Dokter Alex baru saja menghubungi Rara bahwa jadwal operasi akan dilaksanakan minggu depan. Rara hanya mengiyakan apa yang Dokter Alex katakan bahwa Rara haruslah berada di rumah sakit 2 hari sebelum operasi dilakukan agar kondisinya bisa terpantau.
Rara sibuk dengan pikirannya sendiri. Kilasan balik tentang pertemuan Rey dan Rara malam itu di cafe muncul begitu saja. Saat Rara masuk kembali ke dalam cafe setelah mengangkat telepon dari Lola. Rey masih menunggunya. Rara yakin Rey masih menunggu jawaban atas pertanyaannya itu. Mata yang menyiratkan rasa penasaran itu sebenarnya tak benar-benar bisa Rey sembunyikan. Namun Rara justru menghindari pertanyaan itu. Rara memilih diam dan tak mengatakan apapun. Saat itu Rara tak bisa menebak apa yang ada dipikiran Rey. Rara pun melihat semburat kekecewaan di wajah Rey walau hanya sekilas. Setelah keheningan yang melanda mereka. Rey pun akhirnya memulai pembicaraan.
"Ayo, aku akan mengantarmu pulang. Bagaimana kalau kita jalan saja. Aku ingin menghirup udara malam. Aku akan membayar ini dulu." tanpa menunggu jawaban Rara, Rey segera bangkit dan pergi menuju meja kasir. Rara hanya tertunduk menatap sisa kopi di cangkirnya. Rey yang melihat Rara dari jauh hanya bisa diam. Rey tak menyangka bahwa Rara tidak akan menjawab pertanyaannya. Rey pun memutuskan tidak memaksa Rara untuk menjawabnya karena Rey juga tak punya hak untuk itu.
"Kazura, ayo kita pergi" Rey menghampiri Rara seraya memakaikan jaketnya pada Rara.
"Entah mengapa malam ini jauh lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Kau tidak boleh sampai sakit. Karena aku tidak mengizinkan mu untuk melakukan itu" Rey berada sangat dekat dengannya namun Rara tak bergeming. Ia masih saja tertunduk menatap sisa kopi di cangkirnya.
Rey hanya bisa mengeraskan rahangnya karena Ia mulai kesal.
"Apa kau tidak mendengar ku Kazura?" Rey yang tidak sabaran langsung mengangkat dagu Rara agar Rara bisa melihatnya. Rara yang terlonjak kaget mencoba menepis tangan Rey namun Rey justru menahannya. Saat itu Rey tak bisa menjelaskan tatapan mata Rara. Cukup lama mereka hanya saling menatap satu sama lain.
"Ayo kita pulang sekarang" Rey segera memecah keheningan diantara mereka berdua. Genggaman tangan Rey pada Rara tidak dilepasnya. Tangan Rara yang dingin itu, perlahan-lahan menjadi hangat. Rara mendapatkannya dari kehangatan yang diberikan Rey melalui genggaman tangannya. Walaupun sudah keluar dari cafe Rey tidak juga melepaskan genggaman tangannya.
Rara ingin berontak, namun tidak jadi karena perasaan hangat ini menekan dirinya. Yang Rey lakukan justru semakin erat menggenggam tangan Rara. Rara hanya bisa memperhatikan Rey dari belakang punggung Rey. Sorot mata tajamnya tak pernah lepas, bibirnya juga tak mengeluarkan senyum dan rahangnya yang mengeras. Semua itu terlihat jelas di bawah sinar bulan yang menerangi langka mereka berdua. Selama perjalanan pulang tak ada satupun kata yang keluar dari mulut Rara dan Rey. Hanya suara-suara dari sesama pejalan kaki lainnya dan suara motor yang berlalu lalang. Namun dalam dunia Rey dan Rara semua itu membisu dan yang tertinggal hanya keheningan antara mereka berdua.
Rey segera membuka pagar rumah yang tidak terkunci itu. Mengantar Rara sampai ke depan pintu rumah dan melepaskan genggaman tangannya.
"Masuklah, udara diluar sangat dingin" Rey mengatakannya sambil membenarkan jaket yang dipakai Rara. Namun Rara lagi-lagi hanya diam saja. Rey tak mengerti lagi mengapa Rara diam saja dan tak mengeluarkan kunci rumah dari dalam tasnya. Rey hanya bisa menghela napas. Rasanya ingin berteriak melampiaskan frustasinya. Mungkin setelah dari sini, Rey bisa pergi ke jalanan yang sepi dan berteriak sekuat-kuatnya.
