Hanya karena kehadiran Jihan dan Margin -serta Sadam tentu saja, Serell mampu sedikit tersenyum. Dia tak bernafsu sekali mengikuti rangkaian acara ulang tahunnya. Ini aneh, keluarganya berpesta tapi tanpa Morish.
Mamanya mengundang teman-teman sosialitanya untuk hadir. Sungguh acara yang membosankan, karena di hari ulang tahun Serell, bukan dia yang tengah berbahagia.
Beberapa teman kerja Papa di kantor yang baru juga turut hadir. Sedari tadi Serell sibuk menyalami tamu-tamu orang tuanya. Ironi, karena dia sendiri hanya mengundang tiga orang teman sekolahnya.
Sadam yang berperawakan tinggi dan gagah, menyita perhatian sang Mama. Serell sudah menduga bahwa Mamanya akan berlebihan memperlakukan Sadam. Tentu saja kekasihnya itu hanya mampu menyengir dan terus melirik ke arah Serell -i'm OK, meski sebenarnya risih- batinnya.
Semalam, Serell bermimpi tentang Morish. Dalam mimpinya itu, dia dan Morish tampak sedang duduk di lereng bukit Nagora memandang rumah dari kejauhan. Keduanya saling menatap lalu Morish merangkul bahunya. Dari rengkuhan sang kakak, Serell merasa dunianya sudah lengkap. Dia tak butuh Papa yang temperamen, dia tak peduli dengan Mama sok perhatian. Bahkan semua kekayaan melimpah yang kini Papanya berikan, sungguh Serell tak butuh itu semua.
"Morish, jangan pergi lagi. Aku kesepian.." pinta Serell dalam mimpinya.
"Aku akan selalu ada untukmu adikku.. kamu bisa bercerita apapun denganku.. kamu bisa menangisi apapun denganku.. kamu bisa menertawakan apapun denganku.. kita akan saling melindungi.." jawab Morish masih dengan tatapan matanya mengarah pada hamparan di bawah bukit. Angin sepoi membelai lembut rambut keduanya.
Dalam mimpi itu, Serell mengenakan atasan putih dengan celana jins biru muda, sedangkan Morish hanya memakai long dress abu muda dengan kain tenun ikat yang ia rapatkan di punggung. Seolah itu pakaian terbaiknya, Serell pun memakai pakaian yang sama di perayaan ulang tahunnya, persis seperti di mimpinya.
Penampilan Serell tak pernah berlebihan, dia sudah cukup cantik di mata Sadam hanya dengan pakaian sederhananya. Tapi sekali lagi, tidak demikian dengan orang tua Serell, "Kamu cuma berpakaian seperti itu di saat pesta sweet seventeen mu sendiri? Bikin malu Papa dan Mama, cepat ganti baju!" hardik sang Papa setelah berhasil menyeret Serell masuk lagi ke dalam kamarnya.
"Hah! Papa ini apa-apaan! Nyatanya, para undangan yang datang lebih banyak teman Mama juga teman Papa. Ini seharusnya menjadi acara Serell, bukan acara kalian. Jadi suka-suka Serell akan memakai baju apa."
Demi tak ingin ribut di sela acara, Papa mengalah, meninggalkan kamar Serell lalu kembali menebar perbincangan dengan tamunya. Mama hanya melirik sekilas ke arah perdebatan antara anak dan ayahnya, di sampingnya Sadam masih menemaninya menjamu tamu.
"Gantengnya, siapa ini Bu ... calon mantu?" tanya seorang wanita teman Mama Serell.
"Ah, rencananya begitu bu, sudah cocok ya dengan Serell?" terkekeh geli sang Mama sambil menepuk pelan punggung Sadam, tentu saja membuat Sadam salah tingkah.
"Mama, Sadam permisi menemui teman-teman dulu," keberaniannya terkumpul untuk lepas dari pegangan lengannya Mama Serell.
Para ibu-ibu tak henti menatap Sadam menjauh. Semua nampak tergoda oleh pesona Sadam yang sopan dan ramah. Ditambah pula, dia memanggil Mama Serell dengan panggilan 'Mama' seolah dia tengah menyebut ibunya sendiri. Decak kagum terus terdengar memuji Sadam. Meski hari ini dia berperan sebagai teman Serell, perbincangan tentang perjodohan mereka terus berlangsung.
"Ser.." ucap Sadam mendekati Serell. Dia sudah paham skenario yang diinginkan Serell, yakni berperan sebagai teman. Dia tak ingin memicu adu mulut jika orang tua Serell tahu status Sadam yang sebenarnya.
