Hanya nama itu yang keluar dari mulutnya. Morish datang. Morish pulang. Sejenak Serell tak mengenali perubahan fisik sang kakak. Tapi pakaian long dress abu-abu dan kain tenun yang tersampir di lengannya sudah cukup meyakinkan bahwa itu adalah Morish, si kakak yang telah pergi sangat lama.
Sadam menghentikan langkahnya, dengan masih penuh tanya. Siapa dia, kenapa Serell memeluk perempuan itu sambil menangis. Morish? Siapa dia bagi Serell?
Kedua kakak beradik itu melepas rindu dengan berpelukan dan tak henti-hentinya menangis. Belum pernah Sadam melihat Serell begitu larut dalam suasana. Rupanya perempuan muda itu pernah begitu berarti di hati Serell. Dia urung mendekat, hanya menonton dari jaraknya semula.
Riuh suara tepuk tangan mendadak terdengar. Seluruh tamu menjadi saksi pertemuan kembali Serell dan kakaknya yang telah terpisah lama. Pun mereka menyaksikan tangis haru sang Mama yang berjalan mendekati kedua anak perempuannya.
Masih di podium, Papa Serell yang tahun ini menduduki jabatan bergengsi di kantornya kembali melanjutkan pidatonya.
"... selain itu, tahun depan keluarga kecil kami akan bertambah lengkap dengan kehadiran malaikat kecil yang kini memasuki usia lima bulan ..."
Serell terperangah, tak kalah terkejutnya dengan Sadam, mendengar penuturan Papanya. Pelukannya dengan Morish terlepas perlahan namun belum ada kata-kata yang terucap di antara keduanya. Dia menoleh pada Morish, dalam hatinya dia berucap, "Apa aku tidak salah dengar bahwa aku akan punya adik?"
Morish tersenyum seraya mengangguk perlahan, "Iya, kita akan punya adik ... laki-laki, Ser. Dan aku bahagia, akan menjadi kakak sekali lagi."
Sadam masih mengamati Morish dari tempatnya. Keherannya semakin bertambah tatkala dia tahu bahwa Morish seolah dapat membaca pikiran Serell. Bukankah Serell hanya diam, tapi bagaimana mungkin Morish tahu apa yang menjadi tanda tanya di pikiran Serell. Selama ini Sadam kira hanya dia yang mampu memahami Serell, dan ternyata dugaannya keliru. Morish mampu lebih detil dari itu.
Lantas, keduanya menyambut Mama mereka dengan pelukan hangat bertiga. Ini semacam acara temu kangen tapi sengaja dipertontonkan di hadapan khalayak ramai. Serell merasa canggung, sungguh untuk apa semua selebrasi ini.
Acara masih berlanjut, kini Morish yang mendampingi Mamanya untuk bersalaman dengan para tamu. Selintas lalu, Morish melirik pada Serell, "Kita bisa ngobrol banyak setelah ini.." ucapnya sesaat sebelum menjauh.
Lagi-lagi menyisakan tanya di benak Sadam, "Ser.. dia kakakmu?" tanyanya kembali mendekat.
"Iya, aku memang tak pernah membahasnya denganmu."
"Kemana dia selama ini? Kalian seperti sangat lama tak bertemu.."
"Entah."
"... ha? jawaban macam apa itu, Ser.."
"Nanti aku jelaskan, Sayang."
"Ser, kamu yang minta padaku untuk menyembunyikan status kita tapi dari tadi kamu terus saja memanggilku dengan ..."
Ucapan Sadam terhenti, ketika Morish sudah berada tepat di antara keduanya. Sadam yang masih terkejut, mendadak menerima uluran tangan dari kakak pacarnya itu.
"Sadam, ya kan?! Kamu pasti penyabar, mampu menghadapi Serell yang mudah berubah mood.." ucap Morish memperkenalkan diri tapi dengan cara yang lain.
"Morish ... kamu kakaknya Serell?" tanya Sadam terbata.
"Ya. Kami bersaudara. Jangan dipungkiri.. setidaknya pacarmu tak akan mudah marah-marah lagi sekarang."
Tak ada jawaban dari Sadam. Hatinya mendadak ciut ketika apa yang baru melintas di pikirannya, sudah diungkapkan oleh Morish.
"Bagaimana kamu tahu, kami ... berpacaran?"
"Aku Morish ... aku tahu apa yang ..." ucapannya terpotong, Serell mendorongnya menjauhi Sadam.
"Sudahlah kak.. jangan goda dia! Dia masih polos, haha..." Serell tertawa melihat keheranan Sadam. Skenario yang dibuat mungkin berhasil di hadapan orang tuanya, tapi akan selalu gagal di depan Morish.