"Aku akan pergi sekarang dan tidak akan menunggu mu masuk kedalam rumah. Ku pikir kau merasa tidak nyaman kalau aku melakukan hal itu. Selamat malam Kazura." Rey segera memasukkan tangannya yang mulai dingin ke saku celana jeans nya. Berjalan menuju pagar rumah lalu menutupnya kembali seperti sedia kala. Semua itu Rey lakukan tanpa menoleh kebelakang melihat ke arah Rara.
Rara yang melihat Rey mulai berjalan menjauh dari rumahnya tanpa sadar berlari keluar pagar. Namun Rara sudah tak melihat lagi sosok Rey yang hilang di kegelapan malam. Sinar bulan yang terpancar pun tak bisa memberikan bayangan Rey pada Rara.
Seperti itulah akhir kisah Rey dan Rara pada malam itu.
****
Rey harusnya bersyukur di hari minggu pagi ini cuaca cerah namun ternyata tidak secerah hatinya. Hatinya masih kalut akan perasaannya setelah meninggalkan Rara pada malam itu. Rey sudah mencoba untuk melupakannya namun tetap saja tidak bisa. Kebisuan Rara membuatnya bingung dan tak tau harus apa.
Rey pun mencoba mengalihkan perhatiannya dengan membuat racikan minuman yang akan menjadi menu baru di cafe milik Beno. Saat sedang membuat racikannya terdengar Suara ponsel berdering. Rey segera mengambil ponselnya di atas meja makan.
"Rey, aku dan Kei sudah berada di depan pintu apartemen mu. Cepat buka kan pintunya. Di luar sangat panas, kulit ku akan terbakar saking panasnya." kata Beno sambil menggedor-gedor pintu apartemen Rey. Rey menutup sambungan telepon dan segera membukakan pintu untuk kedua teman baik nya. Beno dan Kei.
"Lama sekali kau Rey. Kau tau diluar sangat panas.." Rey tidak mendengarkan ocehan yang dilontarkan Beno yang terus menerus mengatakan kulitnya akan terbakar saking panasnya. Kei yang melihatnya hanya terkekeh, tak habis pikir Beno melebih-lebihkan sesuatu.
Rey kembali sibuk di dapur apartemennya dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda itu. Entahlah hanya sebentar saja, Rey langsung mendapatkan ide untuk membuat apa. Dan untungnya semua bahan yang di butuhkan Rey ada di dalam kulkas.
"Bagaimana Rey, apa kau sudah selesai membuatnya. Aku sudah tak sabar ingin memperkenalkan menu baru " Beno berbicara namun tidak melihat Rey, sibuk mengipas-ngipaskan dirinya. Sungguh aneh, padahal ruangan di apartemen Rey cukup dingin. Namun sepertinya tidak mempan pada Beno. Kei pun yang melihat Beno sedang mengipas-ngipaskan tubuhnya merasa terheran-heran lalu menanyakan dimana remote ac pada Rey. Setelah Rey memberitahu dimana letak remote ac Rey pun kembali menyibukkan dirinya. Sepertinya Beno langsung tertidur begitu saja. Namun Rey tak ingin memikirkan itu dan fokus membuat minumannya. Sudah hampir selesai. Semoga ini enak, pikir Rey.
"Rey, aku kemarin bertemu Alex. Dia mengatakan bahwa sudah ada yang akan mendonorkan ginjal untuk kakek. Apa itu wanita yang kau bicarakan waktu itu?" Kei berjalan menuju dapur dan membuka pintu kulkas mencari air. Kei tak habis pikir bagaimana mungkin Rey tidak menyuguhkan air saat ada tamu yang datang.
"Ya benar, operasi nya akan dilakukan minggu depan." Rey mengambil es batu dari dalam kulkas dan meraih 3 gelas highball di lemari penyimpanan khusus gelas kaca. Rey menuangkan minuman yang telah dibuatnya dan menambahkan es batu di setiap gelas.
"Syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Berarti ginjal wanita itu cocok ya. Ahhh Aku jadi ingin bertemu dengannya." Kei berkata sambil tertawa pelan. Mendongakkan kepalanya keatas melihat langit-langit dapur apartemen Rey. Jujur saja apartemen ini terlihat sangat hampa. Se-hampa hati pemiliknya.
