"Apapun itu, siapapun kamu ... aku tetap menyayangimu, Ser."
"Maafkan aku, Dam. Aku ... sebenarnya, aku sebenarnya, aku ... dan Morish ... masih keturunan dari manusia harimau yang memungkinkan untuk kami berubah wujud di usia tertentu." Serell menggenggam tangan Sadam dengan sangat erat, seolah takut Sadam pergi.
***
"Morish, dia bisa membaca pikiran orang lain, bahkan dari jarak berapa meter dia bisa mencium bau seseorang yang mendekat. Paman Aris, kamu tahu, dia bermaksud jahat -itu yang hendak ia sampaikan tadi."
Sadam kembali pada tempat duduknya semula, menjejeri Serell yang masih sedikit terisak. "Its, OK, lanjutkan, Sayang," sambil mengusap punggung Serell lembut.
"Sedangkan aku? Kau ingat J kemarin?"
Sadam mengangguk, "Iya J, kenapa? Kejadian kuah tumpah? Kenapa? Aku tak mengerti maksudmu, Ser."
"Aku bisa menyembuhkan luka atau sakit yang dialami seseorang, dengan sentuhan tanganku. Sakit itu akan menjalar berpindah melalui telapak tanganku, lalu akan hilang begitu saja setelah beberapa menit."
"Termasuk apa yang kamu lakukan barusan pada punggungku?"
Serell mengangguk, dia sudah tak lagi terisak.
"Tapi sayangnya, aku tak bisa menyembuhkan luka ku sendiri. Seperti yang kau lihat tadi, di kaki ku..."
"Hm ... sejak kapan kau tahu hal ini?"
"Sejak lama aku tahu, ketika Morish mendatangiku dalam mimpi. Dia memegang tombak ... tiga buah tombak yang berbeda. Semula aku tak mengerti apa maksudnya, kemudian semalam dia menceritakan padaku, bahwa tiga tombak itu adalah milik kami -bertiga."
"... tapi adikmu belum lahir, Ser."
"Itulah, aku dan Morish masih belum mengerti akan digunakan untuk apa tombak itu."
"Dimana tombak itu?"
"Aku tak tahu, aku hanya melihatnya sekali dalam mimpi. Morish bilang, seorang laki-laki tua berjubah putih yang memberikan tombak itu, itupun juga terjadi dalam mimpi Morish. Jadi kami berdua tak tahu betul wujud fisik tombak tersebut."
"Bagaimana dengan Papamu?"
"Papa tak pernah cerita apapun, apalagi soal kematian kakek yang mendadak. Aku masih delapan tahun saat kakek tiada ... dan Morish juga tak tahu soal itu, dia sama sekali tak ada kabar selama di George Town."
"Tapi bagaimana bisa, bahkan di rumahmu tak ada barang-barang yang menurutku klenik, jadi ... sepertinya ceritamu tak masuk akal bagiku, Ser."
"Ada, ada banyak barang klenik perlu kau tahu. Semua tertata dan rapi di rumah kakek. Hanya ada nenekku yang tinggal di sana, di perbatasan kota. Paman Aris tinggal tak jauh dari rumah nenek."
"... aku tak pernah merasa ada yang aneh denganmu selama ini, apa kau tidak bergurau, Ser?"
"Aku tak mau kamu tahu, Dam. Karena ... aku takut ..."
"Tidak ... kamu takut aku meninggalkan anak kucing kesayanganku? Haha ... aku tidak takut dengan hewan buas. Ini ... kalung ini buktinya. Aku membunuh buaya yang saat itu nyaris menerkam temanku."
Kabut turun semakin tebal. Dinginnya semakin menusuk tulang, dan Sadam tak memakai jaket hari itu. "Pulang sana, sudah hampir gelap."
"Ah iya, aku harus pulang. Aku akan mencerna semua ceritamu yang ganjil itu, haha.. Jangan terlalu dipikirkan!" Sadam mencangklong tasnya. "Tak peduli kamu manusia setengah dewa sekalipun, aku tetap sayang kamu, Ser."
Sadam memegang kedua bahu Serell lalu mengecup keningnya sekilas. "Besok aku jemput kalau kamu membolehkan."
Serell mengangguk, "Jangan terlalu paaagiii!" teriaknya menambahkan karena Sadam sudah melajukan motornya.
Sepanjang perjalanan pulang, Sadam melajukan motornya sedikit lebih kencang. Dia mendadak tak nyaman setelah keluar dari halaman rumah Serell. Seperti diikuti oleh seseorang namun tiap dia menoleh ke belakang melalui spionnya, kosong, tak ada siapapun yang membuntuti.
