"Hei.. kamu tekan-tekan lukaku dan itu tidak sesakit tadi, Ser.." ucap Jihan dengan mata berbinar.
"Apa ada yang luka lagi?" tanya Serell mengiba.
Jihan menggeleng. "Hanya ini," jawabnya sembari mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Aku pegang sekali lagi.. siapa tahu semakin enakan.." raih Serell pada tangan Jihan.
Kini tangan Jihan tengah dipijit perlahan oleh Serell. Semula nampak Jihan meringis menahan perih, namun sedikit lama kemudian semuanya mereda.
Ruam merah di tangan Jihan perlahan hilang, warna kulitnya kembali semula. Tentu saja Jihan kegirangan, dia tak perlu khawatir tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah nanti.
Sadam masih bersama mereka, turut takjub dengan kemampuan Serell yang mampu menjadi media kesembuhan seseorang.
"Sadam, boleh kita bicara empat mata?" pinta Morish diikuti lirikan Serell, yang masih terus mengusap tangan Jihan.
"Iya, Serell.. kamu tak perlu khawatir, haha.." canda Morish diikuti tatapan mata dari Jihan dan Margin yang tak mengerti maksud perkataan Morish baru saja.
Berada di taman belakang, jauh dari kerumunan para tamu, hanya ada Morish dan Sadam di bangku dekat kandang kuda. Seekor kuda berkulit coklat tua legam meringkik pelan mendekati Morish.
-Ini tidak mungkin, bukankah Morish baru saja datang kemari. Tapi kuda ini seperti kenal lama dengan dia- ucap Sadam dalam hati, dia sengaja memancing kemampuan Morish dalam membaca pikiran orang lain.
"Ini kuda kesayanganku, jadi mau seberapa lama aku pergi dia akan tetap patuh padaku."
Sesuai dugaan Sadam, Morish mampu menjawab pertanyaannya tanpa ia ucapkan. Semakin dalam rasa ingin tahunya.
"Jadi, kamu Morish kakak Serell, kemana saja selama ini?"
"Ku biarkan kamu bertanya meski aku sudah tahu apa yang hendak kamu tanyakan.. hehe.."
"Sebenarnya ada apa dengan dirimu?"
"Aku dulu dititipkan ke Paman saat Serell berusia dua tahun. Mungkin saat itu hanya aku yang ia miliki, satu-satunya dunia milik Serell, itu sebabnya dia sangat kehilanganku selama bertahun-tahun."
Sadam menatap Morish lekat, dia masih mendengarkan dengan seksama. Kedua lengannya bersandar di pagar tepian kandang kuda sembari memperhatikan Morish yang terus mengelus kepala kuda itu.
"Aku tak bisa kembali, asrama tempat ku di sekolahkan melarang semua siswinya untuk pergi sebelum mereka benar-benar lulus dan menguasai ilmu yang diajarkan. Pamanku juga bukan orang berada, itu sebabnya kami hilang kontak dengan orang tuaku ... dan juga Serell. Musibah tsunami di George Town menghancurkan kota, membuat aku terjebak untuk terus sekolah lalu setelahnya aku bekerja membantu Paman dan Bibi di sana."
"Aku tahu berita tsunami itu ... dari televisi juga dari media cetak. Lalu, sekarang kamu bisa pulang?"
"Ya, George Town sudah pulih. Tak ada yang perlu ku khawatirkan lagi dari Paman dan Bibiku. Aku harus kembali."
"Mengapa kau dikirim ke sana?"
"Pertanyaan bagus. Apa Serell tak pernah bercerita padamu tentangku?"
Sadam menggeleng. Rasanya Morish sudah cukup tahu isi pikirannya. Sadam tak tahu apa-apa tentang keluarga Serell meski mereka berhubungan sudah setahun belakangan.
"Dulu Papa bangkrut. Rumah ini, disita negara karena Papa tak sanggup membayar hutang. Selebihnya nanti biar Serell yang menceritakan padamu."
Morish berbalik hendak kembali ke dalam ruangan, mendadak langkahnya terhenti. "Apa kau benar-benar ingin menanyakan itu padaku?"
"Morish! Jadi kau benar-benar bisa membaca pikiranku ... oh bukan ... pikiran orang lain, maksudku ... semua orang?"
"Kamu anak cerdas. Kamu cocok dengan Serell yang doyan bertanya." Langkah Morish berlanjut memasuki aula tempat pesta. Dia tak menjawab pertanyaan Sadam.