"Hei, kenapa kamu tidak jujur pada Mama dan Papa? Dia ganteng.. dia baik.. apalagi selama ini dia ..." lagi-lagi ucapan Morish terpotong. Dia terlalu banyak bicara, lagaknya sudah seperti jurnalis senior yang tahu segalanya.
-Huh, aku malas jika Papa memarahiku terus. Dia bilang aku tak becus belajar, bisanya cuma pacaran. Aku tak mungkin melepaskan Sadam, dia sempurna bagiku. Jadi sebaiknya aku bungkam- jawab Serell dalam hati yang tentu sudah diketahui oleh Morish.
"Oh.. begitu rupanya.. yaa, aku juga akan bungkam, haha.."
Serell tersenyum, "Sebisa mungkin, kamu jangan banyak bicara dan sok tahu. Aku bisa repot menjelaskannya pada Sadam."
"Oh.. haha.. hahahaa.. baiklah baiklah Ser.. aku akan lebih banyak diam agar pacarmu itu tidak semakin penasaran."
Tapi terlambat, semua gerak-gerik percakapan antara Serell dan Morish telah terbaca oleh Sadam. Dahinya mengernyit dari tadi berusaha berpikir secara logika namun selalu bias.
Menurut Sadam, Morish terlalu aneh untuk ukuran seorang kakak yang perhatian pada adiknya. Morish seperti tahu apa yang orang pikirkan saat berbincang dengan dirinya. Sadam yakin, Morish bukan perempuan muda biasa. Dia bisa membaca pikiran lawan bicaranya. Ini mengerikan jika memang benar, karena Sadam sering berfantasi nakal ketika berdua dengan Serell. Jika Morish juga tahu itu, habislah nasibnya sebagai pacar Serell.
Jihan dan Margin mendekati Sadam yang berdiri sendirian. Di tangan Jihan tengah memegang sup panas sembari terus mengobrol dengan Margin. Dia menyapa Sadam yang nampaknya belum terisi makanan apapun.
"Hai, Dam ... rupanya di sini kamu ... mana Ser ..."
Plak! Sadam menoleh dan tanpa sengaja tangannya menampik sup panas yang Jihan pegang. Mangkok sup pun jatuh meski tak sampai pecah. Tapi kuah sup panas itu tumpah mengenai tangan kanan Jihan.
"Auu! Panas! Au! Sadaamm!!" pekik Jihan seraya menahan nyeri pada pergelangan tangannya. Rok bajunya sedikit basah.
Beberapa tamu di sekitar mereka menoleh sejenak, lalu kemudian abai karena ... siapa yang peduli dengan kuah sop yang tumpah. Itu sudah biasa terjadi bukan.
"Sorry ... sorry ... really sorry J ! aku gak lihat kamu datang.." Sadam tak kalah panik melihat tangan Jihan yang memerah.
Margin hanya berdecak kesal. Dia membantu Jihan meniup-niup ruam merah di tangan kawannya. Dia juga membantu membersihkan bekas tumpahan kuah di lantai sekaligus yang mengenai pakaian Jihan.
"Ahh, sudah Gin.. aku tak apa. Dasar Sadam, ceroboh sekali!" tegas Jihan kesal mengarah pada Sadam.
"Iya aku tak tahu kamu berdiri di belakangku. Aku minta maaf, J. Harus diapakan ya itu .. apakah perih .. apakah ngilu?"
"Tak apa, Dam. Diberi salep akan sembuh. Tapi semoga nanti malam aku bisa menulis pekerjaan rumahku.. huh.."
Kecelakaan kecil itu tak berlangsung lama. Lagi-lagi Morish secara tiba-tiba sudah berdiri di antara mereka. Di susul Serell yang membawa kompres dan salep.
"Duduklah, J.. biar Serell bantu lukamu," tukas Morish -dan kali ini bertambah lagi pasien yang keheranan yakni Jihan dan Margin.
Setelah menorehkan salep pada ruam merah di tangan Jihan, Serell mengemasi semua peralatannya lalu meletakkan di bawah meja yang tertutup tirai juntai berwarna coklat muda.
"Hei.. kamu tekan-tekan lukaku dan itu tidak sesakit tadi, Ser.." ucap Jihan dengan mata berbinar.
"Apa ada yang luka lagi?" tanya Serell mengiba.
Jihan menggeleng. "Hanya ini," jawabnya sembari mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Aku pegang sekali lagi.. siapa tahu semakin enakan.." raih Serell pada tangan Jihan.
***