"Kalau sudah waktunya. Aku akan mempertemukan kalian" Rey berjalan menuju meja makan sambil membawa 2 gelas minuman. Menarik kursi di depan Kei dan duduk sambil menikmati minuman yang sudah dibuatnya.
"Minuman ini berbeda dari dirimu yang biasanya. Entahlah setelah meminum ini aku jadi merasa sedikit bahagia. Apa yang kau masukkan kedalam minuman ini Rey."
Rey mendesis. "Cih. Jika aku memasukkan racun kedalam nya. Aku yakin kau tidak akan meminum itu sampai habis."
Kei tertawa terbahak-bahak. Tak menyangka dirinya akan mendapat pukulan telak dari Rey.
"Lalu apa nama minuman ini?" Kei masih saja tertawa dan Rey yang melihatnya hanya menatapnya tajam.
"The happiest one?" Rey seketika mengatakannya.
Mendengar itu tawa Kei makin menjadi-jadi, seketika ruangan itu dipenuhi tawa Kei yang tidak ada habisnya. Tapi Beno masih saja tertidur dengan lelapnya seolah tak ada yang terjadi.
"Kau bermaksud, sehabis meminum minuman ini mereka akan menjadi orang yang paling bahagia?" Walau Rey menatap tajam ke arah Kei namun Kei tidak juga berhenti tertawa. Kei malah melanjutkan
"Bagaimana mereka bisa jadi bahagia. Kalau yang membuat minuman ini saja tidak bahagia. Apa ini menjadi kedok baru bagimu supaya kau bisa terlihat bahagia" Rey tersenyum tipis. Kata-kata yang baru saja di lontarkan Kei menampar dirinya. Rey tak tau apakah ini menjadi kedok baru untuk membuat orang berpikir bahwa dirinya bahagia. Kei yang melihat Rey diam saja menandakan bahwa apa yang baru saja Kei katakan adalah benar.
****
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam namun Lola belum juga pulang. Sepertinya Lola lembur lagi. Pikir Rara. Rara sudah memutuskan menghubungi Rey untuk meminta maaf atas kejadian malam itu. Rara mengambil ponselnya di atas meja dan mencari nama Rey di kontak ponselnya.
Semoga Rey belum tidur, memang tidak sopan menghubungi orang pukul 10 malam, tapi Rara hanya memiliki keberanian saat itu. Jika menunggu besok maka keberanian Rara akan hilang.
Namun saat masih menghubungkan, tiba-tiba terjadi pemadaman listrik. Seketika Rara mulai panik melihat ruangan yang gelap. Napas Rara tak beraturan, dada nya naik turun dan tanpa sadar membanting ponsel nya ke dinding. Rara mencoba untuk menarik napas dengan perlahan namun jantungnya tak berhenti berdegup dengan keras. Mencoba mencari-cari obat di laci mejanya. Namun tidak menemukannya. Rara baru teringat bahwa Rara sudah membuang obat itu karena Rara berpikir tidak akan kambuh lagi.
Keringat dingin mulai menjalari, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Rara berpikir harus keluar dari tempat itu sebelum dia semakin kambuh. Dengan sisa-sisa kekuatan Rara, Rara berjalan keluar kamar dengar berpegangan pada dinding. Di dalam kesunyian rumah itu, semakin membuat Rara cemas dan bayangan tentang orang tua nya mendadak muncul. Hingga sampai lah Rara di ruang tamu. Seketika mata Rara menangkap sebuah bingkai foto. Rara mendekati foto itu dan melihatnya. Dengan nafas yang semakin tak beraturan, pikiran Rara semakin kacau. Di dalam foto itu, ia melihat lagi bayangan tentang orang tuanya. Bayangan dimana kedua orang tuanya yang telah dicabik-cabik itu membuat Rara semakin dilanda depresi. Dengan sekuat tenaga Rara melempar bingkai foto itu ke dinding yang langsung membuat pecahan kacanya berserakan dimana-mana.
Dada nya semakin sesak. Seluruh atmosfir ruangan itu menekan dada nya. Rara mulai menangis. Kenangan akan orang tua nya muncul begitu saja. Rara mencoba untuk menggunakan kekuatan terakhirnya berjalan keluar rumah. Namun entah mengapa tiba-tiba ada sesuatu yang mendorong Rara. Sesuatu yang membuat Rara mengambil pecahan kaca itu, dan menggoreskan ke telapak tangan kirinya. Dalam pikiran Rara itu, Rara menyesal tak bisa menyelamatkan kedua orang tuanya. Dengan tangan yang berdarah-darah dan tangis yang semakin menjadi-jadi Rara terseok-seok keluar menuju teras rumahnya.
