"Kamu bagaimana bisa hampir tenggelam? Kamu sengaja lompat gara-gara Jihan menawarimu berlatih bersama?" tangis Margin memeluk Serell, bersyukur temannya itu tak cedera.
Serell hanya diam. Dia tak ingin kedua temannya termasuk murid lainnya tahu bahwa Sadam telah mendorongnya ke dalam kolam. Semua tahu trauma Serell terhadap air, bahkan kekasihnya sudah pasti hafal itu. Jika Serell mengatakan yang sesungguhnya maka Sadam bisa mungkin mendapat skors sedangkan bulan depan rentetan ujian akan dimulai. Serell menggeleng lembut diiringi senyum untuk menyudahi kekhawatiran teman dan gurunya.
***
Sepasang manik mata masih terjaga menengadah menatap langit-langit kamar. Pandangannya kosong, pikirannya berkelana. Batinnya berkecamuk mengingat peristiwa tadi siang, semua terjadi sangat cepat diluar kuasanya.
Gambaran Sadam berjalan mendekatinya dengan cepat, lalu dengan ekspresi datar nyaris tanpa emosi berdiri di hadapannya. Serell tak menaruh curiga apapun karena selalu berusaha berpikir positif sekalipun Sadam memang sudah kelewat aneh menurutnya.
"Itu bukan dia ... mau aku tidak percaya seribu kali, sepertinya memang itu bukan dia," gumam Serell memeluk boneka anjing snoopy putih pemberian Sadam tahun lalu saat mereka awal jadian.
"Ser, sudah tidur?" bisik Morish melongok dari pintu kamar tanpa mengetuk pintu takut mengagetkan adiknya.
"Masuk saja," tukas Serell cepat. Dia tak menemukan alasan untuk marah berlarut-larut pada kakaknya. Sepertinya memang semua yang terjadi pada Sadam, bukan atas karena perbuatan Morish yang doyan membaca dan mempengaruhi pikiran lawan bicaranya.
"Kemari," ditepuknya pelan kasur lalu disibaknya lembut selimut tebal yang menghalangi, memberikan ruang agar Morish duduk di sebelahnya.
"Aku sedang membaca komik bagus dan ... aku pikir ini bisa kamu baca dulu," tangan Morish terulur menyerahkan sebuah buku berhalaman tidak terlalu tebal.
Serell menerimanya dengan ragu. Membaca judulnya dalam hati kemudian dahinya mengernyit. Dia melempar pandangannya pada sang kakak yang masih berdiri berjarak darinya.
"Kamu ... pfftt ..." Serell mengatupkan bibirnya sekuat mungkin agar tawanya tak meluncur. Dia takut Morish tersinggung.
"Eh, kenapa? Kamu ...?" Rupanya Morish juga sama, dia menahan tawa karena ragu menertawakan hal yang sama dengan adiknya.
"Kamu baca ini? Mmm.. maksudku... kamu baru baca?" tanya Serell menggelitik rasa penasaran Morish.
"Ha? Iya. Memangnya kenapa?" tanpa menunggu lama, Morish duduk melipat kakinya di sebelah Serell, menatapnya serius.
"Aku sudah baca ... haha ... ini kan punyaku ... chapternya sudah lama tamat. Itu, aku bahkan masukkan ke dalam kardus untuk ku berikan pada perpustakaan kota. Haha.. kamu kuper! Yang begituan masih dibaca. Dapat darimana hahaa..."
Morish diam melihat Serell terbahak, "oh ... haha, jadi ini milikmu? ahh bodohnya aku!" tawanya hingga menitikkan air mata. Dia baru sadar ketika membuka halaman pertama komik itu terdapat inisial huruf S melingkar disertai tanggal tertera di bawahnya.
Entahlah, hanya guyonan sederhana tapi mampu mencairkan ketegangan yang terjadi di antara keduanya selama beberapa hari terakhir.
"Kamu mau membaca serial lainnya? Ini ... ambil. Buatmu saja." Serell bangkit membongkar timbunan buku yang sudah dipacking rapi dalam kardus. Mata Morish berbinar melihatnya seolah menemukan harta yang berharga.
"Ini? Sepertinya ini bagus. Bagaimana kualitas ceritanya?"
"Ah iya, itu juga kesayanganku. Tapi aku sudah download versi digital, jadi aku dapat membacanya di komputer kapanpun aku mau. Kamarku butuh penyegaran. Komik-komik itu ... biarlah berganti pemilik."
Morish mengangguk, tangannya memeluk beberapa buku yang sudah ia pilah, "aku akan habiskan baca semua ini. Besok atau lusa, kamu bisa menyumbangkannya ke perpustakaan. Tunggu aku selesai. Okay!"
