"Turun!" Damian membuka pintu mobilnya.
Julia keluar dari mobil dan melangkah di belakang laki-laki itu. Sikapnya semakin menyebalkan, membuat gadis itu hanya bisa mendesah pelan. Tiga hari lagi, mereka akan menikah.
Mulai hari ini, Julia tinggal di rumah Oman. Ia menempati kamar tidur utama nomor tiga. Letaknya tepat di samping kamar Damian. Laki-laki itu tidak tidur di kamarnya karena sedang ada yang mendekorasi kamar itu.
Damian tidur di kamar tamu di lantai bawah. Ia segera masuk ke kamar mandi dan berendam dalam air hangat. Cuaca di Parangkaris sangat dingin di pagi hari dan ia keluar pagi-pagi sekali setelah menerima telepon dari Dodit.
"Sial! Gara-gara dia, aku harus kedinginan seperti ini. Seharusnya aku masih tidur di bawah selimut hangat."
Damian menggerutu karena ia masih merasakan kedinginan setelah ia pulang dari hutan pinus di ujung desa.
Ia senang jika gadis itu melarikan diri dari pernikahan. Namun, ia tidak bisa mempertaruhkan nyawa ayahnya demi perasaannya sendiri. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Oman.
Tok! Tok! Tok!
"Sebentar!" Julia menyahut dari dalam kamar.
Pelayan itu dengan setia menunggu Julia keluar dari kamar. Pintu terbuka. Gadis itu mengernyitkan dahi saat diberi dress oleh pelayan.
"Ini … apa?"
"Tuan Besar akan kedatangan tamu yang ingin melihat calon menantunya. Jadi, Tuan, menyiapkan baju ini untuk Anda, Nona. Tuan bilang, Anda harus turun dalam tiga puluh menit," ujar pelayan itu. Ia menyampaikan semua kata-kata dari Oman tanpa kurang satu kata pun. Sesuai perintah, setelah memberikan baju itu, ia kembali ke dapur.
Julia menutup pintu dan membuka baju yang dipakainya. Ia mengganti bajunya dengan gaun yang dibawakan oleh pelayan tadi. Karena lupa mengunci pintu, Damian tiba-tiba masuk.
"Ah …!" Gadis itu berteriak kencang.
Gaun itu belum menutup tubuh bagian atas dengan sempurna. Ia segera berlari menarik selimut dan menutupi dadanya yang terekspos bebas. Hanya kain penutup dada yang sudah kekecilan yang menutup sebagian bukit kembarnya.
"Ch! Buat apa ditutupi? Aku tidak tertarik dengan tubuh gadis murahan sepertimu." Damian menatap tubuh Julia dengan pandangan jijik. Seolah tubuh gadis itu adalah sampah yang berbau.
"Apa? Gadis murahan? Dari mana, kamu, menilaiku sebagai gadis murahan?" Kedua mata Julia mengkilap. Kebenciannya kepada Damian sudah di luar batas kewajaran. Rasanya ia ingin membunuh laki-laki di hadapannya itu.
"Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan darimu. Segera turun! Ayahku, sudah menunggu di bawah." Damian pergi sambil membanting pintu.
Brak!
Julia berjingkat, mendengar suara pintu ditutup dengan kasar. Ia berlari ke pintu dan menguncinya. Wanita itu bergegas melanjutkan memakai baju lalu berdandan dengan cantik.
Kamar itu seolah-olah memang milik gadis itu. Di atas meja rias, berbagai macam merek kosmetik tertata rapi. Mungkin karena tidak tahu jenis kosmetik yang dipakai gadis itu, makanya Oman menyiapkan beberapa merek.
Selesai menghias diri, ia turun dari tangga dengan anggun. Ia memang wanita desa, tapi bukan berarti ia tidak mengerti sopan santun saat menerima tamu. Walaupun ia sangat membenci Damian, ia tidak akan bertingkah memalukan.
Apa yang dilakukan Julia, tentu akan berimbas pada penilaian orang tentang ibunya. Sikap seorang anak, seringkali dikaitkan dengan orang tuanya. Karena itulah Julia bersikap sangat ramah dan sopan pada dua orang tamu dari tuan rumah.
"Inikah yang namanya Julia?" Seorang wanita lima tahun lebih tua dari Julia, menyapa.
"Benar, Nyonya. Saya, Julia."
"Julia! Dia adalah anak angkat Om, Nada." Oman memperkenalkan mereka.