"Aku lapar, bisa ambilkan makanan ... apapun ... atau minum."
Jarak keduanya begitu dekat, membuat Serell tak tahan ingin segera menangkap bibir Sadam. Seketika dia teringat, Sadam bukanlah kekasihnya di hari ini. Dia harus mampu menahan diri agar tidak ketahuan.
"Kamu bisa ambil sendiri, Dam. Tak perlu sungkan.." jawab Serell dengan tangannya yang refleks menelurusi dada Sadam.
"Ser.. don't!" Sadam menjauhkan perlahan tangan Serell dari dadanya.
"Ups, sorry.. kamu mempesona hari ini dan aku tak tahan melihat pacarku sedari tadi sibuk menjamu tamu orang lain."
"Bukan orang lain, Ser. Itu Mama mu ... kamu tak boleh sedingin itu. Juga Papa mu ... harusnya kamu bisa menjawabnya dengan sedikit sopan tadi."
"Ck! Jangan menjadi menyebalkan di hari ulang tahunku. Cukup orang tuaku saja, tapi jangan kamu."
Perhatian keduanya lantas tertuju pada suara sang Papa yang terdengar dari pengeras suara. Baik Serell maupun Sadam masih berdiri di sudut terjauh dari podium sementara Jihan dan Margin nampak mencari keberadaan Serell dengan berjinjit diantara kerumunan para tamu.
"Serell ... anakku tersayang, hari ini berulang tahun yang ke tujuh belas. Sebagaimana kita tahu, usia tujuh belas tahun adalah gerbang menuju ..." semua berpusat memperhatikan pidato singkat di atas podium sana.
Terkecuali Serell, dia menganggap semua ucapan Papanya adalah omong kosong. Dia tak peduli apa yang Papanya katakan di atas sana, justru dia mencibir dengan memonyongkan bibirnya seolah menirukan tiap kata ucapan sang Papa.
"Sereeelll.." tegur Sadam agar kekasihnya itu menghentikan sikap tak sopannya.
"Aku ingin segera pergi dari acara ini, membosankan Sayang.."
"Sst.. pelankan suaramu atau kita akan jadi pusat perhatian.."
"Yeaahh meski ini acara ultahku, aku justru menjadi boneka rasanya."
"Serell.. bersabarlah.."
Hanya bisa pasrah karena terus menerus mendapat teguran dari Sadam, Serell memilih mundur dan bersandar pada dinding sambil menghabiskan jus mangga di gelasnya.
Dalam sendirinya, sekilas Serell merasakan seorang perempuan muda berjalan mendekat. Dia bisa tahu dari suara derap sepatu yang semakin jelas terdengar. Mungkin salah satu teman Mama, batinnya.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, Sadam menoleh ke arah Serell. Dia melihat perempuan muda berdiri di dekat Serell namun diam tak melakukan apapun. Siapakah dia, sedari tadi hanya ibu-ibu yang ia temui -selain Jihan dan Margin teman sekolahnya.
Tiba-tiba saja perempuan muda itu memeluk Serell dari arah belakang. Terkejutlah Serell lalu spontan berbalik badan menemui siapa yang mendekapnya erat.
"Serell.. how i miss you.. huuhuu.." dia menangis tergugu memeluk Serell.
Sadam pun tak kalah terkejut, kekasihnya dipeluk oleh perempuan asing yang tak dikenal hingga nampak kesulitan bernapas. Dia bergegas mendekat, khawatir jika perempuan itu berbuat jahat pada kekasihnya.
"Ser..!" pekik Sadam.
Di saat yang bersamaan, perempuan itu melepas rengkuhannya.. "Serell.. adikku.. huhu," ucapnya lirih.
Tanpa basa-basi lagi, Serell langsung membalas pelukan perempuan itu, "Morish! Morish! Huhuu.. Morish!"
Hanya nama itu yang keluar dari mulutnya. Morish datang. Morish pulang. Sejenak Serell tak mengenali perubahan fisik sang kakak. Tapi pakaian long dress abu-abu dan kain tenun yang tersampir di lengannya sudah cukup meyakinkan bahwa itu adalah Morish, si kakak yang telah pergi sangat lama.
Sadam menghentikan langkahnya, dengan masih penuh tanya. Siapa dia, kenapa Serell memeluk perempuan itu sambil menangis. Morish? Siapa dia bagi Serell?
***