Sadam kembali melajukan motornya, pergi meninggalkan Serell begitu saja. Menyisakan tanya mendalam di benak Serell, apa benar Sadam berubah karena dia tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Saat itu juga dia merasa menyesal telah mempercayai Morish. Semua ini karena dia terlalu percaya pada Morish yang mengatakan bahwa Sadam dapat dipercaya menyimpan rahasia keluarganya. Serell tak tahu, ada makhluk lain yang sedang mempermainkan jiwa kekasihnya. Dia terlanjur kesal pada Morish.
***
Setibanya di rumah, Serell seketika menggebrak pintu kamar Morish. Perbuatan yang baru pertama kali ia lakukan dengan penuh kesadaran bahwa itu sangat tidak sopan.
Brak! Pintu kamar Morish sukses terbanting menghantam dinding ruangan.
"Ser!" pekik Morish.
Serell tak dapat berkata apapun, nafasnya menderu kencang, naik turun dadanya menandakan emosinya yang begitu memuncak.
"Apa yang terjadi? Kamu kenapa, Ser!"
Serell belum menjawab, dia hanya mengangkat telunjuk, teracung ke arah Morish.
"Kamu ... kamu ... kamu bilang apa ke Sadam?"
"Sadam ...? Aku tak tahu apa maksudmu, tenanglah dulu!"
"Tidak! Pasti kamu mengatakan sesuatu pada dia, ya kan?!"
"Apa sih, aku tak paham maksudmu, serius, Ser!"
"Kamu bilang ... Sadam bisa dipercaya."
"Iya, lalu? Kamu sudah cerita apa saja padanya?"
"Semua Morish! Semuanya!"
"Dan ... bagaimana responnya? Aku yakin dia baik-baik saja, bukan?"
"Morish! Kamu janji tidak lagi membaca pikiran Sadam. Iya, jawabmu! Tapi dengan kamu mengatakan bahwa Sadam bisa dipercaya, itu artinya, sekali lagi kamu telah membaca pikiran Sadam! Tololnya lagi, aku percaya padamu! Aku cerita semua padanya! Tolol ! Tolol !"
"Ser ..." Morish memegang lengan adiknya, menuntunnya untuk duduk agar tenang. Tapi kemudian raihan tangan Morish ditepis dengan kasar oleh adiknya.
"Kamu tidak bisa dipercaya, Morish!"
"Coba jelaskan, Ser! Bagian mana yang membuatmu bisa menuduhku seperti itu!"
Morish mulai naik pitam, Serell tak semudah itu dijinakkan. Nada bicaranya semakin naik, diikuti dengan hardikan tiada henti.
"Kamu memuakkan, Morish! Kamu bermuka dua!"
"Muka dua apa!"
"Aku senang ... Morish ... kamu sudah pulang lagi. Aku senang ... kini aku ada teman bicara lagi. Tapi rupanya, kehidupan di George Town telah banyak merubah tabiatmu. Ya, itu karena aku mengenalmu hanya dua tahun. Selebihnya, kamu pergi dan aku sendirian. Seharusnya ... aku tak berharap banyak padamu!"
Brak!
Drap ... Drap ... Drap ...
Pintu kamar Morish terbanting sekali lagi. Serell langsung berlari meninggalkan kakaknya, dengan dada sesak menahan air mata. Menyisakan Morish yang masih keheranan dengan tuduhan Serell yang bertubi-tubi.
Ada apa dengan dia sebenarnya, pasti karena jelang period -ucap Morish dalam hati.
Pertengkaran antara kakak beradik itu membuat canggung di antara keduanya. Hingga waktu makan malam tiba, baik Morish maupun Serell tidak saling tegur sapa. Tentu hal ini menimbulkan tanya bagi sang mama.
"Kalian, apa baik-baik saja?" tanya nyonya Sarah, menoleh pertama pada Morish kemudian menoleh berikutnya pada Serell.
Keduanya menatap sang mama bersamaan. Dan secara bersamaan pula, keduanya membuang muka kemudian kembali menatap pada piring makanan di hadapan masing-masing.
Sang papa hanya diam tak peduli, sekilas menatap satu per satu anaknya, tak bertanya apapun. Berdehem sebentar, kemudian beranjak pergi meninggalkan meja makan.
"Tak biasanya kalian bertengkar. Ada apa?" masih penasaran, sang mama kembali mengulang pertanyaannya.
Hening yang sama, keduanya tak ada yang mau menjawab.
"Mama dengar tadi siang ada ribut-ribut dari kamar Morish. Apa itu suaramu, Ser?"
Serell menunduk, memainkan sendok sup-nya. Dia tak ingin menjawab apapun. Kenapa tidak kepada Morish saja, pertanyaan itu dilontarkan. Bukankah semua ini penyebabnya adalah dia.
