Setelah kemarin mendengar hasil tes pemeriksaan bahwa ada kecocokan antara pendonor dan penerima donor. Rey langsung meminta Alex untuk menjadwalkan operasi transplantasi. Rara hanya diam dan tak bereaksi apapun. Entah apa yang dipikirkannya. Saat Rey mengantarkan Rara pulang pun, dia hanya diam saja. Rey menawarkan untuk minum kopi di Cafe kepunyaan Beno. Namun Rara menolaknya. Dia ingin langsung pulang saja. Dan masing-masing pun larut dalam keheningan.
Rara yang sadar bahwa sedari tadi dirinya diam saja pasti membuat Rey merasa bingung. Banyak perasaan berkecamuk dalam diri Rara. Rara senang namun juga takut. Bahkan saat Dokter Alex menjelaskan prosedur transplantasi ginjal Rara tak mendengarkannya dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Kini setelah tau bahwa hasilnya cocok, Rara ingin menanyakan pada Rey apakah dia bisa mendapatkan setengah dari uang yang dijanjikan itu. Karena uang itu akan Rara gunakan untuk membayar uang sewa kontrakan, serta membantu Lola yang juga terlilit hutang. Namun Rara sangat bingung untuk menanyakannya. Itulah yang dari tadi terus dipikirkannya. Rara tak menampik ingin segera mendapatkan uang itu, namun Rara juga tak ingin sampai terlihat putus asa karena sangat membutuhkan uang.
"Kita sudah sampai" suara Rey memecah keheningan. Bahkan Rara juga tak sadar kalau sudah sampai di depan rumahnya.
"Oh benarkah. Baiklah terima kasih karena sudah mengantarkan ku" Rara lalu melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil namun gerakannya itu terhenti karena Rey yang tiba-tiba menahan lengan Rara.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Aku akan menunggu mu besok di Cafe My Taste pukul 8 malam" katanya seraya melepaskan genggaman tangannya pada lengan Rara.
"Baiklah, aku akan datang. Kau tak perlu mengantar ku sampai pintu. Sampai jumpa besok" Rara keluar dari mobil dan berjalan menuju rumahnya tanpa melihat kebelakang lagi.
****
Setelah kejadian itu, disini lah Rara berada. Cafe My Taste. Pukul 8 malam. Sesuai yang Rey katakan. Namun Rey belum juga terlihat, sepertinya dia akan terlambat. Rara pun memesan minuman sambil menunggu kedatangan Rey.
Setelah Rara melihat sekitar, tak melihat Lola. Padahal satu hari itu mereka belum ada bertemu. Lola juga tak ada menghubunginya. Akhirnya Rara memutuskan untuk menghubungi Lola.
Rara menunggu dengan sabar sambungan telepon tersambung. Akhirnya Lola mengangkat telepon darinya.
"Lola, dimana kau? Aku sekarang berada di cafe tapi tidak melihat mu. Apa kau sudah pulang ke rumah?" tanya Rara langsung tanpa bersusah-susah menyapa terlebih dahulu.
"Tidak Rara. Aku sekarang berada di apartemen milik Beno. Aku mengantarnya pulang karena dia terlihat tidak sehat. Badannya sangat panas ra. Sepertinya dia terkena demam." memang benar Lola sedang berada di apartemen Beno, sekitar 2 jam yang lalu saat Lola hendak mengambil minuman di loker milik Lola. Lola melewati ruang kerja Beno dan tanpa sengaja melihat Beno yang terlihat tidak sehat. Namun saat Lola bertanya apa yang terjadi, tubuh Beno pun ambruk merosot ke lantai. Lola segera berteriak minta tolong, dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit. Namun Beno tiba-tiba mengatakan bahwa ia tak ingin di rawat di rumah sakit dan memilih untuk di rawat di rumah. Akhirnya Lola pun memutuskan untuk ikut mengantar Beno sampai ke apartemennya.
"Oh astaga. Semoga tidak ada yang buruk. Aku menghubungi mu karena khawatir pada mu. Jika kau sudah selesai disana segeralah pulang." sambungan telepon pun langsung terputus.
