"Bukan apa-apa!" Serell lekas menutup kembali roknya. Dia serius bahwa kram lebih menyakitkan dari pada luka itu.
Sikap Serell tentu membuat Sadam heran. Luka itu sepertinya sudah mengering cukup lama dan tersisa bekasnya saja. Itu sebabnya Serell tak peduli dan hanya meringis merasakan kram di kakinya.
Tanpa menunggu persetujuan Serell, Sadam mendadak menggendongnya lalu mendudukkan kekasihnya di pavement di bawah pohon. Dia pun berbalik menuju motornya dan menepikan dengan hati-hati di dekat Serell duduk.
"Kemarikan, aku bantu pijat," ucap Sadam dengan cepat meraih kaki kanan Serell lalu diletakkan di pangkuannya.
Sedikit lama, tak ada ujaran apapun dari keduanya. Hanya sesekali desahan menahan sakit yang keluar dari mulut Serell. Padahal gerakan tangan Sadam begitu pelan dan penuh kehati-hatian.
"Coba kamu gerakkan kakimu perlahan.." perintah Sadam diikuti Serell yang langsung menggoyangkan kakinya ke depan dan diputar-putar pada pergelangan kakinya.
"Masih kaku?" tanya Sadam sambil terus memperhatikan Serell.
"Better," jawabnya diiringi senyuman.
"Mau langsung pulang atau tetap makan arancini?" disibaknya rambut Serell ke belakang telinga.
"Arancini!" jawab Serell kembali bersemangat.
Setelah memeriksa motornya sejenak, Sadam merasa yakin untuk melanjutkan perjalanannya. Kedai arancini berjarak tak terlalu jauh dari tempat mereka mengalami laka. Mungkin tujuh menit, karena Sadam tak mungkin mengebut kali ini.
"Ser.." sambil mengunyah makan siangnya, Sadam memberanikan diri untuk bertanya. "Itu tadi aku lihat ... kakimu ... kenapa? Kalau aku boleh tahu."
"Hm ... tak apa, Dam." Serell salah tingkah. Dia menarik-narik bawahan seragamnya agar tak menarik perhatian kekasihnya.
"Itu bukan karena jatuh atau digigit serangga, Ser ..."
"Memang bukan." Serell berusaha mengalihkan perhatian dengan menyodorkan gelas jus mangganya pada Sadam.
Sadam menolak, "Lalu?" dahinya mengernyit. Dia serius ingin tahu.
"Dipukul Papa dengan pengibas nyamuk," jawab Serell santai masih dengan kunyahan arancini dalam mulutnya.
"What! Kenapa sampai dipukul? Membekas, Ser!" mata Sadam membulat dan dia sengaja meraih ujung rok Serell lalu sedikit membukanya. Dia ingin memastikan luka itu sekali lagi.
"Saddaamm!" pekik Serell menampik tangan kekasihnya. Dia tak suka jika Sadam terlalu mencemaskannya. Bukan, dia juga tak ingin Sadam menaruh prasangka buruk pada orang tuanya.
"Oh ... maaf ... Ser, aku hanya ingin ..." terbata Sadam karena merasa telah mempermalukan Serell.
Dia merapikan kembali rok Serell dengan menepuk paha kekasihnya tipis-tipis. "Ini hanya luka biasa, apa maksudmu, apa sengaja ingin membuka pakaianku?" dengus Serell kesal.
"Ya Tuhan, Ser. Tidaakk.. aku hanya mengira itu luka yang parah. Aku bahkan tak tahu jika Papamu penyebabnya."
"Lupakan, Dam. Ini sudah tiga tahun yang lalu. Yang aku herankan, luka ini tak ujung hilang bekasnya."
"Bagaimana kamu bisa dapatkan pukulan itu? Apa memang seperlu itu memukul kamu, Sayang?"
Serell menggeleng perlahan, menetralkan isi pikirannya agar dia tetap tenang dan tidak menambah kecemasan bagi Sadam.
"Aku pulang dari bukit belakang rumah. Sepertinya Papa tak suka dan kehabisan cara untuk menegurku. Di bukit bisa saja ada ular atau binatang melata lainnya. Papa memukulku agar aku jera, tak datang ke bukit itu lagi."
Satu kebohongan yang baru saja meluncur dari bibir Serell. Faktanya tidak demikian, tapi dia terpaksa mengucapkannya. Semata-mata agar Sadam tidak mengejarnya dengan pertanyaan lain yang memusingkannya.
"Nyatanya, kamu masih sering naik ke bukit, kan?"
Kali ini Serell jujur, dia mengangguk, "disana sejuk, menenangkan ... kamu pasti akan betah," senyumnya tersemat di akhir kata.
Tak terasa, tiga puluh menit lamanya mereka berdua melewatkan makan siang di kedai itu. Serell teringat pada Morish lagi lalu lekas mengajak Sadam untuk pulang.