"Masih belum ingin menjawab?" lagi, sang mama bertanya.
Adegan saling lirik antara Morish dan Serell pun terjadi. Keduanya melemparkan tatapan kesal, yang tentu bisa ditebak dengan mudah oleh mamanya bahwa anak-anaknya memang sedang berseteru.
"Morish, ada apa ini?" kali ini Morish jadi sasaran. Dia menghela nafas, bersiap membuka mulut, mengambil vokal pertama, namun Serell langsung berdiri dari kursinya.
"Aku sudah selesai, aku ke kamar, Ma," ucap Serell ketus dengan meninggalkan tatapan tajam pada Morish. Kursinya didorong ke belakang dengan kasar.
"Tunggu, Ser!" cegah kakaknya.
Langkah Serell terhenti, "Apa!" hardiknya.
"Aku ingin bicara ... duduklah," pinta Morish.
"Apa perlunya menanggapimu, hah!"
Serell melanjutkan langkahnya untuk kembali ke kamar. "Ser!" sekali lagi Morish berteriak padanya namun dia tetap melangkah tak peduli.
Akhirnya Morish ikut berdiri dari kursi makannya, dan sedikit melompat menahan Serell.
"Apa sih maksudmu, aku masih belum jelas. Katakan, Ser!"
Menurut Morish, tak ada satu pun urusan atau masalah keluarga yang perlu ditutupi. Dia tak ingin mengulang kekecewaan yang sama seperti di masa kecil mereka.
Mamanya hanya memperhatikan, menunggu reaksi selanjutnya dari Serell. Nyonya Sarah pun penasaran, apa penyebab keributan hari ini.
"Kamu memanipulasi pikiran, Sadam! Aku sudah bilang, jangan campuri dia, Morish. Kau tak menurut, itu sama artinya kamu melanggar janjimu padaku ... dan aku tak suka!"
"Ha? Dari tadi siang hanya nama Sadam ... Sadam ... dan Sadam! Kamu pikir apa yang sudah ku lakukan padanya? Kamu gila!"
"Sudahlah, mengaku saja! Kamu membodohiku ... maksudmu membodohiku untuk apa, aku sudah tahu!"
Nyonya Sarah berdiri hendak menengahi perdebatan di antara kedua anaknya -ditambah lagi, Serell terus mengacungkan telunjuknya pada Morish.
"Sebentar, Serell, tenangkan dirimu. Memangnya apa yang terjadi dengan sikap Sadam, hingga kau terus mencerca kakakmu dengan tuduhan yang ... yang ... yang mama rasa tak mungkin Morish lakukan."
Kali ini Serell meluruskan acungan telunjuknya, masih mengarah pada kakaknya. Emosinya memuncak karena gemuruh di dadanya tak kunjung keluar.
Sedikit sesak rasanya bertengkar dengan saudara sendiri. Apalagi ini menyangkut orang yang dia cintai, dan Serell bimbang antara membela Sadam yang bersikap kasar padanya ataukah membiarkan Morish yang menurutnya sudah mempermainkan dirinya.
"Serell, aku minta maaf. Tapi apapun itu aku tak melakukan apapun pada Sadam."
Morish melunakkan nada bicaranya. Dia tak ingin berlarut-larut untuk meladeni amarah Serell. Dia bersedia mengalah dan menerima konsekuensi agar dia dapat kembali akur dengan adiknya.
"Ser," mamanya membelai lembut ujung kepala Serell, "apapun yang Morish lakukan ... mungkin itu tidak disengaja."
"Ha? Tidak sengaja? Mama pikir apa yang sudah Morish lakukan?"
Benar -Morish ingin tahu penyebab inti pertengkaran ini. Tuduhan Serell seharusnya masuk akal. Dia diam, menunggu.
"Apa yang sudah Morish lakukan, Ser?" tanya mamanya.
"Dia bilang ... Sadam bisa dipercaya. Nyatanya, dia menjebakku, Ma. Sekarang Sadam mengacuhkanku, dan setelahnya Morish bisa dengan mudah mendekatinya. Bukan begitu ... kakakku tersayang!"
Morish dibuat terhenyak dengan pernyataan adiknya. Bagaimana mungkin bisa Serell punya pemikiran sedangkal itu. Antara dirinya dengan Sadam, ah tak pernah terlintas keinginan untuk merebut kekasih adiknya itu. Jelas ada yang tak beres yang telah terjadi pada diri Sadam, Morish bisa merasakan hal itu. Tapi dia tetap bertahan pada janjinya, tidak akan lagi membaca pikiran Sadam. Jadi biarlah dia akan mencari tahu sendiri setelah ini.
"A- Aku mendekati Sadam? Kenapa kamu tega berpikiran seperti itu padaku, Ser!"
***