Rara kemudian melihat jam tangannya, sudah 15 menit berlalu namun Rey belum juga kelihatan. Rara pun menghela napas perlahan. Rara berpikir, apa mungkin terjadi sesuatu yang buruk pada Rey, atau mungkin dia tak bisa datang. Tidak tidak tidak. Rara menggelengkan kepalanya. Rara harus tetap berpikir positif. Lalu Rara mengambil ponsel dari dalam tasnya, melihat apakah ada pesan atau telepon masuk dari Rey. Namun tidak ada sama sekali. Rara pun memutuskan tetap menunggunya.
Suara penyanyi itu dengan merdunya membawakan lagu yang cukup jadul namun masih banyak penikmatnya. Tentang Cinta-nya Ipang. Tak dipungkiri, lagu itu adalah lagu kesukaan Rara. Rara pun ikut menyanyikan penggalan lagu itu dan mengetuk-ngetuk kan jarinya mengikuti nada yang dimainkan. Namun sampai lagu selesai dibawakan, Rey belum juga datang.
Rara masih dengan sabar menunggu Rey. Kemudian penyanyi itupun membawakan lagu lain yang masih termasuk dalam list lagu kesukaannya. Wish You Were Here-nya Avril Lavigne. Rara sangat menikmatinya, lagu itu dibawakan persis seperti ketika Avril membawakannya. Setelah selesai pun, penyanyi itu masih membawakan beberapa lagu lagi.
Pandangan mata Rara menangkap sesosok yang dikenalnya berjalan memasuki cafe. Rey. Rara melihat jam ditangannya. Pukul 20.20 wib. Mungkin Rey ada pekerjaan yang tak bisa ditinggal, sehingga datang terlambat.
Entah mengapa Rara sangat gugup dan jantungnya berdegup kencang. Tatapan mata Rey walau terlihat dingin namun Rara bisa melihat kehangatan di dalamnya. Rara pun mulai membenarkan posisi duduknya.
"Maaf aku terlambat. Apa kau sudah menunggu ku dari tadi?" Rey menarik kursi di depan Rara dan memanggil waitress. Rey melanjutkan apa Rara ingin memesan lagi atau tidak. Lalu Rara hanya menggeleng dan Rey menyerahkan pesanannya pada si waitress.
"Kau belum menjawab ku. Apa kau sudah menunggu ku dari tadi?" Rey mengulangi pertanyaannya. Rey akan terus bertanya sampai ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
"Aku sampai disini 5 menit sebelum pukul 8. Dan kau datang 20 menit kemudian. Itu artinya aku sudah menunggu mu selama 25 menit. Bagaimana menurutmu apa itu termasuk penantian yang lama atau tidak?" Rara balas bertanya, sejujurnya menunggu selama 25 menit itu tidaklah lama. Rara memberikan batas waktu hingga 30 menit lamanya untuk menganggap bahwa penantian itu tidaklah lama.
"Kenapa kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. 25 menit itu menurut ku penantian yang lama. Dalam 25 menit kita bisa mengerjakan banyak hal. Namun hari ini aku justru membuang 25 menit waktu seseorang hanya untuk menunggu ku. Apa kau keberatan jika aku memberikan alasan? Tentu alasan yang masuk akal."
"Silahkan, aku memberi mu kesempatan untuk memberikan alasan yang masuk akal."
Rey tertawa kecil mendengarnya.
"Sepulang dari kantor aku langsung menuju rumah sakit dan menceritakan kepada kakek tentang kau yang ingin mendonorkan ginjal. Lalu kami juga berbicara terlalu banyak hal, sampai aku tak sadar sudah pukul 8 lewat. Sebelum aku pergi, kakek memaksa ku untuk meminta mu datang menemui nya. Dan aku bilang aku akan mempertemukan kalian 1 hari sebelum operasinya di lakukan. Bagaimana apa kau mau bertemu kakek yang akan kau selamatkan hidupnya?" Rey menjelaskan panjang lebar.
"Tentu, setidaknya aku harus melihat, kakek seperti apa yang akan aku berikan ginjal ku" senyum Rara seraya menyeduh kopinya.
"Kau pasti akan terkejut saat melihatnya." Rey tersenyum tipis. Rey melanjutkan kata-katanya.
