Chapter 17 - Don't Read

Sebentar ingatannya tentang Sadam teralihkan karena penemuan buku hitam yang rupanya sudah lama mengendap di kardus kamarnya. Serell merebahkan badannya, ingin melanjutkan lamunannya menunggu kantuk datang. Kamarnya sedikit gelap hanya diterangi cahaya kekuningan dari lampu tidur di sisi ranjangnya.

Tak lama dia terlelap, seperti ada yang membelai kepalanya agar lekas terpejam. Seekor harimau putih tak kasat mata tidur melingkarkan tubuhnya di lantai tepat di dekat kaki Serell. Dia sangat jinak seperti anak kucing yang menggemaskan. Menjaga nyenyaknya tidur Serell, sigap dalam penjagaannya.

***

Lima hari berlalu dan tak ada yang spesial bagi Serell. Dia bergegas pulang ke rumah setelah sekolah usai, berdua-duaan dengan kakaknya sepanjang waktu di dalam kamar Morish. Larut dalam diskusi panjang demi memecahkan misteri tulisan di buku hitam yang ia temukan.

"Ini seperti mantra, jika dilihat dari polanya." Morish memutar-mutar pena yang melingkari jarinya. Keduanya duduk bersampingan di lantai dengan coretan kertas dimana-mana.

"Mantra untuk apa?"

"Belum bisa ku tebak, tapi kamu tahu tidak ..."

"... apa?"

"Aku sudah lima hari ini mimpi aneh."

"Mimpi apa kamu?"

"Aku mimpi melihatmu mengejang lalu kemudian kau berubah menjadi harimau putih. Tidak sekali mimpi itu datang. Puncaknya tadi malam. Aku yakin tadi malam aku tidak sedang bermimpi ..."

"Memangnya ada apa semalam?"

"Semalam, uumm... aku sebenarnya tiba-tiba merasa bulu kudukku meremang. Aku yakin ada yang tak beres jadi aku putuskan untuk tidur bersamamu. Sekitar pukul dua, aku membuka pintu kamarmu dan aku ..."

"Apa? Jangan-jangan kau melihat bayangan hitam itu lagi?"

"Lebih! Lebih menakutkan dari hantu hitam sialan itu."

"Ha? Lalu apa yang kau temukan di kamarku? Apa saat kau membuka pintu, aku kentut terlalu keras tanpa ku sadari, hmmppfft... hahaa...!"

"Sialan! Aku serius, Ser!" Morish mendorong kepala adiknya karena ucapan konyol Serell barusan.

"Haha.. kau terlalu tegang, jadi penglihatanmu selalu melebih-lebihkan pikiranmu sendiri."

"Tidak.. aku benar. Aku tidak mimpi. Aku melihatnya sangat jelas, bahkan dua kali aku sampai harus mengucek mataku."

"Coba jelaskan, 'dia' seperti apa?"

"Dia seperti ini!" telunjuk Morish mengacung pada halaman terakhir buku yang bergambarkan harimau melompat itu.

Alis Serell menyatu, "ada harimau di kamar ku? mana mungkin, kau mengkhayal!"

"Dia tidur tepat di dekat kaki mu. Dia sempat terbangun dan menolehkan kepala berbulunya ke arahku. Aku melompat mundur lalu ku sentakkan daun pintumu keras-keras. Apa kau tidak mendengarnya?"

Serell menggeleng pelan, masih membingungkan baginya soal cerita Morish.

"Kamu tidur di kamarku nanti malam. Kita bisa mengetahuinya bersama tentang 'si dia'. Aku curiga ini semua ada kaitannya dengan buku ini. Pemilik buku ini mungkin leluhur kita, mungkin kakek dari kakeknya kakek.."

Morish mengiyakan sembari mengemasi kertas-kertas yang berserakan dan mengumpulkannya dalam satu tumpukan rapi. "Ini sulit karena kita hidup di era modern. Sedangkan sandi-sandi ini sangat tua umurnya, aku rasa."

Setelah makan malam selesai, Morish memboyong selimut dan guling kesayangannya ke kamar Serell. Tak lupa buku hitam itu dia sematkan di lipatan ketiaknya. Segera dia berlari menyusul adiknya setelah selesai tugasnya mencuci piring.

Interaksi keduanya dengan sang orang tua terbilang jarang. Mereka bukan tipikal penyuka gurauan dan hanya memperbincangkan topik penting seputar pendidikan. Selebihnya, Morish dan Serell dibebaskan begitu saja, tidak terkekang layaknya anak gadis pada umumnya.

"Hilang kantukku, disini lebih cocok untuk mengobrol daripada tidur, hahaa.." canda Morish.

"Kita bisa main halma sampai pagi, bagaimana?" tawar Serell.

