Diraihnya tangan Serell, dan Sadam melihat telapak tangan Serell yang kini berubah merah. Sangat merah, bukan merah muda seperti tangan Serell yang biasanya ia genggam. Selain itu, tangan Serell berubah panas. Sangat panas, seperti api di atas tungku yang menyala.
"Ser, tanganmu terbakar!" pekik Sadam panik.
"Sst.. pelankan suaramu! ini tak apa ... ini normal," tutur Serell dengan senyumnya.
Seperti yang sudah-sudah, Morish mendadak berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Dia hanya tersenyum mengamati kepanikan Sadam.
"Sebenarnya kenapa tanganmu mendadak merah dan panas, Ser? Ouch! Serius! Ini seperti terbakar!" masih dalam kepanikannya, Sadam berusaha mencari sesuatu untuk membantu Serell.
"Tenang, Dam. Serell tak apa," Morish berjalan mendekat, membuat Sadam spontan menoleh karena terkejut. "Itu memang akan seperti itu."
Sadam masih membelalak terkejut. "Sebenarnya Serell kenapa, hah?"
Morish berusaha menjangkau pergelangan tangan Sadam agar dia berhenti panik. Tangannya terulur begitu cepat hendak mendorong Sadam sedikit mundur. Namun sedetik kemudian, dia hentikan gerakan tangannya. Bagaimana pun, Sadam adalah kekasih adiknya -tak semestinya dia terlibat kontak fisik dalam bentuk apapun atau untuk alasan apapun.
"Tenanglah, Dam. Kepanikanmu justru membuat Serell kacau ... mundur sedikit." Morish mengayunkan tangannya ke udara memberi tanda agar Sadam menggeser duduknya sedikit ke belakang. Sadam pun menurut.
"Pakai bajumu, Sayang! Sore semakin dingin," perintah Serell sedikit memberikan pengalihan pikiran pada Sadam.
Di luar gerbang, Paman Aris dan guardiannya melihat pemandangan tersebut. Seperti bisa menangkap kepanikan Sadam atas apa yang terjadi pada Serell, namun dia tak bisa mendengar kata-kata yang terlontar dari ketiganya. Senyum licik dari salah satu sudut bibirnya membuktikan bahwa akal-akalan busuknya sebentar lagi akan dilaksanakan.
"Serell sudah pernah memegang pemuda itu ... kau tunggu dia nanti sampai dia keluar dari gerbang rumah ini, lalu ikuti dia. Lakukan tugasmu setelah dia benar-benar tiba di rumahnya," titah Paman Aris pada makhluk hitam itu.
"Sementara itu, aku akan mendekat, dan ingat ... kau tidak boleh memperlihatkan dirimu di depan Sadam!" lanjutnya dengan nada penuh penekanan dan sedikit mengancam pada makhluk tersebut.
Paman Aris merapikan pakaiannya sedikit, menarik-narik jas abu mudanya agar kusutnya kembali ke letak semula. Dia menepuk bahunya, kiri dan kanan, seketika liur yang menetes dari makhluk hitam itu hilang disapu kabut tipis yang mulai turun.
Dengan penuh keyakinan dan pesona yang dibuat-buat, Paman Aris berjalan melangkah melewati pedestrian di kebun lavender. Berusaha tak menampilkan ekspresi apapun meski ia tahu tengah ada tiga anak muda sedang heboh di kursi taman.
"Hai anak-anak," sapanya dengan manis.
"Paman Aris!" tegur Serell diikuti kernyitan dahi Morish. Dia adalah adik termuda dari sang Papa, namun mereka jarang bertemu dengannya.
"Morish, apa kamu tak ingat dengan Paman Aris? Kemari, cium tangannya!" suruh Serell pada Morish agar mendekat.
Tangannya yang memerah tadi mulai berubah menjadi merah muda. Sadam tergesa menutup manik terakhir kemejanya, lalu dengan sopan turut berdiri menyalami tangan Paman Aris.
"Siapa dia ... teman sekolahmu, Ser?" tanya Paman Aris memulai basa-basi, dibalas Serell dengan anggukan kepala. Seketika Serell memasukkan kedua tangannya ke dalam saku rok seragamnya, agar Paman Aris tak melihat yang terjadi.
"Morish! Oh ... ho ... kau sudah besar, dan aku semakin tua ... kau apa kabar, anak manis?" sapa Paman Aris mendekat dan membuka tangannya lebar hendak memeluk keponakannya yang telah lama tak bertemu.