****
Aneh. Mengapa Rara menghubungi Rey pada pukul 10 malam. Namun saat Rey angkat, panggilannya terputus. Rey mulai berpikir sesuatu telah terjadi kepadanya. Itulah mengapa Rey saat ini sedang berada di jalan menuju rumah Rara. Rey memacu mobil dengan kecepatan penuh dengan perasaan cemas yang melanda. Sampailah Rey di gang menuju rumah Rara, namun seluruh rumah yang berada disitu gelap. Sepertinya telah terjadi pemadaman listrik. Pikir Rey.
Sampailah Rey di depan rumah Rara. Tak membuang waktu lagi Rey segera memakirkan mobil dan berlari menuju pagar. Namun yang Rey lihat jutsru hal yang paling tidak mau dilihatnya.
Rara sudah terduduk lemas di teras rumahnya. Rey yang mulai berjalan masuk perlahan bisa melihat bahwa Rara tengah dilanda kecemasan. Bahkan tangan kirinya juga berdarah. Rey tak bisa berlari karena takut itu akan membuat Rara semakin cemas. Namun ketika Rara melihat kearahnya, Rara justru tak mengenali Rey.
"Siapa kau. Jangan mendekat. Berani-beraninya kau datang setelah membunuh kedua orang tua ku." Hati Rey mencelos mendengar penuturan Rara. Rara menyangka bahwa Rey adalah pembunuh kedua orang tua nya. Rey yang telah membaca riwayat hidup Rara semakin membuat dada nya terasa sesak.
"Jika kau melangkah lagi. Aku tidak akan segan-segan menggoreskan ini pada pergelangan tangan ku." ucap Rara seraya mengacungkan sebuah serpihan kaca dan menunjukkan pergelangan tangannya. Jika Rey mendekat lagi, maka Rara sudah tak segan akan mengakhiri hidupnya.
"Kazura ini aku Rey. Aku bukan lah orang yang membunuh kedua orang tua mu. Aku tidak akan menyakiti mu. Percayalah padaku." Rey mencoba memancing Rara dengan kata-kata yang dilontarkannya sembari perlahan-lahan menuju ke arah Rara.
"Aku tidak percaya. Aku sudah katakan untuk jangan mendekat." Rara mulai menangis lagi. Kegelapan malam tak bisa menyembunyikan perasaan yang dirasakan nya saat ini.
Rey melihat kesempatan saat Rara yang sedang lengah, Rey langsung berlari ke arahnya dan menahan tangan Rara yang menggenggam serpihan kaca. Namun karena Rey yang terlalu syok melihat keadaan Rara tak sempat menghindar saat Rara meggoreskan kaca itu ke lengan Rey. Darah pun mulai mengucur deras dari lengannya. Dan Rey dengan perasaan yang bercampur aduk segera mengambil kaca itu dan membuangnya.
"Kazura. Ini aku Rey. Lihat mata ku." Rey memegangi kedua pipi Rara sambil mengusap air mata yang terus mengalir. Namun tatapan matanya tetap saja menggelap. Rara masih belum mengenali Rey.
"Kazura. Aku tidak akan menyakiti mu. Tidak ada satupun orang yang berani menyakiti mu. Justru aku lah yang akan melindungi mu." Rara terpancing kedua matanya mulai melihat ke dalam mata Rey.
"Dengar kan aku. Aku mau kau mengucapkan nama ku. Rey. Reygan Samudra."
Rara yang telah terpengaruh, mulai mengucapkan nama Rey.
"Rey. Rey. Reygan. Reygan Samudra." sepertinya kesadaran Rara mulai pulih. Namun masih belum mengenali Rey.
Tiba-tiba lampu mulai menyala lagi. Seketika ruangan menjadi terang benderang. Lampu jalan sudah menyala. Rumah-rumah tetangga juga sudah terang benderang. Dan saat itulah Rara bisa melihat dengan jelas wajah Rey.
Dengan perasaan campur aduk dan kesadaran yang telah kembali Rara mengucapkan nama Rey
"Rey. Rey. Rey." Rey yang mendengar itu langsung mendekap erat tubuh Rara. Isak tangisnya sangat menyayat hati Rey. Semakin dalam pelukan Rey semakin keras juga tangisan Rara.
Dan begitulah alasan Rey ingin melindungi Rara.