"Namun bukan itu yang ingin aku bicarakan. Aku akan langsung berterus terang saja. Aku yakin saat perjalanan pulang itu kau memikirkan tentang bayaran yang akan kau dapatkan. Namun kau bingung bagaimana caranya mengatakan padaku. Apa aku salah? Ucap Rey seraya menaikkan sebelah alisnya. Rey yakin itulah yang dipikirkan Rara setelah mendengar bahwa transplantasi bisa dilakukan. Untuk itu Rey meminta Rara untuk menemuinya hari ini.
Rara yang diam saja terlonjak kaget mendengar penuturan Rey. Apa Rey bisa membaca pikirannya. Kenapa dia bisa tahu apa yang sedang Rara pikirkan. Entah mengapa hal itu membuat Rara sedikit takut. Bagaimana Rara bisa menjawabnya. Apa Rara berterus terang saja. Atau Rara mencoba untuk menghindarinya. Tidak. Kalau Rara menghindar justru ia membenarkan apa yang Rey pikirkan.
Rey yang melihat Rara diam saja sambil terus menunduk melihat cangkir kopinya, mulai terlihat cemas. Apa Rey salah bicara. Rey cukup yakin itulah yang ada dipikiran Rara sejak di rumah sakit kemarin. Namun mengapa Rara tak kunjung menjawab pertanyaannya. Sekelebat perasaan bersalah melanda Rey. Rey seharusnya tidak langsung berterus terang begitu. Apa mungkin Rey sudah menyakiti hati Rara. Oh tidak kebisuan Rara membuat Rey frustasi. Namun ketika Rey hendak berbicara, Rara mengangkat wajahnya. Dan langsung menatapnya tepat di manik mata Rey. Rey bisa melihat dengan jelas wajahnya yang tidak ditutupi rambut. Rambut panjangnya dibiarkan tergulung acak-acakan bahkan anak rambutnya menjuntai dengan bebasnya. Wajahnya yang tanpa polesan make up dan terdapat 3 tindikan di telinga kanannya. Rey baru melihat tindikan itu, mungkin karena selama ini saat bertemu dengan Rey, Rara selalu menutupi telinganya dengan rambut panjangnya.
"Kau benar. Aku juga tak ingin memungkiri bahwa aku sangat membutuhkan uang itu. Hanya saja aku bingung bagaimana menanyakannya padamu. Jika bisa, aku ingin mendapatkan setengahnya dulu. Lalu sisanya bisa kau berikan setelah aku menjalani operasinya. Bagaimana?" Rara kembali menundukkan wajahnya. Itu sangat membuat Rey kesal.
"Kau sedang berbicara kepada siapa. Kenapa kau menundukkan wajah mu terus menerus melihat cangkir kopi mu. Apa wajah ku berada di cangkir kopi itu? Rey sangat kesal, bisa-bisanya ada yang berbicara dengannya namun tidak menatap matanya.
Rara kembali mengangkat wajahnya dan melihat mata Rey yang menyala marah.
"Aku hanya tak sanggup untuk mengatakannya sambil melihat matamu" ucap Rara kembali menundukkan wajahnya namun seketika diangkatnya lagi. Karena tidak ingin membuat Rey marah lagi.
"Sesuai yang kau katakan aku akan memberikan setengahnya. Kirimkan no rekening mu akan ku transfer sekarang" jawab Rey seraya mengambil ponsel dari dalam saku jaketnya. Rara memberikan no rekeningnya dan dalam sekejap saja muncul notifikasi yang menandakan bahwa Rey sudah melakukan transfer.
"Aku sangat berterima kasih. Aku akan berusaha untuk menjaga kesehatan ku sampai waktunya operasi nanti" Rara tersenyum senang. Kini Rara bisa membayar uang sewa kontrakan bahkan untuk beberapa bulan kedepan. Dan tidak perlu memikirkan tentang biaya hidup sehari-hari sampai Rara menemukan pekerjaan.
"Jika kau sangat berterima kasih pada ku. Katakan alasan mu ingin melakukan ini semua" Hati Rara mencelos mendengar perkataan Rey. Rara tak menyangka Rey menanyakan ini padanya. Padahal ia tak terlihat suka mengurusi kehidupan orang lain. Namun Rara tak bisa mengatakannya. Rara akan biarkan Rey berpikir bahwa semua ini karena Rara membutuhkan uang.
