Riuh percakapan memenuhi kantin kampus siang itu. Banyak mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai jurusan yang menyempatkan diri mereka untuk mengisi perut di sana, tak ingin kelaparan ketika mereka kembali mengasah otak hingga sore nanti.
Di tengah-tengah keramaian itu, terdapat seorang wanita yang duduk sendirian di meja paling pojok. Hanya membeli segelas teh hangat dan kue kue kecil untuk mengisi perutnya. Matanya terus terfokuskan pada buku di tangannya, membaca dengan serius tiap kalimat yang tertera di tiap lembar kertas berwarna putih kusam itu. Tak mempedulikan hiruk pikuk sekitarnya.
"Hei, Alde!"
Panggilan itu membuat sang pemilik nama melepas pandangannya dari buku yang tengah ia baca, menoleh pada seorang wanita yang kini telah duduk di sampingnya.
" Sudah menunggu lama?"
Alde menggelengkan kepalanya. "Hanya lima belas menit kok, Nyla." jawabnya sembari tersenyum tipis. "Jadi, ada urusan apa kau memintaku kemari?"
Seperti mengingat sesuatu setelah Alde menanyakan tujuannya, wanita bernama Nyla itu segera merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponsel miliknya dari dalam saku jaket lalu membuka galeri. Dengan jeli matanya mencari sesuatu di antara ratusan foto yang ada sebelum akhirnya memperlihatkan layarnya pada Alde.
"Ayo temani aku ke sini!"
Alde menatap lamat-lamat foto yang ditunjukkan oleh wanita berambut brunette itu padanya. Dan ketika menyadari ke mana Nyla hendak mengajaknya, kedua alis Alde sudah terangkat tinggi.
"Kau gila?" tanya Alde, memastikan kewarasan sahabatnya.
"Aku tidak gila, aku hanya membutuhkan teman untuk masuk ke dalam tempat itu."
Dengusan lolos dari mulut Alde. Dengan segera ia menggelengkan kepalanya kencang-kencang. "Tidak mau." tolaknya dengan nada tegas.
Salah satu alis Nyla terangkat, "Ayolah." rengeknya pada Alde.
Walau begitu, Alde tetap bersikeras menolaknya. "Aku tak ada waktu untuk pergi ke sana."
"Karna pekerjaan sampinganmu itu?"
Alde menganggukkan kepalanya.
"Ayolah, temani aku ke sana hanya untuk malam ini saja. Aku sudah sangat ingin datang ke tempat itu tapi tidak memiliki teman." bujuk Nyla, bersikeras mengajak sahabatnya untuk ke sana. "Kau sudah berjanji untuk menuruti keinginanku kan?"
Lagi, Alde menggelengkan kepalanya. Ia memang berjanji untuk menuruti keinginan wanita di sampingnya, tapi ia tidak mau menurutinya jika keinginannya adalah hal seperti ini.
Tak habis akal, Nyla terus memikirkan cara untuk menyeret Alde pergi. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, memejamkan mata sembari menautkan kedua alisnya, berpikir keras bagaimana ia bisa membujuk sang sahabat.
"Aku akan mengganti uang gajimu yang dipotong."
Mata yang tengah membaca akhirnya berhenti bergerak.
"Dua kali lipat."
Dengan begitu, buku di tangan Alde pun akhirnya tertutup sempurna. Ia mengulurkan tangannya pada Nyla, dan dengan senang hati dijabat oleh wanita itu. "Deal!"
Senyuman lebar muncul di wajah Nyla, merasa puas karna berhasil merekrut komplotan untuk diajak berbuat dosa bersama.
"Aku tak bisa lama-lama di sini, aku ada kelas lima menit lagi." dengan tergesa-gesa Nyla segera bangkit dari kursinya. "Kalau begitu kujemput kau jam 10 malam di depan gedung apartemenmu, jangan telat!" lanjutnya. Rambut coklat ikalnya yang digerai sudah terkibas ketika ia mulai berlari.