"Tunggu, Morish!"
"Serell bilang, kamu tak perlu banyak tahu saat ini. Jadi aku tak akan menjawabnya, haha.." ucap Morish tanpa menoleh.
***
Pesta usai- Jihan dan Margin sudah berpamitan lebih dulu, meninggalkan Sadam.
"Kita bertemu besok di sekolah, tidurlah cepat malam ini, kamu pasti lelah," bisik Sadam dari atas kemudi motornya. Tak ada orang saat itu, di halaman rumah. Lalu dia nekat meraih dagu Serell mendekat, sedetik kemudian mencium bibir Serell. "Jangan begadang dengan Morish.. ingat!"
Senyum lebar Serell mengembang. Dia senang karena ciuman dari Sadam yang membuatnya tersipu. Selain itu, rumahnya tak lagi sepi seperti sarang hantu karena ada Morish. Malam ini dia akan banyak bercerita dengan kakaknya, tak peduli meski Sadam melarangnya begadang.
Mesin motor Sadam dinyalakan. Dia bersiap untuk pergi meninggalkan halaman. Mantel biru tua dia rapatkan, "Sampai besok, Ser ... aku tak tahan ingin kembali menjadi pacarmu lagi, haha.."
"Ada-ada saja. Oiya aku akan berangkat dengan Morish besok, jadi tak perlu kesini menjemputku."
"Terserah kamu. Istirahatlah. Aku pulang.."
Sadam melajukan pelan motornya keluar dari halaman rumah Serell. Dalam jarak yang belum jauh, Morish sudah berdiri menjejeri Serell yang masih saja menamatkan pandangannya pada punggung sang kekasih.
"Aku sudah memberitahunya ... tentang siapa aku. Sesuai keinginanmu, tidak berlebihan. Jadi mungkin dia akan bertanya lagi padamu."
"Its OK, Morish. Sadam bukan anggota komunitas yang doyan gosip, dia tak hobi bertanya.."
"Haha.. itu kan menurutmu.. Sadam hanya memendamnya, bukan berarti tak ingin bertanya."
"Dasaarrrr kau, Morish! Mau sampai kapan kamu urusin isi kepala orang, hahahaa..."
"Hahaa, aku takjub melihatmu. Kamu tumbuh cepat sekali. Dua tahunmu saat itu, seperti anak remaja yang kritis dan banyak tanya. Itu sebabnya kamu lamban dalam berjalan. Tapi kecerdasan otakmu tak perlu ku ragukan."
"Morish ... untuk Sadam, aku mohon, jangan campuri isi kepalanya. Karena, jika kau pergi lagi ... uumm, hanya dia yang tersisa ... kau tahu maksudku kan?"
"Oh baiklah. Adikku sudah benar-benar dewasa rupanya. Aku tak akan membaca pikiran Sadam lagi, aku janji!"
Berdua, kakak beradik itu saling memeluk bahu dan pinggang satu sama lain. Berjalan menyusuri area pedestrian, melintasi kebun bunga lavender yang tak terlalu luas. Mamanya memang penyuka lavender.
"Sadam anak baik, tapi sewajarnya laki-laki ... aku tahu apa yang dia pikirkan tentangmu," lanjut Morish lagi.
"Aku tahuuu itu, Morish. Lagipula usia kami bukan anak-anak lagi, kan." Serell sedikit mencubit pipi Morish karena tak tahan dengan kicauan kakaknya.
"Jangan sampai kalian kelewatan. Setidaknya biarkan kakakmu ini menikah terlebih dulu, haha..."
"Hahaa! Mooriisshhh!"
Kini Morish berlari kencang meninggalkan Serell. Suara binatang malam membuat Serell takut lalu memutuskan mengejar Morish yang sudah jauh di depannya. Adegan kejar-kejaran pun tak terelakkan.
Mereka tak tahu, di antara rimbunnya lavender yang indah itu, ada sepasang mata yang mengamati. Paman Aris, begitu Serell biasa memanggilnya.
"Oh, jadi namanya Sadam, satu sekolah dengan Serell. Hmm ... ini bisa jadi bahan untuk pertemuan besok. Dan satu lagi, kakaknya telah kembali, dia juga harus diawasi."
Sosok bayangan hitam menyerupai perempuan tua yang berdiri di belakang Paman Aris menyeringai menunjukkan taringnya yang berlumuran darah. "Apa aku perlu mengikuti pemuda itu?" tanyanya.
***