"Apa kau tidak akan menjawabnya?" Rey penasaran setengah mati. Walau Kei sudah mengatakan pada nya untuk tidak menanyakan alasan Rara melakukan ini namun rasa penasaran Rey semakin menjadi-jadi.
Rara ingin menjawab bahwa semua ini karena uang namun tiba-tiba ada panggilan masuk dari Lola.
"Maaf aku harus mengangkat panggilan ini" Rara seraya bangkit dan keluar cafe mengangkat telepon dari Lola. Rara tidak ingin Rey melihatnya dengan tatapan menyelidik seolah mencari kebenaran dari apa yang ada dipikiran Rey. itulah mengapa Rara mengangkat panggilan Lola di luar cafe.
****
Lola sudah menghubungi Rara bahwa ia tak bisa pulang malam ini. Beno terus-menerus menahan Lola agar tidak pergi.
"Jangan pergi. Tetap lah disini. Aku benci sendirian waktu sakit begini." Itulah yang dikatakan Beno sambil menggenggam tangan Lola. Lola tak bisa menolak. Walaupun Lola senang bisa merawat Beno, namun menginap di rumah seorang pria tanpa adanya hubungan pernikahan sangatlah tidak dibenarkan. Lola masih memegang teguh pendirian bahwa akan tinggal bersama setelah menikah. Namun hari ini adalah pengecualian. Lola juga tak tega meninggalkan Beno yang sedang demam sendirian di rumah. Bagaimana nanti jika terjadi sesuatu. Lola tak ingin membayangkannya. Lola lebih tak ingin membayangkan apa yang ada dipikiran Rara saat ini. Sebenarnya Lola tak ingin meninggalkan Rara sendirian. Seperti yang Lola tau bahwa Rara memiliki PTSD yang suatu waktu bisa saja kambuh karena hal yang tidak sengaja terjadi. Lola masih saja khawatir kepada Rara, selama ini Lola selalu menemaninya kemanapun Rara pergi. Walaupun Rara tidak pergi ke pergi kemanapun. Kadang Lola heran mengapa Rara jarang sekali berpergian, jika Lola tidak mengajaknya keluar pasti Rara akan terus berada di rumah. Yang ada dipikiran Rara hanyalah kerja, kerja dan kerja. Namun jika Rara bahagianya seperti itu maka Lola juga tak bisa berbuat apa-apa.
Lola lebih memfokuskan diri merawat Beno yang tengah sakit. Ini pertama kalinya Lola melihat Beno dalam keadaan seperti ini. Lemah dan tak berdaya.
"Walaupun lagi sakit begini, dia masih saja terlihat tampan. Bahkan lebih tampan dari biasanya." Lola berbicara sendiri sambil memandangi wajah Beno dengan tatapan kagum. Tiba-tiba Beno membuka matanya yang sayu dan menatap Lola di manik matanya. Lola yang kedapatan tengah memandangi Beno, menjadi salah tingkah dan buru-buru mencari alasan. Wajah dan telinganya terasa panas bak terbakar.
"Aku akan pergi mengambil handuk baru." Lola segera bangkit namun lagi-lagi Beno menahannya.
"Tidak perlu. Aku ingin kau tetap disini. Itu sudah cukup. Temani saja aku disini." mengapa Beno berkata seperti itu. Bagaimana jika Lola salah paham nantinya. Lola memang menyukai Beno, namun Lola juga tak ingin Beno mempermainkan hatinya. Seperti yang sudah didengar Lola, bahwa Beno adalah seorang playboy yang sering berganti-ganti pasangan.
Walaupun Lola baru sekali melihat Beno membawa seorang wanita ke cafe. Tapi itu sudah lama sekali.
Lola yakin Beno mengerti bahwa seorang pria tidak seharusnya mempermainkan hati wanita. Lola pun menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke tempat tidur. Bagaimana pun Lola akan menganggap ini sebagai kemajuan kecil dalam jalinan asmara nya. Entah Beno suka atau tidak kepada Lola. Lola tidak masalah selama Lola memiliki perasaan untuk Beno. Dan dengan pikiran seperti itu, Lola tertidur begitu saja.