"Ah- hei, kau harus bayar di muka dulu!" jerit Alde namun sayang, tidak didengar oleh Nyla.
Setelah sosok Nyla sudah tak lagi nampak di seluruh jarak pandanganya, Alde meloloskan helaan nafas pasrah.
"Semoga ia tak melupakan janjinya lagi..."
Nyla adalah sahabat kecil yang paling dekat dengan Alde. Ia memiliki penampilan yang tomboy, tidak terlalu menyukai pria dan bahkan sering berkelahi dengan mereka. Walau begitu, ia adalah sosok yang sangat ceria dan baik. Nyla memiliki cukup banyak teman karna sifatnya yang mudah bersosialisasi. Cukup berbanding terbalik dengan Alde yang selalu tertutup dan berwajah muram.
Karna merasa jika sudah tak ada urusan lagi di kantin, Alde segera bangkit dari kursinya dan berjalan pergi. Akan tetapi, ketika ia baru saja mengambil dua langkah maju, tanpa sengaja seorang pria menabrak kencang bahunya. Membuat tubuhnya oleng dan hampir saja terjatuh jika tak ada meja di samping yang menopangnya.
"Maaf." ucap singkat pria itu sebelum kembali berjalan bersama kekasihnya. Tak mempedulikan Alde yang masih berusaha memperbaiki posisi berdirinya.
Alde menoleh ke arah pria itu, memperhatikan lekat dirinya. Manik coklat jernihnya dengan jelas menangkap sebuah tali merah yang terikat di jari kelingking pria itu. Namun, ujung dari tali tersebut tidak berakhir pada wanita yang ia rangkul dengan mesra.
"Seharusnya mereka tidak bersama." bisik Alde,
sebelum kembali melanjutkan langkahnya yang senpat tertunda.
Saat ini banyak sekali benang merah melayang di sekitar Alde. Beberapa ada yang saling terhubung satu sama lain, beberapa ada yang tidak. Dan juga, untuk mereka yang belum memiliki benang tersebut pun ada disekitarnya.
Dengan sedikit terburu-buru Alde berjalan menuju pintu keluar gedung kampus. Menyusuri jalan setapak yang menuntunnya ke belakang gedung untuk tiba pada sebuah taman yang jarang dikunjungi oleh orang.
Dan ketika manik coklat jernihnya melihat sebuah bangku kosong yang tak jauh darinya, senyuman terlukis di wajah tirus itu. Dengan tergesa-gesa Alde segera mendudukkan dirinya di sana, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sebelum menghela nafas lega.
Bangku ini terletak tepat di bawah pohon besar yang tak ia kenali jenisnya. Spot favorit Alde ketika hendak menghabiskan waktu untuk membaca buku.
Semilir angin yang berhembus menggoyangkan dedaunan pada pohon di belakangnya, membuat hati merasa nyaman ketika mendengarkannya. Tak ada siapapun yang berlalu lalang di sekitarnya, membuat tempat ini terasa sunyi dan menenangkan.
Alde menemukan tempat ini ketika ia tak sengaja tersasar saat salah mengambil jalan menuju perpustakaan kampus, hendak mengembalikan buku yang sudah selesai ia baca. Dan mulai saat itu tempat ini menjadi tempat yang akan ia kunjungi ketika memiliki banyak waktu luang.
Bagi orang yang tak terlalu menyukai keramaian, tempat ini adalah sebuah harta karun yang sangat berharga. Mungkin karna jaraknya yang cukup jauh dari jalan utama, membuat orang-orang tak memiliki pemikiran untuk berkunjung kemari. Namun, bagi Alde, tempat yang seperti ini adalah tempat yang sangat cocok untuk beristirahat. Menjauh dari orang-orang, juga benang-benang terkutuk itu.
Alde memperhatikan jemari tangan kanannya. Mengangkatnya tinggi-tinggi agar dapat melihat jari-jari mungil tanpa benang itu lebih jelas.