"Kau tak apa setelah jatuh tadi?" pertanyaan yang terlambat dari Serell dari atas boncengan motor Sadam.
"Tak apa. Tapi sisi punggungku sebelah sini, mulai terasa nyeri. Mungkin karena aku terlalu keras jatuh di aspal ... baru terasa sekarang," Sadam melipat tangan kirinya ke belakang, menunjuk pada bagian di dekat tulang ekornya.
"Kalau begitu, masuklah sebentar ke rumah. Istirahat hingga nyerinya mereda."
Sadam mengangguk. Dia melajukan motornya sedikit lebih kencang agar segera tiba di rumah Serell.
Sepuluh menit setelahnya, Sadam sudah duduk dengan sedikit merebahkan badannya di bangku panjang yang menghadap kebun lavender. Menunggu Serell menyerahkan sebungkus arancini untuk Morish.
"Hei, bisa duduk sedikit tegak, aku akan kompres dengan air hangat agar sakitnya berkurang," Serell mengejutkan Sadam tentu saja. Dia sering datang tiba-tiba tanpa terdengar derap langkahnya -mirip Morish.
Sadam membuka kemeja seragam sekolahnya, menyisakan dadanya yang bidang dan kalung sederhana dari taring buaya yang diikatkan pada seutas tali kecoklatan. Hal itu membuat Serell sedikit menelan ludah dan nyaris tak berkedip dibuatnya.
"Ser? kenapa diam..?" teguran Sadam membuyarkan lamunan Serell.
"Oh ... maaf, Dam. Aku kompres sekarang.."
Sadam memutar badan, duduk membelakangi kekasihnya. Dengan canggung Serell meletakkan handuk hangat melapisi kulit punggung Sadam yang sedikit memerah di beberapa bagian.
"Rasanya ... ahh ... nyaman sekali. Sakitnya mulai hilang ..." ucap Sadam menikmati peletakan kain kompresan itu.
"Hmmm, Dam ... apakah ... mmm, apakah ... hh," sesekali Serell menggaruk pelipisnya yang sebenarnya tidak sedang gatal.
"Apa? Haha ... kamu kenapa? Mau tanya?" Rupanya Sadam tahu, Serell ingin menanyakan sesuatu yang sedikit silly menurutnya.
"Hh ... apakah ... mm, pacarmu sebelumnya pernah melihat ini semua?"
"Haha ... Ser! haha ... pertanyaanmu bodoh sekali, hahaa...!"
"Jangan membodoh-bodohiku, Dam.. aku kan bertanya.." sedikit cemberut Serell kini.
"Pacarku sebelumnya? Mana mungkin ... lagi pula, untuk apa ..."
"Yah siapa tahu, Dam. Kau kan laki-laki, wajar kalau ..."
"Untuk apa aku buka baju di hadapan orang yang tak ada keperluan untuk itu. Baru denganmu saja, ini pertama kali, Ser. Itupun karena ada sebabnya. Jika tidak, buat apa.. kamu pikir aku suka buka-bukaan.."
Tentu saja alasan Sadam itu cukup masuk akal bagi Serell. Dia jadi menyesal karena telah mengutarakan pertanyaan bodoh seperti itu. Lagipula untuk apa dia bertanya, karena andaikan jawabannya 'iya' pun, dia tak dapat berbuat banyak selain cemburu. Dasar Serell yang konyol.
Ritual mengompres selesai. Serell kini mulai memijat bagian tertentu di punggung Sadam. Pijatan perlahan dan penuh kehati-hatian. Usapan lembut, agar Sadam tak merasa kesakitan.
"Ser ... pijatanmu ... hangat," tukas Sadam dengan mata tertutup.
Serell tak menjawab, dia terus menelusuri punggung Sadam perlahan hingga ke ceruk belakang lehernya. Diulanginya berkali-kali gerakan tersebut.
Merah di punggung Sadam perlahan memudar. Sensasi hangat yang semula ia rasakan juga mulai mereda. Kini dia sedikit kedinginan karena terlalu lama bertelanjang dada.
"Sshhh ... ah!" Serell mendesis perlahan. Dia kemudian mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir serangga hitam yang menempel.
Terus.. tangannya dikibaskan terus menerus, hingga membuat Sadam terkejut lalu menoleh, "Kamu kenapa .. sedang apa? Kenapa tanganmu kamu kibas seperti sedang kepanasan?"
Diraihnya tangan Serell, dan Sadam melihat telapak tangan Serell yang kini berubah merah. Sangat merah, bukan merah muda seperti tangan Serell yang biasanya ia genggam. Selain itu, tangan Serell berubah panas. Sangat panas, seperti api di atas tungku yang menyala.
"Ser, tanganmu terbakar!" pekik Sadam panik.
"Sst.. pelankan suaramu! ini tak apa ... ini normal," tutur Serell dengan senyumnya.
***