"Senang berkenalan denganmu, Julia. Dia suamiku, Rudi," ucap Nada.
"Senang berkenalan dengan kalian, Tuan, Nyonya." Julia membungkuk sedikit untuk menunjukkan rasa hormat dan sopan santunnya.
"Jangan panggil kami seperti itu. Panggil saja kakak ipar," kata Rudi.
"Benar. Jangan terlalu sungkan kepada kami." Nada membenarkan ucapan suaminya.
"Dia masih belum menjadi istriku. Belum pantas memanggil kalian seperti itu!" Damian menyela perbincangan mereka sambil memeluk pinggang Julia. Ia tidak ingin menunjukkan rasa bencinya pada Julia di depan ayahnya.
Oman sangat bahagia melihat Damian merangkul pinggang Julia. Hatinya merasa tenang. Mengetahui putranya menyukai Julia.
Gadis itu memiliki sifat yang baik, yang diharapkan bisa mengubah sikap Damian. Laki-laki yang telah banyak berubah setelah bercerai dengan Gabriela. Oman ingin putranya kembali seperti dulu.
"Hanya tinggal tiga hari lagi. Apa bedanya jika dia memanggil kami kakak ipar hari ini atau besok? Kakak sangat menyukai calon istrimu ini. Kapan-kapan, ajak dia menginap di Bali," kata Nada.
Nada dan suaminya tinggal di Karang Anyar-Bali. Mereka memiliki bisnis resort dan spa di sana. Khusus datang ke Sukabumi hari ini, demi melihat pernikahan Damian.
"Darimana, kamu, menemukan gadis sebaik Julia?" Rudi bertanya sambil tersenyum menggoda Julia.
"Jatuh dari langit, menimpa hidupku, membuatku masih merasakan sakit sampai hari ini," jawab Damian sambil tersenyum.
Nada dan Rudi menganggap jawaban adik angkatnya itu hanya sebuah candaan semata. Namun, Julia dan Oman berbeda. Mereka tahu arti kata-kata itu. Damian terpaksa menikahi Julia karena permintaan ayahnya.
***
Jam tujuh malam, Julia sedang melamun di balkon kamar. Setelah malam ini, hanya tinggal dua hari lagi sebelum pernikahan. Semakin dekat dengan hari 'H' Julia semakin merasa sesak saat ia menarik napas.
"Hah …." Ia menghela napas. Julia menolak untuk makan malam bersama.
Tok! Tok! Tok!
"Aku sudah bilang, aku tidak mau makan. Perutku masih kenyang. Pergi saja," usir Julia tanpa membuka pintu.
"Buka!" Damian membentak Julia dari depan pintu kamar.
Julia gemetar ketakutan saat mendengar suara Damian. Ia segera membuka pintu. Melihat laki-laki itu membawa baki berisi makanan, ia menelan saliva.
Ia memang lapar. Namun, ia merasa malas makan malam semeja dengan Damian. Awalnya, Julia ingin mengusir laki-laki itu. Namun, di belakang laki-laki itu, Oman, Nada, dan Rudi ikut berdiri.
"Apa kamu sakit, Julia?" Nada dan Oman, bertanya dengan cemas. Mereka menyuruh pelayan memanggil gadis itu. Namun, Julia tidak juga turun sampai mereka selesai makan malam.
"Tidak apa-apa, Tuan." Julia menjawab Oman dengan singkat.
"Kamu belum makan 'kan? Aku bawakan makanan untukmu," ucap Damian dengan suara ramah dan lembut.
Julia menatap lurus ke arah laki-laki itu. 'Aku tidak butuh perhatian palsu darimu!' Ia menggumam dalam hati. Namun, ia tidak ingin membuat yang lainnya curiga.
"Terima kasih, Mas." Julia mengambil baki makanan dari tangan Damian. Namun, laki-laki itu menahannya.
"Aku akan menyuapimu," kata Damian. Ia masuk ke kamar, lalu duduk di tepi ranjang.
Julia terpaksa menurut di depan kedua orang yang masih menatapnya dengan khawatir. Melihat Damian menyuapi Julia, mereka pun pergi. Setelah kepergian mereka, Julia segera bangun. Ia menepis tangan Damian dengan kasar.
Damian bangun dan pergi dari kamar. Ia juga tidak sudi berlama-lama dengan gadis itu. Ia melakukan hal itu untuk berpura-pura di depan ayahnya.
*BERSAMBUNG*