah satu sisi meja berbentuk persegi itu, bersiap untuk melahap sarapannya.
Alde tak mengatakan apa pun. Ia hanya berjalan mendekati meja dan duduk di sebrang sang kakek. Menatap sang kakek yang sudah memberikannya piring untuk mengambil sendiri makanan yang ia inginkan.
Dengan dibalut karpet yang cukup tebal membuat Alde tidak merasa kedinginan ketika duduk di atas lantai. Malahan ia terlihat cukup nyaman dengan situasi seperti ini.
"Kau tidak suka sup sayur?"
Cepat-cepat Alde segera menggelengkan kepalanya,"Tidak." jawabnya lalu mulai menyendoki nasi dan lauk yang ada ke dalam piringnya. Tanpa ragu segera memakan makanan di hadapannya.
Terkejut dengan rasa yang cukup enak di lidahnya membuat Alde tak bisa untuk berhenti menyendokkan makanan-makanan tersebut kedalam mulutnya. Ia yang sudah lama tidak merasakan masakan seperti ini membuat perutnya menginginkan lagi, lagi, dan lagi.
Melihat Alde yang makan cukup lahap membuat sang kakek tertawa. Dengan wajah penuh senyuman ia menyendoki lagi lauk yang ada ke dalam piring Alde.
"Makan lah yang banyak."
Entah mengapa, sosok kakek di hadapan Alde mengingatkannya pada almarhum kakeknya yang sudah tiada. Pria paruh baya dengan watak keras yang mengambil alih hak asuh Alde setelah kedua orang tuanya menghilang entah ke mana. Sosok yang selalu keras pada orang lain namun manis pada Alde. Orang yang benar-benar tulus menyayangi Alde dari awal hingga akhir hidupnya.
"Kenapa menangis?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh sang kakek membuat Alde segera menyentuh wajahnya yang sudah dibasah oleh air mata. Sejak kapan ia menangis? Alde tak tau jika ia sudah menangis.
"Maaf..." ucapnya dengan suara parau, berusaha untuk menghentikan air matanya secepat mungkin, tak ingin membuat suasana menjadi tak nyaman. Namun sayang, ia gagal melakukannya.
Pria paruh baya yang seluruh rambutnya sudah memutih itu segera berdiri. Ia berjalan mendekati Alde dan duduk di sampingnya. Dan tanpa permisi kakek itu menariknya ke dalam pelukan, mengelus lembut surai hitam lurusnya bak anak sendiri sambil berbisik,
"Kau tidak usah khawatir, semua akan baik-baik saja."
Seketika, Alde menangis semakin kencang ketika mendengar kalimat itu. Kalimat yang sama persis seperti apa yang selalu dikatakan oleh kakeknya pada Alde tiap kali ia bermimpi buruk tentang kedua orang tuanya. Kalimat yang selalu bisa membuat dirinya merasa tenang, dan nyaman dalam hitungan detik.
Dengan erat Alde membalas pelukan kakek itu. Saking eratnya hingga membuat sang kakek tersenyum sedih.
"Semua akan baik-baik saja... Alde..."