Tak ada yang berubah dari Serell. Dia masih sering berbicara sendiri dengan foto kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Serell bukan gadis melankolis yang gemar menuliskan kata-kata puitis dalam buku diary. Dia lebih senang duduk menyendiri dan sesekali berteriak dari atas bukit Nagora tak jauh dari rumahnya.
"Serell, seharian kamu di bukit? Mama butuh bantuan memasak nasi kambing -tapi kamu pergi tanpa pamit ke Mama," tegur sang Mama sambil mencicip sedikit bumbu yang tengah diaduk.
"..." Serell hanya mengangguk tanpa jawaban. Di tangannya tergenggam seikat bunga Dandelion yang sedikit berlepasan putik putihnya.
"Mau diapakan itu?" tunjuk Mama pada pegangan Serell.
"Serell simpan untuk hiburan di kamar," tanpa menunggu jawaban, Serell berbalik ke kamar meletakkan bunga miliknya dalam kotak plastik lalu menutupnya. Gegas Serell menuju kamar mandi dan membersihkan diri.
Dua puluh menit setelahnya, Serell memenuhi panggilan sang Mama untuk membantunya memasak di dapur. Terdapat dua orang asisten lain yang membantu kegiatan masak memasak setiap harinya. Namun Mama hanya ingin Serell terlibat agar dia dapat belajar banyak dari aktivitas tersebut. Meski dengan berat hati, Serell tetap menuruti perkataan Mamanya. Dia mulai hafal dan mahir dalam mengolah bumbu dan rempah dapur.
○○○
Lima belas tahun bukan waktu yang singkat untuk menanti sang kakak kesayangan. Setiap kali Serell menanyakan keberadaan Morish, orang tuanya selalu menjawab dengan segan.
"Ma, kenapa Morish lama sekali. Ini tahun kelima, dan kenapa dia belum juga pulang?" tanya Serell di suatu pagi.
"Morish belum libur sekolahnya. Nanti jika sekolahnya ada libur panjang, dia akan kemari," jawab Papa seadanya sambil terus memperhatikan koran yang dibacanya.
"Hah? Libur sekolah? Dia sekolah dimana hingga lima tahun tak pernah libur. Serell sudah sangat bosan dengan libur sekolah tiap semesternya. Sedangkan Morish?"
"Diamlah Serell, habiskan kue mu. Kalau kamu ingin beli majalah baru, ini uangnya Papa kasih lebih. Kamu bisa traktir temanmu beli es krim."
"..." Serell mengambil uang yang disodorkan Papanya dengan kasar. Meremas beberapa lembar uang berangka banyak itu, lalu melemparnya jatuh ke lantai.
Sudah pasti Papa tahu, Serell merajuk. Dia tak pernah puas dengan jawaban atau alasan orang tuanya. Selama bertahun-tahun, fakta keberadaan Morish selalu ditutupi dari Serell dan itu membuatnya marah. Tapi kemarahannya tak mampu membuat Serell berbuat banyak, dia sama sekali tak tahu harus kemana mencari Morish.
"Apa Morish masih hidup, Pa! Atau jangan-jangan dia sudah ma.."
"Jaga bicaramu, Ser!"
"Kenapa Papa ..juga Mama, tak pernah bilang dimana Morish. Kenapa setiap Serell bertanya, Papa dan Mama selalu menjawab dengan berputar-putar. Salah Morish apa ... salah Serell apa ... kalian membenci Morish?"
"Ser!" bentak sang Papa hendak menampar pipi Serell namun secepat angin langsung ditahan oleh Mama.
Serell menahan deru di dadanya. Dia berbalik ke kamar dengan penuh amarah. Berulang kali Papanya yang temperamen itu nyaris memukulnya namun selalu berhasil diselamatkan oleh Mama. Kenapa dia dan Papa tak pernah bisa berbincang dengan baik seperti anak dan ayah pada umumnya.
"Jangan pake emosi untuk bicara dengan Serell. Dia anak yang kaku, seperti dirimu. Tak perlu memukulnya agar menurut," ucapan Mama terdengar oleh Serell dari balik dinding kamarnya.
Papa tak menjawab. Sama sekali tak ada simpati atau kepedulian atas dinginnya situasi dalam keluarga kecilnya.
○○○
Bulan depan, Serell akan berulang tahun yang ke tujuh belas. Sama seperti tahun-tahun yang sudah lalu, dia tak gairah sama sekali untuk merayakannya.
