Mereka tak tahu, di antara rimbunnya lavender yang indah itu, ada sepasang mata yang mengamati. Paman Aris, begitu Serell biasa memanggilnya.
"Oh, jadi namanya Sadam, satu sekolah dengan Serell. Hmm ... ini bisa jadi bahan untuk pertemuan besok. Dan satu lagi, kakaknya telah kembali, dia juga harus diawasi."
Sosok bayangan hitam menyerupai perempuan tua yang berdiri di belakang Paman Aris menyeringai menunjukkan taringnya yang berlumuran darah. "Apa aku perlu mengikuti pemuda itu?" tanyanya.
***
Kasak kusuk hingga nyaris pagi terdengar dari kamar Morish. Kedua perempuan muda yang baru saja bertemu kembali itu berbincang tak kenal waktu. Ayam pertama berkokok menandakan waktu subuh tiba, dan sepanjang hari baik Serell ataupun Morish belum beristirahat. Pertemuannya dengan sang kakak begitu membahagiakan sampai-sampai dia takut tidur.
Banyak yang Serell bagi, mulai baju baru yang sengaja dia beli kembaran tapi dia simpan warna satunya. Lalu hasil belajarnya mulai dari sekolah dasar hingga sekarang dia menduduki sekolah lanjutan. Foto-foto di pantai bersama teman-temannya, dan ada pula Sadam di foto tersebut. Sampai luka kecil di pahanya yang susah hilang ketika Serell dipukul oleh Papa akibat pulang kesorean dari bukit Nagora.
"Memangnya ini luka kapan, Ser? Lukanya lebih mirip cakaran serigala, kamu tahu.. hahaa.."
"Ini mungkin tiga tahun lalu. Aku berikan antiseptik dan alkohol, tapi justru meninggalkan bekas kecoklatan seperti ini. Aku jadi tak percaya diri menggunakan celana pendek, heuu.."
"Haha.. kenapa? Malu atau ..."
"Aku selalu bingung ketika Sadam bertanya ini itu ... apalagi jika dia tahu soal luka ini. Aku tak ingin dia menaruh amarah pada Papa yang suka main tangan padaku."
"Sekarang kamu bisa, Ser. Ada aku yang akan melindungimu jika Papa mulai menggunakan kekerasannya lagi. Tak ada yang perlu kamu takutkan. OK," Morish mengerling manja memberi dukungan pada adiknya.
Serell hanya mengangguk menanggapi ujaran kakaknya yang mendamaikan. Jelang pukul empat pagi, Morish tertidur di sisi tepi ranjangnya. Tangannya menjadi alas untuk kepalanya yang lelah. Sedangkan Serell memilih untuk tetap terjaga karena dia harus bersiap pergi sekolah pukul enam.
"Morish, apa kamu jadi mengantarku pergi sekolah? Jika kamu masih mengantuk, aku akan pergi dengan bus saja," digerakkan-gerakkan kaki Morish agar segera terbangun, tapi usaha Serell sia-sia. Morish masih sangat pulas.
"Hm ... seandainya aku tak melarang Sadam menjemputku hari ini. Dasar kau, tukang tidur."
"Hoammm.." Morish menguap dengan sedikit membuka matanya, "Sadam akan menjemputmu, Cantik. Jadi biarkan aku tidur, mataku berat sangat!"
"Mana mungkin, semalam aku bilang padanya bahwa aku akan ..."
Bbrrrmmm.
Deru motor Sadam terdengar disusul teriakan Henry -tukang kebunnya, "Serell, dimana Serell ... jemputanmu tiba!"
Serell terkejut bukan main, Morish tahu bahwa Sadam benar-benar datang. Bagaimana mungkin, bukankah semalam dia sudah berpamitan pada kekasihnya untuk pergi dengan kakaknya.
Drap! Drap! Drap!
Serell berlari menuruni tangga putar menemui Sadam di halaman depan sembari menggaet tasnya dengan kasar. Dia melewatkan sarapannya supaya Sadam tak lama menunggu.
"Hei, thanks Henry! Lain kali berteriaklah lebih keras. Aku berada di kamar Morish, jadi suaramu terdengar begitu jauh tadi."
Henry hanya memutar bola matanya jengah, majikan mudanya itu begitu doyan berbicara. Tapi dia senang, keceriaan Serell telah kembali. Sebelumnya, menyapa Henry pun tak pernah, hanya dengan lirikan mata atau senyum segaris saja.
"Dam ... hoshh. Hei ... hoshhh ... selamat pagi ... huh ... kamu ... kamu ... kenapa menjemputku?" Serell kesulitan mengatur napasnya. Dia berlari mulai dari kamar Morish, masih berlari setengah melompati beberapa anak tangga, kemudian masih berlari tanpa henti menyusuri pedistrian kebun lavender.