"Kau bisa tidur di kelas besoknya, hahaa.. lalu kau dihukum berdiri di lapangan sepanjang siang."

"Aku bisa pura-pura pusing, lalu pergi ke ruang perawatan dan melanjutkan tidurku di sana, hahaa ... tak ada yang bisa mengatur-aturku."

"Dasar bebal! Hahaa!"

"Aku belajar darimu, bukan! Hahaa!"

"Oh, hei, Sadam apa kabar? umm.. maaf, maksudku, hanya ingin tahu bagaimana tentang kalian?"

"Aku tak peduli. Aku tak mau tahu lagi tentang dia." Serell menekuk kedua kakinya kemudian menyandarkan dagunya di lutut kanan.

"Dia sudah berubah, Morish."

Morish diam, dia menunggu kelanjutan cerita Serell. Setidaknya agar sang adik mau menumpahkan semua isi hatinya. Dia siap mendengarkan dan membantu jika Serell minta.

"Dia menemuiku di kolam, minggu lalu. Matanya menatapku tajam, penuh kebencian. Lalu aku di dorong ke air ... kau tahu kan, aku tak bisa berenang. Dan itu membuatku sakit hati, sangat sakit hati!"

Tangan Morish terangkat, menutup mulutnya yang terbuka lebar. Matanya membulat tak percaya, Sadam yang dielu-elukan banyak orang karena kepiawaiannya memperlakukan perempuan, kenapa justru menyakiti adiknya -pacarnya sendiri.

"Aku minta maaf, Ser," dibelainya ujung kepala Serell sekedar agar adiknya tahu, bahwa dirinya turut bersimpati atas kejadian yang tidak mengenakkan itu. "Tapi kamu baik-baik saja setelahnya?"

Serell mengangguk, "Ya, aku segera ditolong oleh teman-temanku."

Hening diantara keduanya. Serell masih memeluk kedua lututnya dengan tatapan menerawang. Lidahnya memainkan permukaan bibir atas dan bawahnya bergantian, sesekali dia menggigit lembut bibir bawahnya sendiri, lalu rautnya berubah manis dan senyum sendiri setelahnya.

"Aku ingat, bagaimana Sadam dulu menciumku," pengakuan itu terlontar begitu saja sebab Morish mengamatinya intens sedari tadi.

"Bagaimana rasanya dicium laki-laki, Ser?" Morish merubah posisi duduknya, menghadap lurus begitu ingin tahu jawaban Serell.

Serell tersenyum, muncul niat jahilnya menggoda sang kakak. "Kamu benar ingin tahu?" nadanya sengaja dibuat serius.

Morish mengangguk cepat, dia belum pernah berpacaran sebelumnya. Tinggal di asrama dengan peraturan yang ketat membuatnya tak banyak mengenal teman pria.

"Rasanya dicium itu ... uu .. mm ... seperti ada kupu-kupu terbang di perutmu, hihi," Serell terkekeh geli melihat mimik polos kakaknya.

"Kupu-kupu? Apa kau bilang? Kupu-kupu? Iihh.. aku jijik dengan kupu-kupu!" gidik ngeri Morish membayangkannya.

"Hahaa... lalu, kalau kau jijik?"

"Aahhh! Aku tak mau dicium laki-laki! Pasti rasanya mengerikan! Hiihhh..."

"Hahaha! Morishhh! Kau polos sekali, haha.." Serell tertawa puas, bulir bening tertitik di sudut matanya. Dia memegangi perutnya yang kaku karena terus tertawa. Dia berhasil mengerjai kakaknya.

"Kau menertawakanku! Aih, menyebalkan! Aku kan memang takut kupu-kupu.."

"Ya.. aku tahu phobia mu terhadap kupu-kupu. Padahal menurutku dia serangga yang imut dan cantik."

"Sialan! Membicarakannya saja sudah membuatku mual. Aku tak mau dicium laki-laki. Rasanya pasti seperti dicium kupu-kupu. Eeuuhh!"

"Hahaa, Morish! Kau lucu! Kenapa tadi kau menanyakan hal itu padaku, membuatku tak bisa berhenti tertawa."

"Hih! Aneh. Jika bukan karena kamu adikku, aku sudah memukulimu dengan buku ini sampai kepalamu gepeng mirip sayap kupu-kupu!"

"HAHAHAA!" Tawa Serell semakin terpingkal, dia terjungkal ke kanan saking kerasnya guncangan tubuhnya.

"Aku heran padamu, Morish. Kenapa kamu lahir lebih dulu, menjadi kakakku, sedangkan untuk masalah sepele seperti ciuman dengan laki-laki saja kau belum pernah merasakannya! Hahaa... harusnya kau masih jadi bayi saja sekarang."

***