"Apa benang merah itu akan muncul ketika aku bertemu dengan jodohku?" gumamnya penuh harap.
Dari kecil Alde sudah bisa melihat benang-benang tersebut. Benang merah yang akan saling terikat pada mereka yang ditakdirkan untuk bersama. Benang yang takkan pernah menghilang walau kau gunting sekalipun.
Namun, hanya Alde yang bisa melihat benang tersebut.
Tiap kali ia menanyakannya pada Nyla atau orang-orang di sekitarnya, mereka malah akan tertawa dan menganggap Alde berhalusinasi. Awalnya ia juga berpikir seperti itu. Namun, semakin bertambah dewasanya Alde semakin sadar dirinya jika benang-benang tersebut bukanlah halusinasinya belaka.
Alde bisa melihat benang yang terikat pada jari kelingking orang-orang di sekitarnya. Ia pun mulai menyadari, jika benang merah yang selalu ia lihat itu adalah benang yang akan menentukan pasangan hidup dari masing-masing orang. Semacam benang jodoh yang selalu ada di dalam cerita-cerita novel atau komik romansa.
Namun, ada hal yang Alde benci dari kemapuannya itu.
Tanpa sengaja ia bisa mengetahui jika benang-benang tersebut tidak berakhir pada kedua orang tuanya. Benang yang terikat pada jari kelingking Ayah Alde tidak terikat pada Ibunya, begitu pula sebaliknya. Dan hal kenyataan tersebut lah yang menjadi awal dari kehancuran hidupnya
Memori itu membuat senyum pahit muncul di wajah Alde. Cepat-cepat ia segera menggelengkan kepalanya, berusaha melupakan ingatan yang hanya akan menyakitinya.
"Lebih baik aku lanjutkan membaca buku tadi ketimbang memikirkan hal tidak penting." monolognya.
Alde segera mengeluarkan novel yang sebelumnya ia baca dari dalam tasnya. Membuka halaman yang sebelumnya sudah ia tandai dengan pembatas buku. Kembali membaca tiap kata yang tertera pada lembar kertas yang ada.
Entah sudah berapa lama Alde berada di tempat itu. Ia yang sudah hanyut ke dalam cerita tidak akan lagi menyadari keadaan sekitarnya. Terlalu fokus untuk mendalami imajinasi yang ditawarkan oleh penulis buku tersebut padanya. Hingga...
"Almond."
Suara itu membuat Alde menoleh. Saat ini, dengan jarak tiga langkah dari tempat Alde duduk, seorang pria berdiri. Rambut hitam lurusnya diterbangkan dengan lembut oleh angin. Manik hitamnya yang ditutupi oleh kacamata mengarah lurus pada buku yang berada di pangkuan Alde.
"Huh?" tanggap Alde.
"Buku di tanganmu..." pria itu mulai berjalan mendekati Alde. "...itu Almond kan?"
Ahh... yang dia maksud buku ini ternyata.
Seutas tenyum tipis muncul di wajah Alde. Ia mengangkat buku di pangkuannya untuk memperlihatlannya pada pria itu. "Kau mau ikut baca?"
Pria itu hanya diam di tempatnya, menatap Alde seperti baru melihat seorang wanita untuk pertama kali dalam hidupnya. Manik hitam yang sebelumnya menatap buku beralih menatap wajah Alde, sebelum akhirnya terkunci pada manik coklat jernih miliknya.
Tak kunjung mendapat reaksi balasan dari pria itu membuat Alde menatapnya bingung. "Kau tidak mau membacanya?"
Seperti baru menyadari sesuatu, pria itu segera membuang muka, "Tidak, aku sudah membacanya." lalu melesat pergi tanpa mau menoleh lagi.
Alde mengedipkan matanya beberapa kali. Kekehan lolos dari mulutnya, ia menggelengkan kepalanya sebelum kembali membaca buku di tangannya.
"Orang yang aneh."
Keduanya tidak tau jika pertemuan tersebut adalah sebuah permulaan dari takdir yang akan mengikat mereka.