"Iya aku tahu kalau semalaman pasti kamu akan begadang dengan kakakmu, kan. Jadi aku pikir, Morish pasti masih tidur. Ku putuskan mampir lebih pagi, siapa tahu kamu belum berangkat."
"Ah, kamu selalu yang terbaik, Dam.."
Serell langsung menaiki boncengan motor Sadam, lalu melambai ke arah Mamanya yang dilihatnya baru saja berdiri di dekat pintu masuk. Iya, dia lupa tak berpamitan karena terlalu tergesa-gesa.
Tak ada yang menarik di sekolah, seperti biasa. Serell hanya menghabiskan waktu istirahatnya di kelas, lalu makan siang dengan Sadam di kantin. Atau membaca buku di perpustakaan menemani Jihan dan Margin.
Jam pulang sekolah tiba, Serell yang paling cepat mengemas peralatannya. Dia ingin segera bertemu Morish di rumah. Rasanya jam sekolah berjalan lebih lama dari biasanya.
Sadam hanya menggeleng pelan melihat kelakuan kekasihnya. Dia ikut senang melihat Serell tak lagi mudah murung dan lebih banyak tersenyum seharian.
"Cepat naik!" tegur Sadam berseru pada Serell sambil menepuk dudukan belakang motornya.
Senyum Serell mengembang. Dia berterima kasih karena Sadam begitu pengertian padanya selama ini. Meski begitu, dia sebenarnya tak keberatan jika mereka mampir sejenak di kedai arancini favorit Serell.
"Kamu mau kita mampir ke Arane's Pop? Aku lapar," pinta Serell.
"Aku kira kamu ingin cepat-cepat pulang dan bertemu kakakmu," jawab Sadam tanpa menoleh masih fokus dengan kemudinya.
"Tidak apa, kita bisa makan dulu. Lagipula setelahnya aku akan membawakannya sekotak arancini yang terenak di kota ini. Dia pasti senang."
"Baiklah, tikungan depan aku akan balik kanan. Aku perlu mengisi bahan bakar dulu ... motorku tak mungkin diisi nasi kan, hahaa."
Serell merapatkan pelukannya di pinggang Sadam. Tak ada lagi perbincangan setelahnya. Di stasiun pengisian bahan bakar pun, Serell masih diam. Dia sibuk berpikir, akan membelikan Morish cheese arancini atau bean arancini atau malah keduanya. Dia tak tahu varian kesukaan kakaknya.
Motor Sadam kembali melaju stabil setelah keluar dari area pengisian bahan bakar. Dia tak melihat sedikit oli yang menetes dari sebuah truk yang baru saja melintas. Akibatnya, roda motornya sedikit oleng, dan tentu Sadam tak dapat mengendalikan laju kemudinya.
Keduanya terpeleset dan parahnya lagi, Serell terpelanting jatuh namun tak berjarak jauh dari tempat Sadam dan motornya terguling.
Sadam mampu bangun dengan cepat dan bergegas lari menghampiri Serell yang nampaknya menahan sakit di salah satu kakinya.
"Maaf Ser, aku tak berhati-hati. Kamu tidak apa-apa? Perlu ke ..." tanya Sadam mendekat.
"Tidak ... tidak apa, Dam. Ouch ... hanya ini ..." tunjuk Serell pada kaki kanannya yang terbuka sebab roknya sedikit tersibak.
"Hah! Kamu terluka. Bisa bangun? Aku ambil motor dulu ... kita ke ..."
Tangan Sadam berusaha membantu Serell bangun. Sayangnya tak ada siapapun siang itu yang dapat menolong mereka. Jalanan sepi dan sedikit berkabut.
"Tunggu, Dam. Kaki ku kram. Jangan pedulikan luka itu, aku cuma kram," Serell meringis sambil mengurut pelan kakinya.
"Tapi itu luka, Ser.. " ucap Sadam mengkhawatirkan Serell dan nyaris menggendongnya.
"Bukan apa-apa!" Serell lekas menutup kembali roknya. Dia serius bahwa kram lebih menyakitkan dari pada luka itu.
Sikap Serell tentu membuat Sadam heran. Luka itu sepertinya sudah mengering cukup lama dan tersisa bekasnya saja. Itu sebabnya Serell tak peduli dan hanya meringis merasakan kram di kakinya.
Tanpa menunggu persetujuan Serell, Sadam mendadak menggendongnya lalu mendudukkan kekasihnya di pavement di bawah pohon. Dia pun berbalik menuju motornya dan menepikan dengan hati-hati di dekat Serell duduk.
***