Morish diam terpaku di tempatnya. Dia tahu, ada perkara yang tak beres tengah disusun oleh Pamannya itu. Dia bisa melihat aura kehitaman yang melingkupi seluruh tubuh Paman Aris, namun anehnya dia tak bisa menembus isi pikirannya laki-laki itu.
"Untuk apa Paman kemari?" tandas Morish dengan nada sedikit tinggi.
Serell tentu terkejut karena kakaknya yang selalu lembut itu tiba-tiba membentak pamannya sendiri. "Morish ... tidak sopan, tentu Paman Aris ingin mengunjungi kita."
"Ada keperluan apa, Paman?" tanya Morish lagi masih dengan lagak menantang.
"Ah.. tidak Morish, aku hanya mampir setelah dari perkebunan. Sepertinya kalian sedang ada urusan, sebaiknya Paman pergi."
Paman Aris berbalik dan pergi begitu saja. Menyisakan tanya dalam benak ketiganya, namun kemudian Serell berusaha menepis situasi canggung yang terjadi, "memang hanya mampir untuk menengok,"
Morish melempar pandang ke arah Serell, sedikit memainkan manik matanya berusaha memberi kode bahwa ada yang tak beres dengan Paman Aris. Serell membalas kode itu, mengangguk pelan tanda bahwa ia mengerti.
"Tanganku sudah tidak merah ... whoaa," sorak Serell kegirangan dengan terus membolak-balikkan kedua telapak tangannya.
Dengan cepat Sadam meraih kedua pergelangan tangan Serell untuk memastikan kebenaran ucapan kekasihnya, dan ternyata memang benar. Rona telapak tangan Serell sudah kembali normal. Punggungnya pun tak merasa sakit lagi. Dia sampai harus menarik bawahan kemejanya dan menoleh ke belakang memperhatikan punggungnya -merah atau bekas lebam apapun sudah lenyap.
"Luar biasa! Kamu bisa, Ser!" kakaknya menepuk pelan bahu sang adik dengan mata penuh binar.
Serell tersenyum kecut, tak ingin menambah tanya di benak Sadam, tapi Morish justru kelepasan bicara. Tentu, Sadam hanya melempar pandangan pada keduanya.
"Kamu pasti masih bingung, ya kan, Dam?" canda Morish diiringi anggukan cepat dari Sadam.
"Sudahlah, ceritakan saja padanya. Dia bisa dipercaya, aku yakin." Morish membelai ujung kepala adiknya dengan lembut lalu berbalik meninggalkan pasangan muda itu berdua.
Cukup lama Serell mendiamkan Sadam. Dia tak tahu, apa harus menceritakan yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini pada kekasihnya. Tapi kata Morish, Sadam dapat dipercaya. Serell memang sudah melarang Morish untuk membaca pikiran kekasihnya itu semata untuk kepentingan privacy hubungannya. Namun sedikit pelanggaran yang dilakukan Morish, membuat Serell yakin, Sadam memang bisa dipercaya untuk menyimpan rahasianya.
"Jadi ... aku menunggumu untuk bercerita atau hanya duduk di sini sampai malam? Aku harus pulang, Ser," akhirnya Sadam buka suara.
"Tunggu! Aku hanya masih menyusun kata ... aku ..." Serell menahan lengan Sadam saat kekasihnya hendak melangkahkan kakinya untuk pulang.
"Tak perlu cerita sekarang kalau kamu tak mau, aku tak masalah. Terima kasih. Aku harus segera pulang, Ser," Sadam menurunkan pelan cengkraman tangan Serell dari lengannya.
"Dam ... bagaimana menurutmu jika ternyata aku ... mmm, aku ini ..."
Sadam berdiri mematung menunggu Serell melanjutkan penjelasannya.
"Aku ini ... mm, aku ini sebenarnya ... ah ... susah sekali mengatakannya," kini Serell sedikit terisak.
"Hei, kenapa menangis? Aku tak memaksamu. Simpan saja ceritamu, aku tak ingin mendengarnya jika menurutmu tak perlu."
"Huhu ... tapi aku pun ingin kamu tahu. Aku ... aku ..."
"Apapun itu, siapapun kamu ... aku tetap menyayangimu, Ser."
"Maafkan aku, Dam. Aku ... sebenarnya, aku sebenarnya, aku ... dan Morish ... masih keturunan dari manusia harimau yang memungkinkan untuk kami berubah wujud di usia tertentu." Serell menggenggam tangan Sadam dengan sangat erat, seolah takut Sadam pergi.
***