Chapter 12 - Adu Domba

Morish dibuat terhenyak dengan pernyataan adiknya. Bagaimana mungkin bisa Serell punya pemikiran sedangkal itu. Antara dirinya dengan Sadam, ah tak pernah terlintas keinginan untuk merebut kekasih adiknya itu. Jelas ada yang tak beres yang telah terjadi pada diri Sadam, Morish bisa merasakan hal itu. Tapi dia tetap bertahan pada janjinya, tidak akan lagi membaca pikiran Sadam. Jadi biarlah dia akan mencari tahu sendiri setelah ini.

"A- Aku mendekati Sadam? Kenapa kamu tega berpikiran seperti itu padaku, Ser!"

***

Tak ada sahutan lagi, Serell berbalik dengan kasar menuju kamarnya. Kakinya menghentak-hentak, memukul lantai hingga terdengar suara berdebum keras. Nyonya Sarah dan Morish hanya memandangi punggungnya, tak lama terdengar suara gebrakan pintu dari arah kamar Serell.

"Jadi akar masalahnya ... karena Sadam?" tanya nyonya Sarah dengan pandangan tertuju pada Morish.

"Ya, Ma. Tapi jujur Morish tak mengerti maksud Serell ... kan mana mungkin, Ma. Memangnya Morish kurang kerjaan."

"Hm ... tadi pagi, Mama menangkap sesuatu yang tak lazim dari sikap Sadam. Dia sangat aneh, tak seperti biasanya."

"Sadam kemari tadi pagi?"

"Iya ... dia mungkin hendak menjemput Serell. Hanya saja, dia membunyikan klakson berulang kali dengan kencang, mengagetkan burung-burung Mama ... juga termasuk Mama dan Henry."

"Lalu?"

"Kemudian Mama mendatanginya, menegurnya agar dia sedikit berlaku sopan. Lagipula tak biasanya Sadam seliar itu. Dia anak yang sopan."

"Iya, dia selama ini selalu bersikap baik."

"Lantas setelah Mama menegurnya ... kamu tahu apa yang terjadi?"

"Apa, Ma?"

"Dia melengos, mendengus kesal pada Mama. Kemudian dia melajukan motornya dengan cepat meninggalkan Mama tanpa berucap apapun."

"Hm ... aneh! Sadam kenapa bisa seaneh itu."

"Dan ... yang Mama lihat, tatapan matanya sangat tajam. Seperti bukan Sadam. Dia seperti orang lain."

"Oh, mungkin Serell juga tidak tahu hal itu. Morish akan masuk ke kamarnya, Ma."

Tok ... Tok ... Tok ...

"Boleh masuk?" suara Morish meminta ijin dari balik pintu kamar Serell.

Tak ada jawaban, sehingga Morish memutuskan untuk mendorong pintu kamar adiknya perlahan. "Seerr ... aku masuk ..." ucapnya lirih.

Di dapatinya Serell sedang melamun menatap ke luar jendela kamar. Dia merapatkan mantel bludrunya, hingga menutupi leher. Angin malam yang dingin sangat menusuk tulang. Aliran air dari kanal persis di sebrang jendelanya mengalun tenang, membuat Serell terhanyut dalam kedamaian.

"Ser ... aku minta maaf, bisa kita bicarakan semua ini dengan baik-baik?" sapa Morish, langsung duduk di kursi kecil dekat meja rias.

"Aku capek, Morish. Aku tak ingin berdebat apapun lagi."

"Perlu kamu tahu, semua yang kau tuduhkan, itu salah. Mama bilang, sikap Sadam memang sudah aneh sejak pagi tadi."

"Sudahlah, aku salah telah menceritakan semuanya tanpa filter pada Sadam. Dia sudah tak menginginkan aku lagi. Tadi di sekolah dia meninggalkanku begitu saja. Mungkin dia malu atau takut setelah mengetahui siapa aku -dan kamu, yang sebenarnya."

Morish beranjak perlahan, menjejeri adiknya duduk di bahu jendela, sama-sama memandang ke arah luar yang sedikit gelap. Temaram lampu hias yang berkelap-kelip membuat syahdu suasana.

Keduanya saling diam, larut dalam khidmat malam yang tenang. Hingga akhirnya Morish terkesiap karena melihat ada sepasang mata berwarna merah yang mengintip dari balik semak-semak. Sosok itu menghilang dengan cepat ketika beradu tatap dengan Morish.

"Hei, siapa kamu!" Morish berdiri melongok ke luar jendela. Dia berteriak ke arah bayangan yang menghilang.

"Ada apa?" Serell kebingungan. Dia turut memperhatikan semak-semak seperti Morish, tapi tak mendapati apapun.

"Hei! Jangan kabur!" Morish nekat melompat keluar jendela. Dengan bertelanjang kaki, dia berlari mengejar makhluk itu hingga jembatan. Langkah cepatnya seperti tak tertahan.

"Morish! Tunggu!" Serell menyusulnya, berlari membuntuti sang kakak. Dia pun turut bertelanjang kaki.

Gerimis turun tepat di sisi ujung jembatan. Jalanan seketika licin terlebih jembatan kayu mulai dibasahi air hujan. Morish berhenti mendadak karena menyadari dia sudah jauh dari rumah dan sosok yang dikejarnya berlari sudah sangat jauh. Serell yang berlari di belakang kakaknya terpaksa mengerem lajunya, menjadikan kepalanya beradu dengan punggung Morish.