Keceriaan yang dulu ditularkan Morish padanya sudah meredup dan hilang. Tak ada lagi tawa Serell di tahun berikutnya setelah kehilangan Morish. Tak ada lagi semangat membara dalam jiwanya seperti ketika Morish bertepuk tangan dulu di depannya. Serell merasa hanya perlu bertahan hidup hingga masa sekolahnya usai, lalu dia akan pergi mencari sang kakak.
Di sekolah, Serell memiliki seorang kekasih. Ketika usianya enam belas tahun, seorang teman laki-laki mendekatinya dengan penuh perhatian. Selama ini tak ada satupun teman Serell yang bergaul begitu intens dengan dirinya, membuatnya sering sendirian sepanjang waktu sekolah.
Kehadiran Sadam mulai membawa cahaya terang di kehidupan Serell yang suram. Setidaknya ada satu alasan yang membuat Serell tersenyum yakni pujian Sadam -kamu manis dengan jepit rambut seperti itu. Sederhana tapi mampu menyenangkan hatinya.
"Ser, siapa laki-laki yang sering mengantarmu pulang sekolah? Dia tak pernah kau kenalkan pada Mama."
"Sadam, namanya."
"Teman ... atau ... kalian pacaran?"
"Teman!"
Tak ingin sang Mama menginterogasinya, Serell memilih berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya dan Sadam hanya berteman. Padahal mereka berpacaran sudah hampir setahun belakangan. Serell dan Sadam pun sudah pernah berciuman di depan kelas saat sekolah sudah sepi.
"Tapi Mama tak pernah lihat kalian kerja kelompok bersama. Beda dengan Jihan dan Margin yang sering kesini untuk belajar. Sadam hanya berhenti di teras, lalu pulang."
"Kami tidak sekelas, Ma."
"Bagaimana bisa kalian dekat dan Sadam sering mengantarmu pulang, sedangkan kalian tidak sekelas?"
"Kenapa? Bisa saja kan, Ma.."
"Oh.. ya.. tentu. Mama tak melarang kau berteman dengan siapa saja."
"..." tak ada tanggapan dari Serell.
Dia benci ditanya macam-macam oleh orang tuanya, sedangkan untuk bertanya tentang Morish saja pintu ingin tahunya sudah tertutup rapat.
"Ser, bagaimana jika bulan depan kita rayakan ulang tahunmu? Kamu bisa undang beberapa teman."
"Tidak perlu, Ma."
"Sweet seventeen, sayang. Itu momen membahagiakan. Kamu akan beranjak dewasa setelahnya."
"Hm, tapi tak perlu tiup lilin dan balon. Serell bukan anak kecil."
"Ya, bukan masalah. Kau atur saja bagaimana. Undang juga Jihan, Margin ... Sadam jangan lupa."
"Apa Mama berniat mengadakan ulang tahun Serell hanya untuk ingin tahu tentang Sadam? Kami teman, Ma!"
Kali ini Mamanya tersenyum seraya memegang mantap bahu Serell. "Dia tampan, sepertinya sopan dan baik, Mama suka melihatnya. Ajak dia yah.."
Serell hanya mengangguk pelan mengiyakan pinta sang Mama. Tak ada sorak atau lompatan kecil saat mendengar ulang tahunnya hendak dirayakan. Dia biasa saja atau bahkan mungkin sedikit malu. Semua tak penting tanpa Morish di sisinya.
"Kalian berdua, minggu depan datanglah ke rumah. Mama ku mengadakan perayaan kecil-kecilan," di pagi hari sebelum kelas di mulai, Serell membuka obrolan dengan Jihan dan Margin yang duduk tak jauh dari bangkunya.
"Wahh.. asik.. makan-makan.." Jihan paling semangat untuk urusan party.
"Hum! Hanya kalian berdua, aku tak mengundang siapa-siapa lagi."
"Sadam ... bagaimana?"
Serell mengangguk, "Iya, dia juga ikut. Tapi aku harap kalian tutup mulut di hadapan orang tuaku. Aku tak mau mereka tahu siapa Sadam."
"Aahh beres, Ser! Jihan and Margin is in da house, yo..!!" kali ini Margin berlagak mengangkat tangannya bak seorang DJ.
Serell menarik ujung bibirnya, membentuk seulas senyum manis melihat kelakuan dua temannya yang kegirangan.
***