Tiba di tikungan terakhir dekat rumahnya, Sadam mulai kesal. Gangguan itu tak terelakkan. Kali ini dia merasa ada orang yang duduk di boncengan motornya, tengah memeluknya kuat dari arah belakang. Bahkan Serell tak pernah serapat itu dengan tubuhnya, membuat dia hampir sesak napas.
"Hah! Apa ini!" Sadam bertingkah aneh. Dia mengibas-ngibas bahu dan punggungnya. Tas ranselnya dia lepas lalu dilemparkan ke jalanan beraspal. Dia sangat yakin, ada sosok yang berusaha merengkuhnya baru saja.
Seperti biasa, kabut semakin naik jelang malam hari. Setelah dirasa benar-benar tak ada siapapun, Sadam kembali mengambil ranselnya lalu dia melanjutkan perjalanan.
Dalam kamarnya, Sadam bergegas membersihkan diri setelahnya dia menemui orang tuanya yang sedang menikmati makan malam. Sadam adalah satu-satunya putra dari Tuan Austin -pemegang jabatan penting di kementrian.
"Dari mana?" tanya ayahnya tanpa menoleh pada putranya.
Sadam menarik kursi makan lalu menyendok sendiri nasi dan beberapa lauk di meja. "Rumah Serell," jawabnya datar.
"Pacarmu? Di mana rumahnya?" tanya tuan Austin menyidik.
"Hm," Sadam hanya mendehem sambil mengangkat kedua alisnya, mulutnya terisi sup brokoli dan wortel yang masih mengepul asapnya. Sejenak dia teringat pada Jihan karena kejadian kuah panas yang tumpah kemarin.
"Di mana rumahnya?" pertanyaan yang sama diulang.
"Oh ... arah menuju pelabuhan, rumah yang memiliki kebun lavender."
"Karsten? Apa pacarmu ... anak Karsten?"
"Hm, ayah kenal?"
"Karsten teman satu angkatan saat high school. Dia pendiam. Ayah pernah sekali datang ke rumahnya waktu itu di ... di dekat perbatasan. Dia tinggal dengan orang tuanya yang juga jarang keluar rumah."
Dahi Sadam mengernyit, terbersit keingintahuannya untuk lebih jauh mengenal keluarga Karsten -orang tua Serell.
"Apa ada sesuatu yang menyebabkan keluarga Karsten jarang bersosialisasi? Oiya, ayah kenal dekat dengan ayah Serell?"
"Secara pribadi, ayah tak tahu ... Karsten baik, dia santun, cukup pintar di sekolah. Tapi banyak teman ayah bilang, keluarganya memiliki seekor harimau putih yang bertubuh besar ... lebih besar dari ukuran normal seekor harimau pada umumnya. Beberapa teman pernah melihat harimau putih itu berjalan mengitari halaman sepanjang waktu seolah dia sedang menjaga rumah dan seluruh penghuninya."
"Jadi ... itu kenyataan atau rumor?"
"Ayah belum pernah melihatnya langsung. Namun pergunjingan warga Giethorn soal harimau putih di rumah Karsten saat itu begitu santer. Itu sebabnya dia dikucilkan dari pergaulan dan jadi pendiam."
"Lalu sekarang, bagaimana, Yah?"
"Berita itu pupus dengan sendirinya semenjak Karsten menikah. Istrinya keturunan orang Timur Asing, entah Asia atau Arab. Tak banyak warga sini yang mengenal istri Karsten ... siapa namanya, ayah lupa."
"Sarah."
"Oh ... Sarah. Iya ayah ingat. Semenjak Karsten dan Sarah menempati rumah baru, sosok harimau putih itu jarang terlihat. Selain itu, saat high school memang penduduk Giethorn masih sepi, belum padat seperti sekarang. Jadi mungkin tergeser oleh kemajuan teknologi dan zaman, berita itu perlahan menguap."
Mendengar serentetan cerita dari sang ayah, membuat Sadam kehilangan nafsu makannya. Semua menjadi sedikit masuk akal sekarang. Hanya sedikit, karena Sadam masih tak mengerti soal kemampuan yang Serell miliki -juga Morish.
"Ayah ... sebenarnya siapa ayah dari tuan Karsten? Apa pekerjaannya ... juga tentang istrinya.."
"Maksudmu, kakek Serell. Hackwood, setahu ayah adalah pengusaha besi tua. Dia sangat kaya di jamannya, hingga dia mulai sakit-sakitan lalu jarang terlihat keluar rumah. Itu saja yang ayah tahu. Tuan Hackwood tinggi dan tampan, ayah selalu mengingat sosoknya yang dermawan terlebih saat ibumu mengandung. Berharap ketika kau lahir dan dewasa, kau lebih mirip tuan Hackwood daripada ayahmu sendiri, haha... impian yang konyol."
***