Morish pun jatuh terjerembap ke depan akibat dorongan dari belakang, disusul Serell juga ambruk menimpa tubuhnya.

"Aduh, Ser! Badanmu berat tau, cepat minggir!" seru Morish mendorong-dorong Serell agar segera beringsut dari tempatnya.

Serell bangkit perlahan, mencari pijakan yang aman agar tak terpeleset. Dia kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Morish berdiri.

"Uh.. basah semua bajuku," Morish kesal sambil menarik-narik kemeja blanket kotak-kotak yang ia kenakan.

"Ayo pulang," ajak Serell. "Memangnya siapa yang kau kejar tadi?" lanjutnya.

"Entahlah, dia hitam dan matanya merah. Aku rasa dari tadi dia mengintipmu namun kamu tak menyadari itu."

"Hah? Apa iya? Seperti apa dia?"

"Dia lebih mirip ... emm ... dia tinggi dan sosoknya seperti laki-laki."

"Matanya merah? Seperti bola api, begitu kah?"

"Iya ... emm ... seperti kilatan merah, aku tak bisa menjelaskannya, susah!"

" ... seperti laki-laki? kamu yakin?"

"emmm ... ya, dan ... aku pikir itu tadi ... itu tadi lebih mirip ... S- S- ..."

"Siapa?"

"Mirip ... emm ... S- Sadam ...!"

"Hah! Kamu mimpi! Huh, bilang saja kamu benar-benar suka padanya sampai kamu terbayang tentang dia. Jangan-jangan makhluk yang kamu kejar itu hanya halusinasi mu saja, mengalihkan fokus agar aku tak marah lagi, ya kan?"

"Ck! Terserah kamu saja! Aku malas berdebat lagi! Masalahnya sekarang ... ada yang lebih penting dari Sadam."

"Apa?"

"Bagaimana cara kita masuk ke rumah? Tak mungkin kan memanjat jendela kamarmu. Lewat pintu depan rasanya juga sudah dikunci. Aduh ... bagaimana ini?"

Serell menepuk dahinya keras, dia juga tak memikirkan bagaimana cara mereka bisa kembali masuk. "Ah, kita seret bangku panjang itu hingga ke bawah jendela. Bagaimana?"

"Hm, ide bagus. Ayo, sebelum Mama sadar jika kita pergi keluar malam-malam."

Setelah berhasil menggotong kursi taman yang berat, keduanya memanjat bergiliran untuk masuk ke kamar melalui jendela Serell.

"Aku ngantuk, sebaiknya aku kembali ke kamar." Morish meninggalkan adiknya lalu menutup pintu kamar Serell dari luar.

Jendela belum tertutup, tirai putih tipis diterpa angin, sepeninggal Serell ke kamar mandi untuk mencuci kaki. Dia lupa menutup rapat kaca jendelanya, lalu malah naik ke ranjang dan menarik selimut bersiap untuk tidur.

"Sstt ... Serell, sstt ... sstt ...!"

Sebuah suara berbisik memanggilnya dari luar jendela. Saat itu Serell tidur membelakangi jendela, seketika membalikkan badan. Dilihatnya ada siapa di luar sana. Dia terduduk sebentar, namun tak ada siapapun.

"Siapa?" tanyanya lirih sembari mengedarkan pandangan ke arah luar. Dia sampai harus menyibakkan tirai untuk mencari sumber suara.

Akhirnya dia berdiri di balik jendela, berdiri mematung dengan pakaian tidurnya. Tepat di kursi taman yang ia seret tadi dengan Morish, dia melihat bayangan laki-laki tengah duduk berdua dengan seorang yang tak ia kenal.

"Dam, itu kah kamu?"

Matanya sedikit buram karena lelah. Setelah mengerjap sesaat, dia yakin bahwa yang ia lihat adalah kekasihnya -Sadam.

"Dam! Sedang apa kamu malam-malam di sini. Siapa dia?" setengah berteriak Serell menuding ke arah Sadam.

Bukan, itu hanya bayangan, sosok yang bersama Sadam itu hanya makhluk tanpa jiwa. Dia menjelma menjadi perempuan berparas cantik, sedang mengusap ujung kepala Sadam. Tatapan mata Sadam kosong dan seolah pikirannya juga kosong. Dia menuruti semua keinginan sosok perempuan itu yang sengaja menari-nari tepat di hadapan Serell.

"Apa aku tidak salah lihat, ha?"

Sosok perempuan itu menyeringai, menuntun tangan Sadam, dan terus mengayunkan ke atas. Kakinya yang gemulai, membelok ke depan dan belakang, keduanya menari dalam gelap. Kemudian menghilang ke dalam semak, dan Morish membatu karenanya.

***

"Adu domba, berhasil sekali lagi, Tuan. Perempuan bernama Serell itu sudah kehabisan kesabaran menghadapi kakaknya. Dan laki-laki ini, aku terlanjur jatuh cinta padanya. Akan ku tahan dia di kamarku, ku jadikan budak untuk melayaniku. Bagaimana Tuan ... Aristian?"

"Hahaha ... ya ya, kau ku ijinkan memelihara dia sesukamu. Sekarang tinggal bagaimana caranya menghancurkan Karsten dan Sarah."

***