Serell masih terus sibuk membungkuk, mencari dan menggali hingga tumpukan buku terbawah. Dia tak pernah sadar, betapa hobi membacanya sudah menjadi candu kini. Morish sudah berjalan menuju pintu dengan langkah cepatnya, kemudian Serell memekik tajam, "Morish! Look!"
"Ada apa?" tolehnya dengan cepat pada sang adik yang diam terpaku memegang sebuah buku hitam usang.
"Aku tak pernah merasa punya buku ini. Apa ini?" disodorkan buku tua itu pada Morish.
Lapisan covernya berbalut kulit tebal, entah kulit sapi atau lembu -halus dengam sedikit bulu tipis mirip bludru. Terdapat kuncian dengan kancing di sisi kanannya. Lembaran dalam buku itu berwarna coklat muda mungkin awalnya berwarna putih namun sudah dimakan usia hingga nyaris lapuk.
"Buku ini seperti tidak asing bagiku. Tapi dimana aku pernah melihatnya.." pikir Morish.
"Buka! Ayo kita lihat apa isinya!" desak Serell setengah berbisik.
Angin lembut mendesis berputar masuk melalui jendela kamar Serell. Keduanya mendadak bergidik ngeri, "Kamu yakin?" tanya Morish menelisik.
"Apa akan ada monster yang keluar dari dalam buku ketika membukanya?"
"Don't know, mungkin peri yang mampu mengabulkan tiga permintaan, hmmppff.. " Morish terkekeh menggoda adiknya yang mulai sedikit ketakutan.
"Cepat buka!"
Hening tercipta, keduanya menatap ke arah buku hitam yang dipangku oleh Morish. Perlahan kancing pengaitnya dilepas lalu Morish membalik cover tebalnya perlahan. Tak ada tulisan apapun di halaman pertama. Kertasnya juga sudah kusam. "Pasti buku ini sudah berusia puluhan ..." desis Morish.
Dia melanjutkan membuka lembar demi lembar buku itu perlahan. Serell menempelkan bahunya mendekat dengan sang kakak, penasaran tapi juga cemas.
Hawa dingin seketika memuncak. Keduanya tak menyadari sepasang mata bersudut lancip dengan wujud samar tengah siaga di sudut kamar dekat tirai jendela.
Lembar demi lembar tipis berikutnya, ada tulisan yang tak dapat mereka mengerti. Deretan angka romawi, simbol-simbol, beberapa huruf ibrani lalu garis mirip sandi morse. Semua tersusun membentuk pola seperti kalimat bila dibaca. Sayangnya lembar berikutnya masih sama dan tak ada bahasa yang bisa mereka pahami.
"Ini apa? Apa ini bahasa mumi jaman firaun?"
Morish melirik sinis, " Hush! Bukan! Mana mungkin buku seperti itu bisa mampir di sini. Itu hiroglif, dan tidak begini bentuk tulisannya."
Serell mengangguk cepat, dia tahu bentuk hiroglif dari beberapa film yang pernah ia tonton. Dan memang tulisan di buku itu tidak sama. Tangannya membalik buku itu dengan cepat hingga mencapai halaman akhir.
Betapa terkejutnya mereka, halaman terakhir buku itu terdapat sebuah goresan kasar pensil membentuk gambar seekor harimau loreng sedang melompat.
"Harimau ... putih. Dia yang ku lihat di mimpiku," ujar Morish menoleh sekilas pada Serell.
"Iya, aku pernah melihatnya juga," balas Serell.
"Kita harus segera mencari tahu."
"Tapi bagaimana. Bahkan tulisan-tulisan itu saja kita tak paham."
"Aku akan mempelajarinya besok. Kursus kewanitaanku libur selama pekan depan, aku punya banyak waktu."
"Aku akan pulang sekolah lebih cepat untuk membantumu."
"Jangan ceritakan pada siapapun!"
"Huum ... termasuk Papa dan Mama. Iya, hanya diantara kita. Okay!"
Morish meletakkan buku hitam itu di tumpukan teratas di antara komik-komik yang sudah ia kumpulkan tadi. Dia bergegas kembali ke kamarnya -masih tak sadar dengan keberadaan sosok lain yang menunggu di sudut kamar.
Sebentar ingatannya tentang Sadam teralihkan karena penemuan buku hitam yang rupanya sudah lama mengendap di kardus kamarnya. Serell merebahkan badannya, ingin melanjutkan lamunannya menunggu kantuk datang. Kamarnya sedikit gelap hanya diterangi cahaya kekuningan dari lampu tidur di sisi ranjangnya.
Tak lama dia terlelap, seperti ada yang membelai kepalanya agar lekas terpejam. Seekor harimau putih tak kasat mata tidur melingkarkan tubuhnya di lantai tepat di dekat kaki Serell. Dia sangat jinak seperti anak kucing yang menggemaskan. Menjaga nyenyaknya tidur Serell, sigap dalam penjagaannya.
***